Ketika Gladys Menjadi Nadira

11 3 0
                                    

Setelah pancake stroberi habis, tampak Nesya mulai menguap. Lidya lalu pamit untuk menidurkan Nesya ke kamarnya. Tinggallah Aldebaran dan Gladys melanjutkan obrolan.

"Ngg ... Alde, aku boleh, 'gak, minta sesuatu sama kamu? Benda, apa aja yang udah enggak kamu pake gitu," pinta Gladys. Kontan, Aldebaran mengernyitkan dahi mendengar permintaan temannya itu.

"Barang yang enggak dipake? Buat apa?" tanya Aldebaran bingung.

"Ya ... buat tambahan koleksiku aja. Boleh, ya?"

"Umm ... oh, iya, ada. Bentar aku ambil, ya." Aldebaran beranjak ke kamar untuk mengambil benda yang dimaksud lalu segera kembali lagi.

"Ini." Aldebaran menyerahkan sebuah boneka kucing kecil berwarna putih. "Itu hadiah dari teman. Tapi, kayaknya lebih cocok buat cewek, deh! Jadi, kukasih buat kamu aja."

"Wah, bagus ini. Aku suka! Makasih, ya, Al!" Gladys menerimanya dengan mata berbinar dan wajah semringah.

"Sama-sama. Oya, itu kalau ditekan bagian tengahnya, bisa bunyi, loh! Coba, deh!"

Gladys mencoba menekan bagian tengah boneka. Awalnya tak ada suara apa-apa. Lalu Aldebaran membantunya menekan. Baru kemudian terdengar suara semacam 'miaw miaw' seperti suara kucing.

"Wah, lucu, lucu! Aku suka! Makasih banget, ya, Al!"

"Iya, sama-sama. Bagus, deh, kalau kamu suka."

"Umm ... sayangnya aku enggak punya apa-apa untuk kamu. Cuma ada ... sapu tangan ini!" Gladys merogoh kantong roknya untuk mengambil sapu tangan lalu segera menyerahkannya. Aldebaran menerimanya dengan wajah masih bertanya-tanya.

"Buka, deh, sapu tangannya!" pinta Gladys, yang langsung diikuti oleh Aldebaran. Alisnya terangkat begitu melihat bagian dalam sapu tangan yang kini sudah tak terlepit lagi.

"Wah, ada sulaman nama aku, nih! Kayaknya memang khusus dibikin buat aku, deh!" Aldebaran menyipitkan mata.

"Hehe. Iya. Itu aku yang sulam sendiri. Maaf, ya, kalau kurang rapi."

"Bagus, kok. Lumayanlah, untuk sulaman gadis kecil kayak kamu, mah. Makasih, ya!"

Gladys memonyongkan bibirnya mendengar ia disebut gadis kecil. Tetapi, setelah itu derai tawa kembali terdengar di antara mereka. Hingga akhirnya Gladys mrnyadari waktu mulai beranjak sore ketika mendengar suara Azan Asar.

"Wah, udah Asar, Al. Aku pulang, ya. Umm ... oya, sapu tangan ini kamu simpan baik-baik, ya," pinta Gladys. Semakin mendekati perpisahan, hatinya terasa kian nyeri. Ia menyadari bahwa hari ini adalah kebersamaannya yang terakhir dengan sang teman karib.

"Iya. Aku coba simpen dengan baik."

"Ngg ... kamu makan yang banyak, ya, supaya bisa cepet tambah tinggi dan nggak kurus lagi. Supaya enggak diganggu lagi sama Edo dan teman-temannya," nasihat Gladys. Aldebaran malah tertawa mendengarnya.

"Ya ampun, Dys. Kamu jadi kayak ibu ibu aja ngomongnya." Aldebaran menggeleng-gelengkan kepala. Gladys menatap nanar wajah Aldebaran. Entah mengapa, melihat tawanya kali ini, terasa ada yang berbeda. Ada sedih yang menyergap sebab itu akan menjadi tawa terakhir yang dilihatnya.

Teruslah tertawa sepeti itu, Alde. Aku senang melihatnya. Semoga kamu bisa terus hidup bahagia dan tumbuh dengan baik. Entah, apa kita akan bisa bertemu lagi. Tentang surat itu, 15 tahun lagi, aku takkan lupa. 'Kan kutepati janji untuk bertemu lagi denganmu dan membuka kotak itu bersama-sama. Batin Gladys.

"Oya, aku pamit pulang dulu, ya. Salam buat Tante Lidya dan Nesya," ucap Gladys.

"Oke." Aldebaran lalu mengantar Gladys sampai ke pintu. Keluar dari rumah itu, hati Gladys semakin terasa teriris. Ia pasti akan sangat merindukan rumah ini dan segala kisah tentangnya. Gladys pun melambaikan tangan dengan terus berusaha menyembunyikan kecamuk rasa di hatinya. Ditahannya embun yang kini mulai menggenangi matanya.

Selamat tinggal Aldebaran. Semoga kamu menepati janji dan kita dapat berjumpa lima belas tahun lagi. Gladys berbalik. Barulah kini ia biarkan air matanya tumpah membasahi pipi. Sesak, perih, hatinya serasa diiris sembilu. Tetapi, ia terus melangkah menjauh tanpa pernah menengok lagi.

*

"Kamu sudah siap, Dys?" tanya Vallery seraya tersenyum. Gladys hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Oh, ya. Bunda ada kenang-kenangan buat kamu. Ini, tolong disimpan baik-baik, ya." Vallery menyerahkan sebuah gelang emas berbentuk rantai tebal yang dihiasi bandulan berbentuk hati dan bintang. Terbilang mewah untuk anak seusia Gladys. Sang putri menerimanya dengan mata berbinar dan alis terangkat. Takjub dengan benda berkelip yang kini dipegangnya.

"Kalau bisa kamu jaga baik-baik gelang ini sampai dewasa nanti. Tapi, kalau kamu nanti misalkan sewaktu-waktu butuh uang, tidak apa kamu jual saja gelang ini."

Gladys mengangguk. Ditatapnya mata sang Bunda yang telah mengembun. Ia pun lantas menghambur ke dalam pelukannya. Mereka kemudian menuju ruang tamu yang ternyata sudah ditunggui oleh Eha dan Dahlan. Gladys sadar, inilah saatnya ia harus pergi. Dipandanginya lagi keluarganya. Gunawan, Vallery, dan Clara yang berada dalam gendongan ibunya. Gladys kembali memeluk mereka semua seraya terisak. Sungguh berat hatinya meninggalkan orang tercinta yang selama ini menjafi bagian terindah dalam hidupnya.

"Hati-hati, ya, Sayang. Ayah, Bunda, dan Clara akan selalu menyayangimu," ucap Gunawan dengan suara bergetar. Sedangkan Vallery, hanya mampu menahan isakan tangis yang seakan tak bisa surut. Gladys mengangguk. Air mata kini telah membasahi pipinya. Dengan langkah berat dan sesekali menengok, Gladys akhirnya benar-benar pergi meninggalkan rumah itu. Ia pergi bersama ibu kandung dan keluarga barunya dengan perasaan tak menentu.

Mobil minibus sewaan yang mereka tumpangi, lantas membelah jalanan yang hari ini basah oleh hujan. Mobil terus melaju hingga akhirnya berhenti di depan sebuah gang sempit.

"Nah, sekarang kita sudah sampai. Ayo!" Eha mengajak turun dengan wajah merona bahagia. Gladys masih terdiam dan mengikuti langkah ibunya itu. Mereka memasuki gang sempit hingga tiba di depan rumah bercat putih yang sudah kusam. "Ini dia rumah kita, yuk, masuk!" Eha menggandeng tangan Gladys yang masih tampak ragu. Ia hanya mengekor langkah ibunya sambil mengamati rumah berukuran kecil itu. Memasuki ruang tamu, hanya ada bangku terbuat dari kayu dengan meja kaca.

Gladys terus berjalan maju, hanya mengikuti langkah sang ibu. Entah mengapa, semakin ke dalam, semakin hatinya merasa sesak.

"Nah, kalau ini kamar kamu dan Erina." Eha lalu memutar gagang pintu dan membukanya. Mereka lalu memasuki kamar, tampak satu buah kasur bertingkat, lemari, dan meja belajar kayu yang sudah mulai keropos. "Nanti kamu tidur di atas ya, Dira. Adik kamu tidur di kasur bawah," lanjut Eha.

"Dira?" tanya Gladys dengan kening berkerut.

"Iya, Dira, itu nama kamu."

"Tapi, nama saya Gladys, Bu. Gladys Vileria," protes gadis berusia tujuh tahun itu. Tetapi, Eha malah terkekeh mendengarnya.

"Di sini mana cocok kamu dengan nama itu. Nanti orang-orang malah enggak bisa nyebut nama kamu lagi."

"Tapi, saya suka nama itu. Kata Bunda, Gladys itu berasal dari kata  'Glad' yang berarti tawa. Itu karena kehadiran saya telah memberi kebahagiaan pada keluarga, juga sebagai harapan agar hidup saya selalu dipenuhi tawa dan kebahagiaan," terang Gladys.

"Sudah, sudah. Itu 'kan nama dari Bunda kamu. Padahal, sejak lahir, Ibu juga sudah memberi nama buat kamu. Nadira Az-Zahra. Itulah nama kamu yang sebenarnya. Jadi, mulai sekarang, nama kamu bukan lagi Gladys, tapi Nadira." Eha menekankan. Gladys akhirnya tak mampu berkata apa-apa lagi.

Ibu baru, rumah baru, dan nama baru, tentu akan ada banyak hal baru lainnya yang akan dijalani Gladys a.k.a Nadira. Seperti apa kehidupan yang kelak akan ia jalani?

“Dialah Allah yang menjadikan seorang tertawa dan menangis”
(QS. An-Najm: 43).

I WAS BEAUTIFUL (Dahulu Aku Cantik)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang