Pintu unit kamar yang terletak pada lantai ke tujuh bangunan elit terbuka ketika satu menit sebelumnya, seseorang menekan bel memohon agar diizinkan untuk bertamu sekaligus singgah.Si penyewa kamar memandang datar, namun melalui binar yang lebih hitam dari jelaga itu terbersit sorot penuh penghakiman akan kehadiran sang tamu.
Ini sudah yang ketiga kali dalam satu minggu belakangan. Dan dia mulai dibuat lelah akan segala omong kosong yang tidak pernah diorasikan. Hyunjin, si penyewa unit mewah tersebut menghembus napas frustasi. Namun agaknya tak dihiraukan oleh si tamu yang sama sekali tidak punya malu tersebut.
"Aku nginep di sini, ya." Itu adalah sapaan pertama yang terucap setelah sepersekian detik menelan kata. Melangkahkan kaki hendak masuk melewatinya, tetapi tangannya bergerak lebih cepat untuk mendorong tubuh tersebut agar tidak sembarangan menginjakkan kaki di kediamannya.
"Gak, lagi ada Seungmin." Hyunjin tahu alasan tersebut tidak akan mempan, sosok pemuda di hadapannya ini punya ribuan macam cara untuk menerobos masuk ke dalam rumahnya. Sekalipun pada akhirnya nanti akan diiringi dengkusan jengkel.
"Aku bisa tidur di sofa."
"Sofa ku rusak."
"Lantai mu gak rusak kan? Aku tidur di lantai aja."
Pemuda dengan proporsi tubuh hanya setera lehernya itu sedari awal lebih tertarik meneliti lantai papan yang sepatunya injak, ketimbang menatap sang lawan bicara yang butuh penjelasan meskipun keduanya pun sama-sama tahu. Hanya saja, Hyunjin tak ingin berasumsi.
"Seo Changbin..."
Namanya Changbin, berasal dari keluarga Seo itu pada akhirnya membalas sepasang bilah tajam milik Hyunjin yang dihunus kan padanya. Kedua netra cokelat gelap itu menyorot sendu, seolah meminta untuk dibiarkan tetap bisu sampai waktu yang tak dapat ditentukan.
"Don't look at me with that look in your eyes." Katakanlah Hyunjin benci. Bukan pada Changbin, melainkan pada dirinya sendiri yang malah berakhir selalu peduli meski telah berjanji untuk pergi. Seharusnya kini ia dapat hidup dengan tenang, tanpa dihantui bayang-bayang pemuda bermarga Seo yang nampak terluka itu.
"Do you also feel disgusted by me?" ujarnya gamang.
Kalimat pertanyaan itu seolah berdengung di dalam telinganya sendiri. Changbin merasa seperti berada di dalam ruangan hampa di mana ia sendirian, kesepian, dan hanya ditemani deru napasnya yang semakin pendek sebab tak kuasa menahan sesak pada paru-parunya.
"Bin, you know i don't."
Hyunjin taruh perhatian pada kedua kakinya, yang hanya memakai sandal rumah dengan berantakan. Sembari menggenggam ponsel di atas perut dengan begitu erat, lalu pakaian biasa yang melekat menjadi pertanda bahwa temannya itu pergi tanpa direncanakan. Yang mana berarti lari ke apartemennya adalah pilihan terakhir yang pemuda Seo itu punya.
"Let me in, Hyunjin."
Rahangnya mengeras seirama dengan kedua tangan mengepal tinju erat di masing-masing sisi tubuhnya guna menahan amarah yang entah akan ditujukan pada siapa. Changbin kah? Atau malah dirinya yang memilih untuk menjadi tidak berdaya.
Belum ada tanggapan dari pemuda yang memiliki nama belakang Hwang tersebut. Masih betah menelan ragu bagai orang dungu. Hingga pada beberapa sekon kedepannya, pukulan keras mendarat mulus di belakang kepalanya. Memberikan sensasi dengung juga sakit yang teramat sangat.
"Berhenti menjadi menyedihkan. Kamu sama sekali nggak membantu." Suara penuh rasa jengkel menyusul pukulan sadis tersebut. Diikuti kemunculan seseorang yang tadi sempat dijadikan sebagai objek kilah basinya. Kim Seungmin segera menghampiri Changbin dan merangkul pundak yang merosot lemas tersebut.
Lirikan bengis setia dihadiahkan untuk Hyunjin, yang kini masih mengaduh kesakitan karena pukulan tangan Seungmin tidak pernah main-main.
"Changbin, kamu jangan dengarkan dia. Manusia satu ini emang mulai sinting." Tanpa dosa Seungmin membawa Changbin masuk ke dalam unit mewah apartemen milik Hwang Hyunjin tersebut.
Seketika Changbin dan Seungmin melewati dirinya, Hyunjin menahan tangan kiri pemuda leo itu dengan menariknya agar lengan pakaian yang Changbin kenakan dapat sedikit terangkat. Dan benar, hal yang selalu menjadi ketakutan terbesarnya benar-benar menjadi satu-satunya objek pandang jelaganya yang nanar. Baik Seungmin dan Changbin pun segera terpaku di tempat, terlebih sang empunya.
"Bukannya dari awal aku udah bilang untuk gak pernah setuju? Bin, kamu pikir kamu malaikat yang punya hati suci untuk memaklumi kesalahan orang lain?!" Amarahnya enggan mereda. Bagaimana bisa ketika saat ini hatinya mencelos sakit karena tangannya yang sedang menggenggam luka.
Bibir Changbin seperti terkunci rapat kala kelemahannya diketahui oleh sang karib. Ia merasa seolah sedang ditelanjangi. Seharusnya cukup Tuhan yang tahu betapa lemahnya dirinya, tidak butuh Hyunjin ataupun Seungmin turut serta. Penderitaannya belum padam.
Seungmin satu-satunya yang masih punya kendali penuh pada dirinya itu segera mengambil alih tangan Changbin dari Hyunjin. Kembali menutup titik lemah itu dengan lengan panjang kaos polos hitam yang Seo kenakan.
"Changbin biar tidur di kamarku."
Sudah baca deskripsi di depan yang berisi trigger warning? Nah, kalo gitu udah jelas kan ya :"))
Btw ini short story, chapter barangkali maksimal 5, dan isi per chapter tidak lebih dari 1k words..
Terima kasih :))))
Start : 05 Maret 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
jamais vu - bangchan & changbin✓
FanfictionJamais vu : (n) From the French, meaning "never seen". The illusion that the familiar does not seem familiar. The opposite of the feeling of "dejà vu." Sebagaimana rasa sakit. Meskipun sering merasakannya namun tidak ada satupun yang akan merasa fam...