7. Rusak

4 1 0
                                    

"Fadkhulii fii 'ibaadi...wadkhuli jannati..."

"Alhamdulillah, Masya Allah sudah setengah juz. Sudah lancar pula. Bonusnya apa?" Papa menutup Al-Qur'an warna hijau milik Hanin. Disusul Khalid dan Zaid yang memeluk Al-Qur'an mereka. Ini weekend, dan  dengan kebiasaan mereka mengulang hafalan. Siapa yang lancar diperbolehkan  main game selama 3 jam.

Tentu saja semuanya antusias, termasuk Hanin. Dia sudah membayangkan ingin Meminjam laptop papa buat menonton youtube. Aplikasi pemutar video. Dia ingin mencoba bikin es kepal milo.

"Kamu duluan Za, aku mau ngelancarin dulu. Kalau aku gak lancar, entar main gamenya gimana. Gabisa duel malah." Khalid menjauh dari papa dan mulai membuka Al-Qur'annya. Maksimal kesalahan cuman 3. Lebih dari itu? Jatah mainnya dikurangi.

"Siap 45!" Kata Zaid hormat. Papa hanya tersenyum melihat kekompakan mereka berdua. Coba saja akur tiap hari. Kan enak dilihat.

"Boleh minjem laptop papa, gak?" Hanin memeluk papa. Melingkarkan lengannya pada leher.

"Tapi hari ini Haura mau datang loh, kalau main laptopnya 3 jam..." belum selesai mama memberi tahu perihal itu, Hanin memotongnya. "Gak lama kok, Insyaa Allah palingan satu jam."

"A'udzubillaahi minassyaithoonirrajimm..."

"Iya, pakai aja." Papa melepaskan pelukan Hanin dan mulai fokus pada Al-Qur'an kuning di depannya.

Hanin mulai menjauhi papa dan berlari menuju kamar. Iapun mengambil laptop dan meletakkan di meja dapur. Mereka murojaah di ruang tengah yang terhubung dengan dapur. Alhasil terlihat lah kesibukan Hanin.

Uwais dan Ulfah santai melukis sesuatu pada buku gambar. Mama hanya memperhatikan dari kejauhan. Begitulah yang terjadi  hingga janji Hanin berakhir.

"Wa yaquulul- kaafiru yaalaitani kuntu turooba... prankk..." Bertepatan dengan selesainya Khalid, terdengar suara benda terjatuh. Semua pandangan menuju dapur. "Ada apa Hanin?" Mama mengalihkan pandangan ke papa. Dan papa segera menuju dapur, memastikan suara ribut apa tadi.

"Astaghfirullah, Hanin. Ini laptop papa buat kerja. Aduhh ambyar dah file ini itu. Kalau minjem tuh dijaga. Jangan dibiasain gini," papa memeluk laptopnya dan segera menuju kamar.

Sedangkan Hanin setelah mendapat omelan berusaha tetap kuat. Dia membersihkan pecahan dan mengepelnya agar tidak licin. Khalid dan Zaid pun menyusul Hanin yang berlari menuju kamar.

Weekend yang kacau.

"Zaa, gimana nih Hanin?" Khalid menaiki tangga menuju kamar Hanin.

"Kamu gih, dia kan sayang sama kamu." Zaid membenarkan posisi duduknya agar Khalid bisa mencari celah untuk duduk.

"Abang ngapain ke sini? Hanin sudah jahat. Kenapa malah nyusul Hanin?" Kebiasaan Hanin banget kalau lagi sedih pasti balik ke kamar dan mojok.

"Hanin gak jahat."

"Iya, Hanin gak jahat. Hanin cuman gak sengaja kok pasti. Bilangnya apa nih?" Zaid mengusap rambut Hanin yang lurus dengan panjang sebahu. Sedangkan Khalid menutup tirai yang menjadi pintu setiap kamar  mereka.

"Qadarullah, papa gimana? Hanin takut."

"Tau gak kenapa mama ngegabung kita dengan kamar begini, tapi tetap diberi tirai buat pengganti pintu. Ya itu agar kita tetap punya privasi. Apalagi Hanin nih, nangis lari kamar mulu." Khalid memperagakan bagaimana tadi Hanin berlari dan menangis.

"Abang ih jahat, ini minta maaf sama papa gimana? Kan kata mama kita harus berani bertanggung jawab kalau melakukan kesalahan. Nah uang  tabungan Hanin gak bakalan cukup," Hanin menghapus air matanya. Ini salahnya. Namun dia juga tidak sengaja melakukan hal seperti itu.

"Itulah gunanya abang, mau uang berapa? Tinggal minta aja." Zaid mengambil gelang karet untuk diikat pada rambut Hanin. Dengan lincah karet tersebut terikat.

"Abang mau nambahin biaya gantinya?" Senyum Hanin terlihat dan mulai memeluk Zaid serta Khalid yang masih berada di depan tirai.

"Ya engga, mau berapa? biar abang mintain ke Allah buat adek abang tercinta. Kan sesama saudara harus saling membantu," jawab Zaid tanpa merasa bersalah telah mematahkan harapan Hanin.

"Nanti kita bantu, yang penting Hanin jangan sedih lagi." Khalid membuka tirai penutup kamar. Di sana terlihat papa dan mama, Uwais dan Ulfah tidak terlihat, mungkin terlelap kelelahan.

Khalid dan Zaid turun lalu meninggalkan area kamar. Mama dan Papa mengatur posisi duduk di lantai.

Jantung Hanin berdetak dua kali lebih cepat namun dirinya tetap berusaha agar bisa meminta maaf pada papa.

"Paa, Hanin mintaa maaf..."

"Hanin, lihat mata papa." Papa berkata dengan nada lumayan tinggi. Membuat Hanin tersentak.

"Hanin, minta maaf." Hanin mengangkat kepala dan menatap mata papanya. Sedangkan papa cuman tersenyum lalu mengangguk. Simple namun cukup membuat Hanin bahagia.

"Gapapa, laptop cuman titipan. Qadarullah. Hanin juga titipan tapi papa lebih sayang Hanin. Nanti kita ke toko servis bareng ya? Tapi uang papa kurang nih." Papa mengubah tempat duduk Hanin menjadi berpangku.

"Hanin ada uang tabungan. Gak banyak tapi Insyaa Allah bisa membantu sedikit." Hanin memalingkan kepala. Sekarang ayah dan anak ini benar-benar akrab. Tidak ada celah. Mama pun hanya tersenyum. Sifat tanggung jawab pada diri anak-anaknya ternyata telah tertanam dengan baik. Alhamdulillah.

                             ●●●

Haninn! Ku mau papamu.
Pinjem sehari aja.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 17, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Look it Mom!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang