Chapter X : Labyrinthe de Glace

508 36 5
                                    

Anna berjalan terseok-seok menelusuri tembok-tembok tinggi yang terbuat dari es padat. Luka sayat di kakinya akibat duel sebelumnya dengan orang Westeria membuatnya kesulitan berjalan. Udara malam Nordhalbinsel yang sangat dingin membuat rasa sakit di kakinya menjadi lebih parah. Malam itu, Anna berada di dalam Labirin Es milik Istana Nordhalbinsel yang konon dibuat langsung oleh sihir Permaisuri Selena untuk menjebak siapa pun yang mau menyusup ke dalam Istana. Rumor yang beredar mengatakan, labirin itu tidak memiliki jalan keluar yang pasti. Karena dibuat dari sihir, labirin itu dapat berubah-ubah sesuai keinginan Sang Permaisuri. Sekali masuk, tidak ada jalan keluar, kecuali jika Sang Permaisuri menghilangkan labirin tersebut dengan sihirnya.

Tes Bertahan Hidup ternyata tidak terlalu mengerikan seperti yang diperkirakan Anna selama ini. Atau mungkin itu sebenarnya memang mengerikan seperti yang dia bayangkan selama ini, namun Putra Mahkota Xavier, dengan segala kebijaksanaannya—begitulah yang mereka umumkan—merubah peraturan dalam Tes Bertahan Hidup. Para kandidat tidak perlu saling membunuh dalam labirin itu. Mereka hanya harus merebut kalung dengan liontin berbentuk butiran es milik kandidat lainnya yang melambangkan nyawa mereka. Kalung tersebut diberikan satu-persatu kepada masing-masing kandidat sebelum memasuki Labirin Es. Dan kini Anna telah mengantongi lima kalung termasuk miliknya sendiri karena sebelumnya dia telah berhasil mengalahkan dua orang yang masing-masing sudah memiliki dua kalung.

Anna tahu dirinya tidak akan menang dengan mudah. Lawannya adalah orang-orang yang berpengalaman di bidang ini sementara dirinya adalah seorang Putri Kerajaan. Orang yang terbiasa dilindungi alih-alih melindungi. Dia tak pernah diharuskan mengangkat senjata. Jadi dia menggunakan otaknya dan mengatur strategi. Dia menyembunyikan kalungnya di tempat tersembunyi, tidak dipakai di lehernya sehingga orang-orang yang melihatnya—terlebih dengan perawakannya yang kecil dan terlihat lemah—akan mengira bahwa dia sudah tereliminasi karena tidak memakai kalung. Jadi orang-orang takkan repot-repot melawannya. Dia akan mengamati orang lain, menunggu dalam diam. Ketika dia melihat seseorang sudah berhasil mengantongi satu kalung lain milik lawannya, dia akan melawan orang tersebut agar langsung mendapat 2 kalung. Sejauh ini, strategi itu berhasil.

"Berhenti di sana." Ucap seseorang.

Anna berbalik untuk melihat siapa yang mengatakan itu, tapi tepat sebelum dia berbalik, sebuah anak panah melesat ke arahnya dan menggores pipinya.

Anna segera mencabut pisau belati Nordhalbinsel yang dia gantung di pinggangnya lalu menodongkannya ke arah pria yang menyerangnya.

"Apa kau lupa peraturannya, Tuan?" Kata Anna.

Menurut peraturan yang dibacakan langsung oleh Elias sebelum Ujian Tahap Dua dimulai, mereka tidak boleh melakukan serangan mendadak seperti itu. Mereka harus melakukan duel untuk mendapatkan kalung lawan. Saat lawan menyatakan menyerah, barulah mereka dapat mengambil kalung milik lawan.

Pria itu menyeringai keji. "Bagaimana bisa pisau belati milik Putra Mahkota Nordhalbinsel ada di tangan Putri Kerajaan Schiereiland?"

Anna terkejut mendengarnya. Bukan hanya karena pria itu mengetahui identitasnya, tapi juga mengenai fakta bahwa pisau belati yang dia miliki, pisau belati yang Leon berikan padanya ternyata adalah milik Sang Putra Mahkota. Pantas saja dia merasa pisau ini berkualitas bagus. Pisau ini tidak seharusnya dapat dibeli dengan harga murah di pasar toko barang bekas. Tapi Anna berusaha menyembunyikan ekspresi terkejutnya itu dan berfokus pada penyerangnya.

"Siapa kau?" Tanya Anna, masih menodongkan pisau belati itu, bersiap menyerang jika pria itu melakukan sesuatu yang membahayakannya. Tentu saja tidak akan terlalu sulit untuk melawannya jika saja kakinya tidak terluka.

Labirin ini tak begitu lebar. Anna hanya harus melompat ke samping, ke titik buta pria itu, lalu menendangnya, dan melumpuhkannya sebelum pria itu tersadar bahwa gadis di hadapannya dapat melakukan semua itu. Tentu saja pelatihan dengan Leon selama dua minggu terakhir benar-benar bermanfaat bagi Anna dalam menaklukkan lawan sebesar apa pun.

The Rose That Blooms in NorthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang