3. Siapa Lebih Baik?

411 53 0
                                    

Wildan melompat ke atas ranjang saat Naren datang dengan wajah penuh amarah. Varo yang duduk di sofa tertawa puas melihat wajah pias Wildan. Ia tak peduli walaupun jelas apartemennya akan berantakan sebab ulah kedua sahabatnya itu.

Naren berjalan mendekati Wildan dengan tangan terkepal. Ia turut melompat ke ranjang, tetapi dengan gesit Wildan menghindar. Naren melempar Wildan dengan bantal yang sempat ia ambil. Namun, karena Wildan menyampingkan tubuh, bantal itu malah mengenai gelas di atas nakas dan membuatnya terjatuh hingga pecah.

Varo hanya berdecak. Terhitung sudah lima gelas yang Naren pecahkan di apartemennya. Kini ia berniat tak akan menaruh gelas sembarangan lagi, sebab tak lama pasti entah Naren atau Wildan akan kembali memecahkannya.

Sorry, Ren. Gue enggak maksud mempermalukan lo. Biasanya 'kan cewek suka kek gitu.”

“Tapi lo tau kalau dia enggak biasa!”

Wildan berlari mendekati Varo saat Naren mengambil jalan pintas mendekatinya. “Ro, tolongin gue, Ro!”

“Ogah.”

Naren melingkarkan tangannya ke leher Wildan hingga membuat lelaki itu sedikit merunduk. Tangannya berkali-kali menjitak kepala Wildan, tak peduli jika sahabatnya itu kesakitan.

Puas memberi balasan, Naren mendorong kasar tubuh Wildan ke kasur.

“Woy! Sialan lo. Dikira enggak sakit apa?”

“Apa?” Naren mengangkat dagu, menantang. Ia memangkas jarak, memasang wajah dingin dengan sorot tajam yang seakan siap membekukan Wildan, membuat nyalinya menciut saat itu juga.

“Ck, udah, ah! Serem banget aura lo.” Wildan merebahkan tubuh di ranjang dengan kedua tangan ia retangkan.

Sementara Naren mengambil duduk di sebelah Varo, menyandarkan tubuh pada sofa.

“Udahlah, Bro. Banyak jalan lain,” ucap Varo, menepuk-nepuk pundak Naren. “Gimana kalo sekarang kita cari udara seger aja?”

Wildan seketika mengubah posisi menjadi duduk. “Gasss.” Lelaki itu menyambar jaket serta kunci motornya, menuntun kedua tungkai ke luar apartemen disusul Varo dan Naren.

***

Deguman musik EDM menggema memenuhi ruangan bernuansa gelap itu. Lelaki dan perempuan berbaur menjadi satu di lantai dansa. Menikmati alunan beat dari musik yang dimainkan oleh DJ serta segelas wine di tangan.

Naren bersama Wildan dan Varo turut andil dalam semaraknya klub malam saat ini. Belum puas menghabiskan sore di tempat biasa berkumpul, mereka melanjutkan bersenang-senang di sana.

Ketiga lelaki itu memilih duduk di depan meja bar, sekadar memperhatikan orang-orang menggerakkan badan di atas lantai dansa melepas masalah.

“Jangan minum!” Varo mengambil paksa gelas berisi minuman alkohol yang baru saja Naren minta dari bartender. “Lo mau habis pulang-pulang mabuk, ha?”

“Bacot.” Naren kembali merebut minumannya. Ia menenggaknya sekali hingga tandas, tak menyisakan waktu dan ruang untuk Varo kembali mencegah.

“Serah deh, gue enggak mau urusan pokoknya.”

“Tuh orang kayak liatin lo terus deh, Ren.” Wildan menyenggol lengan Naren, membuat lelaki itu lantas menoleh mengikuti arah pandang Wildan. Mata Naren menyipit, mencoba mengenali orang yang benar memang mengamatinya. Namun sayang, orang itu terlanjur memalingkan muka saat mengetahui Naren memperhatikannya.

“Siapa, sih?” Varo bersuara.

“Gue kayaknya paham deh,” ucap Wildan, menarik perhatian kedua sahabatnya. “Gue pernah lihat dia di antara para budaknya si BGST. Tiati aja, siapa tau dia alis-alis.”

Stagnasi✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang