16. Jangan menilai sesuatu dari bentuknya saja

9 0 0
                                    

Rachel mengenyahkan segala memori yang menghampirinya, setetes air mata yang mengalir begitu saja dari kantung matanya ia usap dengan kasar.

"Kamu menangis?" Gadis dengan rambut cokelat yang diikat ponytail dengan tinggi itu bingung harus melepaskan tangan lelaki yang ia seret untuk membantu mengusap gadis aneh di hadapannya yang menangis agar ia sedikit tenang atau harus membawa lelaki ini ke dalam ruangannya terlebih dahulu. Pada akhirnya ia memilih menyeret Lewis ke dalam, saat ingin keluar dan mencari gadis berambut hitam sepundak itu, ia sudah menyelonong masuk dan mencium bau sedap yang cukup memanjakan hidungnya. Perut Rachel berbunyi tak karuan, mereka tak kuasa menahan betapa menakjubkannya aroma yang memasuki indera penciumannya dan membuat seisi tubuhnya porak poranda menginginkan apa yang menjadi sumber bau harum ini.

"Bau apa ini?" Rachel meneliti sekitar, ia terus mencari-cari dimana wangi yang sedari tadi membuat perutnya jadi keroncongan. Ia baru ingat bahwa sedikit bagian roti yang pernah ia bagi dengan Lewis juga yang lainnya telah ia keluarkan melihat wendigo cincang di ruangan otopsi milik Annette. Kini perutnya yang kosong melompong pun seperti dilanda konser orkestra yang begitu bersemangat saat mencium bau yang sepertinya berasal dari sebuah masakan.

"Ah, masakanku telah matang!" Gadis yang tadinya terdiam di depan pintu pun masuk ke dalam ruangan dan berlari ke sebuah penanak nasi di ujung ruangan. Ia segera membuka tutupnya dan mengeluarkan panci dari dalam sana. Panci berisikan kue pie itu benar-benar menggugah selera. Rachel tak pernah menyangka bisa menemukan makanan yang enak di kondisi seperti ini.

"Kau memasaknya sendiri?" Gadis yang dengan bangga mengangkat panci dengan sarung tangan tebal itu mengangguk penuh semangat.

"Aku, Keara Slumb adalah koki muda terbaik di Nirvana University!" Gadis yang mengakui namanya sebagai Keara itu tersenyum cengengesan sambil menaruh panci nya di atas meja. Aroma yang menyengat hidung siapapun yang menciumnya hingga seluruh tubuhnya meronta-ronta ingin merasakan rasa makanan tersebut benar-benar memikat. Rachel mendekatkan diri dan menatap penuh semangat ke arah panci, namun begitu melihat bentuk yang ada di dalam sana, kedua bola matanya membelalak tak percaya. Jiwanya kaget dan menolak percaya dengan apa yang ada di dalam panci milik Keara.

Bagaimana bisa masakan dengan tampilan aneh nan rada menjijikan itu mengeluarkan aroma yang sangat nikmat? Rachel bingung harus mencoba nya atau tidak.

"Ayo, coba satu suapan!" Keara dengan semangat berapi-api pun menyendok makanan dari dalam panci dan mendekatkannya ke arah Rachel. Gadis itu menggeleng pelan sambil melambaikan tangan tanda tidak setuju.

Keara cemberut, gadis itu pun kemudian menunduk sedih. Melihat itu, Rachel teringat akan Brooklyn saat dahulu mendiang gadis manis itu memberikannya hadiah ulang tahun yang sempat ia tolak kemudian ia terima secara diam-diam.

Rachel mencoba menolak, meski perutnya bergejolak aneh karena tak mampu melawan betapa nikmatnya bau yang tercium di hidungnya.

"Aku tidak lapar." Meski berkata demikian, suara dari dalam perut Rachel yang terdengar hingga ke telinga Keara pun membuat gadis itu menengadah dan menatap Rachel dengan mata berbinar-binar.

"Kau berbohong, ayo makan!"

Setelah meneguk ludah, setelah mencoba menahan sendok milik Keara di depan bibirnya, mau tak mau Rachel membuka mulutnya dan makanan tersebut meluncur masuk. Rachel mencoba menelannya langsung tanpa menggigit agar mengurangi rasa yang bersisa di mulutnya, namun ia justru menyesali apa yang ia lakukan.

Ia menatap Keara dengan tatapan tak percaya akan apa yang barusan melesat ke kerongkongannya.

"Apa ini, kenapa enak?" Rachel pun merebut sendok dari tangan Keara yang tersenyum menyeringai di hadapannya.

IntertwinedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang