03 : Juna dan Seleksi Alam (Part 2)

5 1 0
                                    

"Sedang apa di depan ruangan saya?" tanya Pak Komik---Rektor Universitas Bhakti Husada---pada beberapa mahasiswa yang berdiam di depan ruangannya.

"Itu, Pak …." Salah seorang mahasiswa tergagap sambil menunjuk ke sebuah pintu.

"Apa?" Pak Komik menoleh, seketika lututnya bergetar. "Se-sejak kapan?"

"Mi-minggu lalu, Pak."

"Kenapa kalian diam saja?"

"Gak berani, Pak."

"Badan gede, mental kayak biji kacang."

"Kenapa gak Bapak aja?"

Pak Komik menunjuk dirinya sendiri. "Sa-saya ada urusan penting. Jadi, bye!"

Pak Komik meninggalkan segerombolan mahasiswa itu dengan cepat. Kalian bingung, 'kan?

Mari, lihat kembali pintu jati yang tadi di tunjuk, itu adalah pintu ruang BEM yang terus mengeluarkan aura gelap sejak minggu lalu.

.
.
.

Adji sejak tadi duduk kaku di pojokan sofa. Sesekali ia melirik ke arah meja kerja miliknya yang tengah dikuasai oleh wakilnya sejak minggu lalu.

"Sa, aku—"

"Diam."

Desisan yang lebih berbahaya dari desis ular derik itu membuat Adji bungkam.

"Tutup mulut sebelum aku tutup pake cara aku sendiri."

"Sa, udah seminggu, lho. Mau sampai kapan begini?" ratap batin Adji.

"Sa-sa, seriusan … aku—"

"Ngomong lagi, kusate itu mulut!"

"Kebelet!" Adji tidak tahan lagi. Alhasil, tanpa izin Fauzan, ia langsung berlari ke toilet yang ada di ruangan itu. Urusan amarah Fauzan bisa ditunda dulu, panggilan alam lebih penting.

Fauzan mati-matian mengontrol tawanya melihat Adji kabur. Ia tak ingin seperti ini sebenarnya, tapi tugas yang Adji tumpuk sudah melebihi batas. Awalnya Fauzan memaklumi karena Adji sibuk. Namun, semakin hari, Adji tidak juga menggarap tugasnya dan berujung dengan Fauzan yang mengerjakan.

Fauzan stress, anggota lain ketakutan. Tata ruangan diganti sedemikian rupa oleh Fauzan, diffuser lucu berbentuk kucing ada di tiap sudut menguarkan aroma cendana, aroma yang bisa membuat Fauzan tenang.

Tapi untuk sekarang, itu tak berefek. Wajah Fauzan kusut, tak ada senyum, hanya ada gerutuan.

Adji kembali dengan sangat terpaksa. Ia memperhatikan Fauzan yang masih bekerja dengan bibir yang tak berhenti menggerutu.

"Sa, gak la--"

"Gak."

"Kamu ga--"

"Gak."

Adjie merana. Ia tahu kalau ini salahnya, tapi ini sudah seminggu. Penderitaan Adji bertambah.

(This Is Not) A Ray Of HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang