1. Kepercayaan Diri yang tak pasti

49 8 0
                                    

"Hai semuanya. Aku Rionette Massgrave dan aku pengajar bahasa yang baru, kalian boleh memanggilku Ms.Massgrave. Salam kenal semuanya."

Sosok wanita yang usianya sudah kepala tiga itu tersenyum misterius. Setelannya yang biasanya dikenakan pria membuat seluruh siswa geleng-geleng kepala. Tuksedo dan seorang wanita kelihatan menakjubkan, namun sebagian orang justru salah fokus dengan perpaduan warna yang Massgrave kenakan. Jas Biru tua dan celana panjang dengan bagian bawah yang merak berwarna jingga, rompi dibalik jasnya juga berwarna jingga terang dan sebuah dasi kupu-kupu berwarna merah marun dengan motif polkadot benar-benar menyita perhatian siapapun yang melihatnya.

"Aku akan membuka buku absen dan memanggil nama kalian satu persatu, lalu kalian akan memperkenalkan diri, siap?" Massgrave yang awalnya berdiri di depan papan tulis segera menuju ke meja guru yang ada di dekat pintu dan duduk di kursi sambil membuka beberapa berkas berisikan daftar hadir para siswa.

"Brooklyn West Moody? Perkenalkan dirimu." Gadis berambut brunet yang duduk di paling belakang pojok kanan terperanjat mendengar namanya disebutkan terlebih dahulu.

"Ke-kenapa dimulai dari aku, Ms.Massgrave?" Brooklyn bertanya dengan pelan, suaranya gagap menandakan betapa gugupnya ia harus menjadi murid yang terpilih pertama kali untuk memperkenalkan diri.

"Aku ... mengenal Mr. Moody. Melihat namamu disini membuatku ingin mendengarkanmu terlebih dahulu daripada yang lainnya, Brooklyn." Balasan dari Massgrave membuat salah satu siswi dengan rambut hitam legam sepundak berdecih kesal. Kemudian ia mengangkat tangan, meminta izin ingin berbicara lalu dijawab anggukan oleh Massgrave yang duduk persis di hadapannya.

"Permisi, anda mencoba merendahkannya? Tentu ada juga harusnya melihat nama belakangku, Rachel Garcia Moody." Gadis yang diketahui bernama Rachel itu membenarkan letak poni yang ada di dahinya laku menambahi. "Keturunan Moody yang asli memiliki ciri khas seorang yang pemberani dan berambut hitam tanpa ada sentuhan warna apapun, anda tahu sendiri ayah dan ibuku bahkan seluruh silsilah keluarga Moody berambut hitam dan tak pernah mengecatnya sekalipun." Tak lupa Rachel mengarahkan tatapannya yang tajam kepada Brooklyn yang duduk di barisan yang sama namun paling belakang.

"Wah, Rachel, kau sangatlah buruk pada saudarimu sendiri. Begini, aku tertarik pada Brooklyn untuk mengenalnya lebih jauh karena ia terlihat berbeda, bukan untuk merendahkannya seperti yang barusan kau lakukan. Saudari tiri memang memiliki rasa iri dengki yang luar biasa, itu yang aku tangkap dari sikapmu." Massgrave menjelaskan dengan senyumannya yang sendu, lembut, namun memiliki kesan misterius. Tatapan matanya menuju ke arah Rachel, membuat gadis itu merasa tersengat aliran listrik yang kuat hingga terdiam membeku dan tak menjawab balik meskipun ia ingin.

"Ms.Massgrave, bisakah kita melanjutkan ke pelajaran saja dan berkenalan nanti?" Seorang siswa yang duduk di sebelah Brooklyn, mengenakan kacamata dan rambut merah gelapnya agak ikal dan berantakan mengangkat tangan dan memecahkan suasana suram.

"Ah, ya. Kita juga akan berkenalan seiring waktu, kebetulan aku memiliki ingatan yang bagus dan pasti kita semua akan segera akrab. Baiklah, kalau begitu siapa namamu?" Massgrave dan si pemuda berambut merah beradu tatap, namun siswa itu nampak tak lengah dan goyah. Ia tersenyum simpul dan berdiri dengan percaya diri.

"Lewis, namaku Lewis Rod Villeneuve."

Brooklyn dan Jean---siswa yang duduk tepat di sebelah Lewis dan Brooklyn menatap tak percaya dengan apa yang barusan sahabat mereka lakukan.

***

Lewis, pemuda dengan rambut merah gelap yang ikal dan berkacamata dikenal sebagai siswa yang biasa-biasa saja. Ia bersahabat dengan Brooklyn dan Jean, sejak masih di taman kanak-kanak hingga sekarang berada di kelas sepuluh dan ada di kelas yang sama.

Kebetulan macam apakah yang menghampiri takdir mereka hingga selalu bersama atau Tuhan memang menuliskan takdir mereka untuk terus bersama dalam segala keadaan. Biasanya, tiga sejoli seperti mereka pasti dipisahkan oleh takdir yang kejam seperti pisah kelas atau pindah rumah. Faktanya, rumah ketiganya tetap berada di tempat yang sama selama bertahun-tahun.

Brooklyn bertetangga dengan Lewis, sedangkan Jean rumahnya berbeda beberapa blokade dari keduanya namun tak berjarak sangatlah jauh.

Akhir-akhir ini ketiganya tak terpisahkan, apalagi Jean membawa seluruh persenjataannya dan kabur dari rumah ke rumah Lewis. Jean diterima layaknya saudara kembar Lewis oleh keluarga Villeneuve. Jean menempati kamar kosong yang sering digunakan ketiganya untuk bermain. Kamar tersebut harusnya dimiliki oleh adik Lewis, namun Lawrence telah meninggal sebelum menjumpai dunia dan kedua orangtuanya tak kepikiran untuk memiliki anak lagi. Alhasil, Jean dan Brooklyn yang sudah lama bersama mereka dianggap sebagai saudara oleh Lewis dan keluarga Villeneuve.

Baik ayah dan ibu Lewis juga orangtua Jean sudah paham dengan kelakuan lelaki bertubuh kurus kerempeng yang rambutnya sudah sepanjang sebahu dan tak pernah ia rapikan selama beberapa waktu terakhir. Jean Oliver Androwse adalah seorang pemuda yang mengkhawatirkan, ia tergila-gila dengan video games hingga pernah mengurung diri di dalam kamar selama seminggu dan tak berangkat sekolah. Coba saja Brooklyn dan Lewis tak membujuknya, maka Jean takkan pernah keluar. Namun semenjak itu, Jean malah terpikir untuk tinggal di rumah Lewis.

Hingga kini, ketiganya selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Namun, meski tak terpisahkan, ketiganya tetap memiliki masalah dan segala macam yang menguji pertemanan mereka hingga menjadi lebih kuat lagi.

Ketiganya sulit mendapatkan teman maupun perhatian dari guru. Meski mengikuti klub sepakbola, Lewis justru hanyalah pemungut bola dan tukang bersih-bersih. Jean pun begitu, ia sering dimarahi anggota klub game karena hanya sibuk sendiri dan tak mau menjadi tank dalam tim yang akan ikut perlombaan. Jean terkenal hebat, namun ia memiliki ego yang kuat dan tidak mau menjadi support ataupun tank karena dia lebih suka membasmi musuh daripada membantu rekan satu tim-nya. Sedangkan Brooklyn, ia lebih sering diperbudak oleh Rachel yang notabenenya kakak tirinya sendiri. Seluruh orang-orang populer di kelas 10-3 sepakat menjadikan Brooklyn sebagai budak yang akan menuruti apapun yang mereka suruh. Itu semua karena Rachel, Brooklyn pun tak bisa melaporkan entah pada ayah mereka ataupun guru karena pengaruh Rachel di sekolah sangat besar. Jika beruntung, pasti Stanley akan menyelamatkannya dari titah sang ratu Rachel, karena Stanley Moody adalah kakak dari keduanya.

"Kenapa tidak pernah bilang kepada ku atau ayah?" Stanley mengeluarkan saputangan dari saku bajunya dan mulai mengelap perlahan wajah Brooklyn yang berlumuran jus apel. Barusan begitu bel istirahat berbunyi, Rachel meminta Brooklyn untuk membeli jus anggur namun ia malah mendapatkan jus apel dari penjaga kantin karena anggurnya habis. Rachel murka dan menyemburkan segelas jus apel itu kepada Brooklyn. Untung saja Stanley melihatnya dan menghentikan siraman Rachel, namun masih ada beberapa yang terkena pada wajah Brooklyn.

"Kau tahu sendiri Rachel bagaimana, kak...." Stanley pun tersenyum simpul dan lanjut membersihkan ampas apel dari wajah Brooklyn, gadis itu nampak malu-malu karena tatapan dan senyuman Stanley sangatlah mampu meluluhkan hatinya dan meredakan rasa kesalnya akan kejadian barusan dengan Rachel. Kebahagiaan kecilnya sedikit memudar begitu melihat ke arah ujung koridor dimana nampak Lewis dan Jean yang berkeringatan berlari ke arah Stanley dan Brooklyn.

Lewis dengan seragam olahraga dan Jean yang mengenakan hoodie berwarna cokelat kesukaannya tiba dengan napas tak beraturan. Jean dengan segera menjauhkan tangan Stanley dari Brooklyn.

"Enyahlah, sis-con." Stanley pun menjauh dari ketiganya, meninggalkan rasa kesal dalam hati Brooklyn mengapa kakak tirinya itu tidak melawan Jean.

"Apa maksudnya sis-con, sih?" Jean terperangah mendengar pertanyaan Brooklyn, sedangkan Lewis yang paham apa artinya hanya menahan tawa.

"Kalian menyebalkan." Brooklyn pun menjauhi keduanya dan menuju ke toilet perempuan yang ada di belakangnya.

"Hei, Bree--Sial dia marah, Rod!" Jean malah memukul Lewis karena tak berhenti tertawa.

"Kau aneh hari ini, Rod. Kenapasih?" Keduanya bersandar pada dinding, Lewis masih menahan tawanya yang tadi tak mau berhenti.

"Entahlah, rasanya aneh."

"Iya, hari ini aneh." Jean menambahi. "Tapi kau yang paling aneh."

"Benarkah?" Jean memasang wajah kesal dan memukul bahu Lewis sekali lagi.

***

IntertwinedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang