Pagi ini ada sebuah seminar yang mewajibkan Troi untuk menghadirinya. Berlangsung di ruang pertemuan berkapasitas 200 orang di sebuah hotel berbintang dengan lima pembicara yang berasal dari kalangan militer, akademisi dan profesional. Saat pamit pada Helena, Troi yakin bahwa hari itu akan berjalan lancar dan sukses karena langit terlihat cerah saat ia melajukan mobilnya di jalan raya.
Salah satu pembicara yang mewakili kalangan akademisi pernah menjadi dosennya di Akmil, Troi ingin menyapa tapi beliau tampak sibuk meladeni orang-orang yang mengerumuni beliau dan acara juga akan segera dimulai, jadi Troi putuskan untuk menunggu hingga beliau punya waktu lapang. Seminar berlangsung lancar, Troi banyak bertemu teman lama yang berbeda tempat dinas dan lebih banyak senior yang datang dari ketiga matra dan kepolisian, membuatnya merasa sedang menghadiri reuni Abituren dadakan.
Istirahat makan sedang berlangsung ketika Troi memohon izin untuk ke kamar kecil. Di sana ia buang hajat dan membasuh wajahnya yang sedikit tegang dan terasa kasar karena terlalu lama duduk di ruang ber-AC. Ia bisa mendengar satu pintu kubikel terbuka, seseorang keluar dari dalam dan berjalan menuju wastafel kedua di sebelah kanan Troi. Ia yang pada awalnya tidak tertarik untuk terlibat pembicaraan dengan orang asing akhirnya malah terdiam saat tak sengaja melihat ke samping, kepada lelaki yang kini balas menatapnya.
Dalam tangan seorang penulis, tatap-tatapan tersebut bisa saja berbuah ide untuk sebuah adegan romansa, dimana dua orang pria dewasa tengah tersambar panah cinta, tapi...raut di wajah Troi mementahkan sebuah plot dan mematahkan pena si penulis. Lelaki itu murka luar biasa sampai buku-buku tangannya memutih karena begitu kuat memaku kepalan tangannya di atas meja wastafel.
"Troian? Hahaha, apa kabar?"
Berbeda dari Troi, si lelaki yang satunya justru terlihat santai cenderung meremehkan pertemuan mereka. Ia seharusnya jangkung, tetapi lemak di tubuhnya membuatnya tampak sedikit lebih pendek. Sisirannya rapi dengan ujung rambut yang hampir mengenai kerah baju, lemak perutnya disangga oleh sabuk yang melekat pada celananya yang juga sedikit kedodoran.
Penampilannya sedikit menyedihkan tapi pribadinya masihlah semenyebalkan yang dulu ketika ia masih menjadi kakak tingkat Troi yang setahun lebih tua dan hampir menyebabkannya dikeluarkan dari Akademi Militer. Sebuah peristiwa yang tidak akan pernah dilupakan Troi seumur hidupnya meskipun nanti ia mati, ia akan tetap mengamuk di dalam kuburnya karena sampai hari ini ia masih menyimpan semua dendam itu.
"Kau belum mati-mati juga?" desis Troi berang.
Lelaki itu malah semakin semangat tertawa. "Aku pikir kau yang sudah mati, Troi. Bukannya baru kemarin helikoptermu jatuh."
Tinju Troi melayang cepat ke muka penuh ejekan itu, tapi masih kalah cepat dengan sebuah tangan yang kini menahan lengannya kuat-kuat. Troi menoleh ke belakang dan menemukan Gilang— temannya yang juga seorang perwira di Angkatan Laut, menyuruhnya untuk menurunkan tinjunya.
"Ada apa ini?" tanya Gilang.
Tinju Troi masih mengepal tapi sudah kembali ke sisi tubuhnya. Lelaki yang sempat memancing amarahnya tadi hanya mengedikkan bahu lalu berlalu melewati mereka. Troi memutar tubuhnya melihat kepergian lelaki tersebut, bahkan setelah lama ia menghilang dari toilet amarah Troi belumlah mereda.
"Kau sekarang memukuli sipil, Troi?" kata Gilang kembali sembari mencuci tangannya di bawah keran wastafel.
"Kalau itu memang harus, aku tak peduli," sambar Troi ketus lalu pergi begitu saja dengan masih membawa nafsu untuk memukuli seseorang atau apa saja.
Gilang tertinggal sendiri, ia hanya bisa geleng-geleng kepala dan berkata kalau Troi masih saja judes dan pemarah.
**********************