5. Berdarah dan terluka bukan berarti bodoh

18 4 0
                                    

Ketiga sejoli itu terbangun bersamaan karena bunyi perut yang keroncongan. Lewis, Jean, dan Brooklyn merasa tak bertenaga dan kelaparan. Di dalam gua yang seharusnya gelap, mereka mengucek mata merasa aneh dengan cahaya yang ada di hadapan mereka.

"Dasar pemalas, bagaimana kalian akan bertahan hidup nantinya." Rachel berceloteh sambil terus menerus mengumpulkan kertas dari dalam tasnya ke sebuah timbunan sampah yang menghasilkan api.

"Kau sudah sembuh, Rachel?" Lewis mengambil posisi duduk dan meregangkan tubuhnya yang terasa kaku di beberapa bagian sendi-sendinya.

"Ini bukan apa-apa, aku sudah pernah terluka lebih dari ini." Keduanya berbincang dalam senyap, hanya bunyi api yang tenang dan tak ada gemercik karena Rachel tak menemukan satu jenis kayu apapun yang bisa ia bakar.

Rachel sangatlah bahagia bisa mempraktekkan pelajaran kehidupan primitif yang ia dapatkan dari internet seperti menyalakan api dengan bebatuan. Dengan sedikit terpaksa agar api unggunnya terus menyala, Rachel merobek isi buku tulis yang ada dari dalam tasnya untuk menjaga kehangatan tubuhnya dan tiga orang yang terkapar kelelahan.

"Kau sangat pintar," puji Lewis pada Rachel, gadis itu balas menatap tak percaya pada lelaki dengan rambut ikal yang berwarna merah gelap. Lewis membenarkan letak kacamatanya dan mengacak rambutnya dengan pelan padahal tidak ada rasa gatal yang timbul pada kulit kepalanya.

"Darah di kepalaku tidak membuktikan bahwa aku bisa jadi langsung bodoh, aku sangatlah sempurna, Louis." Rachel memukul pelan kepala Lewis yang duduk di sebelahnya untuk mencari kehangatan pada api yang sudah beberapa waktu ia jaga.

Bunyi perut yang meronta kelaparan membuat Rachel hampir saja menyemburkan ludahnya dan menertawakan Lewis dengan penuh semangat jika saja bunyi perut miliknya tak ikut campur dan beradu siapa yang lebih nyaring.

"Kau lapar?" Lewis mengangguk menjawab pertanyaan Rachel, gadis itu menghela nafasnya dan mengeluarkan sebungkus roti cepat saji dengan selai cokelat dan melemparnya ke arah si rambut merah yang wajahnya terlihat sangat bodoh.

"Kau tidak makan?" Rachel menggeleng sebagai jawaban.

"Itu roti terakhirku." Mendengar itu, Lewis dengan segera membuka bungkus roti dan membelah rotinya menjadi empat.

"Untukmu, satu bagian untukku dan dua lainnya untuk mereka berdua." Lewis menjelaskan dengan senyum cengengesan sambil menyisihkan dua bagian ke dekat Brooklyn dan Jean yang masih lemas dan rebahan. Keduanya sedari tadi mendengar apa yang Rachel dan Lewis bicarakan, namun memilih diam tak menginterupsi karena tak memiliki tenaga yang berlebih untuk melakukannya.

"O-oke." Rachel dengan secepat kilat mengambil bagiannya dan mengunyahnya perlahan-lahan di dalam mulutnya. Lewis tak sadar bahwa dirinya turut tersenyum melihat bagaimana Rachel makan dengan senyum yang tertahan. Si rambut merah itu dapat menyimpulkan betapa Rachel adalah gadis yang kadang terlalu jujur dan kadang terlalu sering berbohong.

Jean dan Brooklyn yang merasakan betapa senyapnya kondisi sekitar mereka pun mendudukkan diri dan mengambil sepotong kecil roti yang sudah dibagi sama rata sebelumnya.

"Omong-omong, makhluk apa yang tadi itu?" Lewis bertanya, Rachel mengangkat bahunya dan menggeleng sebagai jawaban.

"Wendigo." Jean menjawab dengan mulut yang masih sibuk mengunyah bagiannya.

"Mereka ... Kanibal, sebelumnya manusia, dan bisa mempengaruhi siapapun. Harusnya tadi mereka tak memakan manusia...." Lelaki dengan rambut hitam sepanjang leher yang diikat dengan berantakannya itu menambahi setelah meneguk kunyahannya.

"Darimana kau tahu?" Brooklyn kebingungan bagaimana bisa Jean memahami hal-hal seperti itu yang bahkan tak semua orang biasanya paham.

"Game horor yang pernah aku mainkan," jawab Jean dengan singkat dan jelas.

"Syukurlah jika mereka tak memakan manusia." Rachel berujar dengan wajah lega.

"Aku bahkan bilang bahwa mereka harusnya tidak memakan manusia dari yang kita lihat barusan. Kenapa kau terpikir bahwa dia benar-benar seolah tidak akan memakan manusia? " Jean bertanya heran.

"Aku dan Stanley terpisah karena dikejar oleh mereka, baru saja kukira mereka telah menghabisinya. Tapi aku yakin Stanley akan bertahan hidup, dia juga sama hebatnya sepertiku di keadaan seperti ini." Gadis dengan rambut hitam sepundak itu membenarkan letak poninya yang sempat berantakan.

"Syukurlah kalau Kak Stanley selamat." Brooklyn turut bersyukur dan menunjukkan wajah yang lega di remang-remang cahaya api yang menyala lebih terang setelah Rachel melempar bekas bungkus roti yang berbahan mudah terbakar ke arahnya.

"Aku akan sangatlah bersyukur kalau siscon satu itu menjadi Wendigo," gumam Jean pelan namun hanya terdengar oleh telinga Lewis yang tepat di sebelahnya.

"Tapi, Jean, bukankah kau bilang Wendigo sebelumnya adalah manusia, jangan-jangan yang tadi-"

Ucapan Lewis terpotong karena Rachel dan Brooklyn yang sama-sama memegang pundaknya hingga lelaki itu merasa ketakutan dan merinding sendiri.

"Tidak mungkin, meski berubah jadi aneh Stanley tidak mungkin sejelek itu. Aku terpisah dengan Stanley di perjalanan, mereka menangkapnya namun tidak seperti akan memakannya." Rachel mengeluarkan pendapat kontranya atas pernyataan Lewis yang memancing sebuah amarah meledak-ledak dalam dirinya.

"Kak Stanley mana mungkin begitu." Brooklyn turut mendukung argumen Rachel, Jean hanya bisa geleng-geleng kepala betapa para gadis itu menggila akan Stanley yang sosoknya nampak seperti sangat penting bagi keduanya.

Menjadi kakak dari dua gadis cantik benar-benar berkah dan musibah bagi Stanley. Jean sempat terpikir ingin sekali menggantikan posisi Stanley, tapi rasanya aneh jika menyukai saudari sendiri.

"Wendigo adalah manusia yang dipenuhi pengaruh atau aura jahat hingga berubah menjadi wujud lain yang memakan sesamanya. Aku heran sekali kenapa Rachel Moody tidak mendapatkan takdir sebagai Wendigo." Jean menjelaskan sambil mengejek Rachel yang langsung saja menampilkan wajah kesal. Jika saja ini bukan kondisi genting, maka Jean pasti sudah sekarat dalam genggaman Rachel.

"Jaga mulutmu, Androwse." Rachel melemparkan tatapan tajamnya yang setajam paruh elang kepada Jean yang membalas dengan tatapan malas.

"Stanley sangatlah suci, mana mungkin ia berakhir menjadi Wendigo." Rachel menambahi.

"Benar, kak Stanley sangatlah tidak mungkin menjadi Wendigo jika begitu." Brooklyn juga ikut mendukung Rachel lagi dan lagi. Keduanya sangat kompak kalau sudah membahas Stanley, membuat Jean kehilangan kesenangannya.

"Tapi mana kita tahu isi hati dan keinginan terdalam manusia lain, bukan?" Lewis berujar, melawan argumen Rachel dan Brooklyn yang begitu mendewa-dewakan Stanley.

***

IntertwinedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang