BAB 2: Surat Kecil Untuk Masa Depan

12 3 0
                                    

"Cebol ... Cebol ... Cebol! Ha ha ...!" tawa seorang anak laki-laki sekitar usia 10 tahun kepada anak lelaki bertubuh kurus dan pendek di hadapannya. Ia kini tengah dirundung oleh sekitar empat orang anak laki-laki lainnya.

"Eh, kalian lagi ngapain?" Seorang anak perempuan bertubuh langsing, putih, dan berwajah cantik, tiba-tiba saja muncul di antara mereka.

"Eh Dek Gladys yang cantik, kita cuma main aja, kok!" jawab anak laki-laki bertubuh tambun. Sang gadis kemudian melirik anak lelaki kurus yang tengah meringkuk dan meringis. Tampak titik bening meluncur dari sudut matanya. "Kalian apain anak itu, sampe nangis kayak gitu?" lanjutk si anak perempuan cantik.

"Kita katain dia cebol. Habis, dia pelit, sih. Mau pinjam mobil remote-nya aja enggak boleh," seloroh anak lelaki bertubuh jangkung.
"Kalau dia enggak mau pinjemin mainan, itu hak dia. Enggak boleh dipaksa, apalagi dikatain begitu. Kata Bundaku, kalau kita menghina orang lain, itu sama aja kita menghina ciptaan Allah. Berani kamu menghina ciptaan Allah?" ucap si anak perempuan panjang lebar dengan gaya sok dewasa.

Padahal, usianya baru tujuh tahun. Tetapi, tinggi badannya memang sering membuat orang salah mengira kalau ia lebih dewasa dari usia aslinya.

"Ya udah, deh. Kita enggak katain lagi. Nih, mobil remote kamu!" Anak laki-laki bertubuh jangkung mengembalikan mobil remote milik si anak lelaki yang tadi disebut cebol.

"Udah, yuk, kita pergi! Dadah, Gladys cantik," ucap anak bertubuh tambun seraya melambaikan tangan dan menampilkan deretan gigi kuningnya. Setelah itu, gerombolan empat anak itu pun pergi meninggalkan Gladys dan anak yang tadi dirundung.

"Udah, kamu jangan nangis gitu! Mobilnya, 'kan, sudah dikembalikan," ucap Gladys seraya mengulurkan tangan. Anak kurus meraih uluran tangannya seraya berdiri.

"Terima kasih, ya," ucap anak itu datar.

"Sama-sama. Oya, namaku Gladys. Kalo nama kamu siapa?"

"Aku Aldebaran. Panggil aja Alde."

"Oke, Alde. Mulai sekarang, kita berteman, ya." Gladys menyunggingkan senyum yang kemudian dibalas oleh Aldebaran dengan senyuman yang tak kalah manis. Ya, sebenarnya, kalau mau jujur, anak bernama Aldebaran itu berwajah imut dan manis. Hanya karena ia kurus dan pendek, membuatnya menjadi tampak ringkih dan tak menarik.

Sejak hari itu, Gladys dan Aldebaran mulai menjalin pertemanan. Gladys sering main ke rumah Aldebaran, begitupun sebaliknya. Gladys senang sekali kalau bermain di rumah anak itu, karena ada adiknya yang berusia lima tahun bernama Nesya. Ia senang bermain bersama Nesya yang menggemaskan.

Selain itu, ia juga senang ikut memasak bersama Lidya, Ibu Aldebaran. Menurutnya, memasak merupakan hal yang menyenangkan. Sudah memang dasarnya ia senang main masak-masakan, apalagi masak betulan. Ia merasa sangat antusias membantu setiap kali Lidya memasak makanan untuk mereka.

*

"Ayo, kita buat janji. Tulis janji kita dalam surat kecil. Nanti kertasnya dilipat, terus dimasukkan dalam kotak kecil. Aku punya kotak besi yang imut. Satu buat aku, satunya lagi buat kamu." Tangan kanan anak Aldebaran menyodorkan sebuah kotak kecil kepada anak perempuan di hadapannya. Meski sudah berusia sembilan tahun, ia terlihat pendek dan kecil dibanding anak-anak seusianya.

Anak perempuan berwajah putih, hidung mancung, dan mata bulat dengan bulu mata lentik itu, adalah anak tercantik di daerah ini. Tubuhnya tinggi langsing meski baru berusia tujuh tahun. Tetapi, banyak yang menyangka usianya lebih tua karena tubuhnya yang tinggi itu.

Mata bulat milik sang gadis kecil menatap kotak berbentuk segi empat berwarna silver tanpa berkedip. Takjub. Sekaligus aneh dengan ide sahabat kecilnya.

"Apa kita harus lakukan ini?" tanya gadis  bernama Gladys itu polos.

"Iya, harus! Katanya, keluarga kamu, 'kan, akan pindah ke Korea, jadi kita harus mengikat janji ini supaya enggak saling melupakan," ucap Aldebaran,  si anak kurus pendek, dengan penuh tendensi.

Akhirnya Gladys memenuhi permintaan temannya itu. Ia menuliskan kata-kata dalam kertas putih berukuran kecil, lalu melipat dan memasukkannya ke dalam kotak yang tadi diberikan oleh Aldebaran.

Hal yang sama juga dilakukan oleh anak laki-laki bertubuh kurus. Kemudian, dua kotak besi tersebut dimasukkan ke dalam tanah yang sebelumnya sudah digali oleh Aldebaran. Setelah itu, kedua kotak dikubur ke dalam tanah.

Dua anak itu pun mengikat janji. Kelak pada tanggal yang sama, lima belas tahun lagi, mereka akan kembali ke tempat ini untuk menggali dan mencari kedua kotak yang dikubur tadi.

Mereka akan saling bertukar kertas dan membaca isi yang tertulis dalam kertas masing-masing. Apa pun isi surat tersebut, maka mereka berdua harus mau mewujudkannya satu sama lain.

"Kamu janji ya, nanti harus melakukan apa yang tertulis di surat kecil itu," pinta Aldebaran seraya menyodorkan jari kelingking tangan kanannya.

"Iya, aku janji," jawab Gladys mantap. Disambutnya jari kelingking Aldebaran sehingga bertaut dengan miliknya. Sebuah janji pun telah terikat. Waktulah yang 'kan menjawab apakah janji tertunaikan, ataukah hanya akan menjadi kenangan masa kecil yang terkubur bersamaan dengan terkuburnya dua surat di dalam kotak silver tersebut.

*

"Kalian berdua dari mana? Kok, tangannya kotor begitu?" tanya Lidya, Ibu Aldebaran, setibanya mereka di rumah, usai bermain di taman.

"Habis main, Ma," jawab Aldebaran sekenanya. Sementara Gladys hanya terdiam. Ia sembunyikan rasa takut dimarahi oleh Lidya.

"Haduh, sampai kotor banget begitu. Udah, cepat cuci tangan dulu sana! Mama tadi masakin masakan kesukaan kamu loh, Al. Woku-woku tempe dan tetelan!"

"Wah, asyik! Ayo, Dys, kita cepat-cepat cuci tangan! Abis ini kita makan bareng. Woku woku bikinan mamaku enak banget, loh!"

"Nah, betul, tuh! Nanti ikut makan bareng ya, Dys," ucap Lidya ramah, membuat Gladys yang tadinya merasa khawatir dimarahi, menjadi merasa lega. Ia pun kemudian mengekor langkah kaki Aldebaran untuk sama-sama mencuci tangan mereka. Setelah itu, Aldebaran yang sudah tak sabaran, sedikit berlari menuju meja makan, lalu segera duduk.

"Dys, kamu duduk sini!" Anak lelaki kurus itu menepuk kursi yang ada di sebelahnya. Gladys menurut. Ia meletakkan bokong di kursi yang ditunjuk oleh Aldebaran. Mereka pun duduk bersama layaknya sebuah keluarga. Aldebaran kemudian menyendok nasi dan tetelan woku di piring yang tadi sudah disediakan oleh ibunya.

"Eits, jangan lupa baca 'bismillah' dulu, ya, Al, Dys." Lidya mengingatkan seraya menyunggingkan senyum.

"Oh iya, hehe. Saking semangatnya sampai lupa. Bismillah." Satu suapan nasi dan tetelan woku, masuk ke dalam mulut Aldebaran. Begitu juga dengan Gladys. Usai membaca kalimat basmallah, satu suapan meluncur dimulutnya. Saat mulai mengunyah, kontan membuat mata bulatnya membeliak.

"Wah, enak sekali ini, Tante," ucapnya dengan mulut masih mengunyah.

"Alhamdulillah kalau kamu suka."

"Suka banget, Tante! Duh, jadi pingin bisa masaknya juga, deh. Tante mau enggak ajarin aku masak makanan ini? Aku baru pertama kali, loh, makan tempe dimasak kayak gini."

"Boleh, boleh. Ini tempenya jadi lebih gurih karena pakai tetelan juga, ditambah bumbu rempahnya yang juga melimpah," jelas Lidya. Ia merasa senang masakannya disukai, apalagi melihat wajah Gladys yang tampak begitu antusias.

Betapa semringahnya Gladys Si Cantik yang biasanya hanya main masak-masakan, jadi bisa belajar masak sungguhan bersama Lidya. Kebersamaannya dengan Aldebaran, Nesya, dan Lidya, terjalin begitu indah dan penuh kehangatan. Sampai tiba masanya, Gladys harus pergi kemudian berganti nama menjadi Nadira Azzahra. Seperti apa perjalanan hidup yang telah dilaluinya?

**

“Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk)...”
(QS. Al-Hujuraat [49]: 11)

I WAS BEAUTIFUL (Dahulu Aku Cantik)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang