Troi memandangi tetesan hujan yang jatuh dari ujung terpal yang menutupi truk. Hujan diluar sangatlah deras, membuat jalan tanah merah yang mereka lalui berubah menjadi genangan lumpur nan licin. Truk melaju pelan dan berhati hati agar tak sampai terperosok lubang karena jika begitu mereka akan membutuhkan waktu lama agar bisa sampai ke tempat tujuan.
"Apa tidak ada jalan yang lain, Letnan?" tanya Kopral Aji yang duduk di seberang Troi.
Troi mengeratkan senapan ke dada, perasaannya mulai tak enak. "Ini jalan tercepat."
Jarum jam menunjukkan pukul 17.15, dalam jadwal seharusnya mereka sudah sampai dua puluh menit lagi, tapi melihat medan yang mereka tempuh dan hujan yang mendadak turun, Troi tak yakin mereka bisa tepat waktu. Misi kali ini dipimpin Kapten Pringhadi yang duduk di depan bersama sopir truk, ada dua belas orang termasuk Troi yang duduk di belakang, ditambah logistik di ransel masing-masing dan satu senapan di dada. Tim yang diterjunkan markas pusat adalah orang-orang terbaik dari batalyon loreng merah, termasuk Troi dan orang kepercayaannya Prada Okky yang terkantuk-kantuk di depannya.
Troi tak sepenuhnya berada di tempatnya yang sekarang, sebagian dirinya melayang-layang ke suatu tempat tepat enam bulan yang lalu saat ia datang ke sebuah acara pertunangan. Sebelum berangkat ke hotel yang dimaksud ibunya, mereka terlebih dahulu mengobrol panjang sebelum memutuskan untuk mengiyakan permintaan beliau.
"Aku nggak bawa baju, Ma."
Ibunya menghela napas panjang di seberang sana, Troi ikut-ikutan menarik napas. Jikalau saat itu mereka duduk berhadap-hadapan, Troi tidak akan tahan melihat raut sendu di wajah ibunya, untunglah mereka hanya bercakap-cakap lewat telepon genggam.
"Apa ndak misa minjem dulu."
"Nggak ada yang bawa seragam pesta, Ma. Kami ke sini untuk latihan tempur."
"Apa ada cara lain? Soalnya Om Hermawan orang yang sangat penting buat ayahmu."
Akhirnya setelah meyakinkan sang ibu kalau ia bias mengusahakan untuk pergi, sambungan telpon Jakarta-Lombok akhirnya ditutup ibunya dengan pesan terakhir, untuk menyampaikan ucapan selamat sekaligus permintaan maaf kalau ia dan suami tak bisa menghadiri pesta pertunangan putri tunggal Hermawan Salim dan hanya bisa mengirim putra sulung mereka.
Setelah meminta izin kepada atasannya, ia berangkat ke Hotel Mandalika pada sore harinya. Troi yang nekat menggunakan seragam tempurnya menarik perhatian para tamu yang mengira kalau mereka salah menghadiri perjamuan karena ada tentara yang nongol dan berada di antara mereka. Sebelum masuk ke dalam venue acara, Troi menyempatkan diri menemui Hermawan Salim yang sibuk menyapa tamu undangan. Lelaki flamboyan itu berseru girang melihat Troi, ia menjabat tangan si anak muda kuat-kuat dan berkata kalau ia sangat merindukan putra sahabatnya itu semenjak terakhir kali mereka bertemu.
"Lihat kau sekarang anak muda, gagah sekali. Sayang sekali kau memilih jadi tentara. Kalau kau mau kau bisa kujadikan bintang sinetron."
Troi tersenyum, Om Hermawan masih tetap periang, ramah dan hobi bergurau. Di sebelahnya ada wanita muda yang sedang kelilipan karena tak berhenti berkedip sejak tadi.
"Aku mau bintang di pundakku saja Om. Oh ya, mama dan ayah tak bisa hadir, mereka harus ke Singapura."
Hermawan salim mengibaskan tangan tak peduli. "Oh tak apa-apa, bisnis tetap nomor satu. Hmm, apa kau mau ganti pakaian dulu?" katanya sambil melirik Troi, bibirnya tersenyum-senyum.
Troi sedikit salah tingkah. Ternyata benar dugaannya, pesta mewah yang diselenggarakan orang kaya harus dihadiri dengan dress code, bukan dengan seragam tentara. Tapi Troi tak punya waktu untuk mencari setelan pesta sedangkan ia baru diberi tau ibunya tadi pagi. Ia juga tak membawa seragam formalnya karena ia ke Lombok untuk latihan gabungan bukan mengadiri makan malam.