28. Hari Ini: Perpisahan Tanpa Pamit

489 47 2
                                    

“Leta, gue bakal kangen banget sama lo.” Bella memeluk Leta dengan air mata yang terus mengalir. Ia sudah mengatakan hal itu ratusan kali, tapi rasanya masih tak puas. Semalam, bahkan ia menginap di rumah Leta, membicarakan banyak hal hingga tengah malam.

“Gue juga, Bel.” Leta pun sama sedihnya. Ia sudah menganggap Bella seperti keluarga. Gadis itu yang selalu menjadi tempatnya bercerita. Ia tak tahu apakah di kota yang baru akan menemukan sahabat seperti Bella lagi.

Mereka melepas pelukan. Bella berganti memeluk Risma dan menangis lagi di sana. “Tante, Bella bakal kangen kue buatan Tante.”

“Nanti kalau mau, bilang aja. Tante kirim ke sini, Sayang.” Risma mengusap punggung Bella. Beberapa saat kemudian, mereka melepas pelukan.

“Bella nggak mau peluk Om Yudha deh,” candanya, membuat semua orang di sana mau tak mau tertawa.

Yudha mengacak puncak kepala Bella. “Baik-baik di sini, Bel. Kalau liburan nanti main ke Semarang, oke?”

“Siap banget, Om.”

Semua terlarut dalam suasana haru. Keluarga Bella mengucapkan salam perpisahan dengan keluarga Leta. Setelahnya, Yudha memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Usai memimpin berdoa, ia meminta putri dan istrinya masuk ke mobil.

Leta melambaikan tangan pada Bella dan keluarganya usai sang ayah melajukan kendaraan. Ia kembali duduk dengan tenang setelah sahabatnya tak lagi tertangkap indra. Leta masih tak dapat menahan tangisnya, membuat Risma menenangkan gadis itu dengan mengusap punggungnya.

“Kita pasti bisa, Let. Ibu bakal berusaha agar kamu berada di tempat yang aman dari orang-orang jahat.” Risma menarik tubuh putrinya dalam dekapan. Mengusap surai gadis itu penuh sayang.

Leta tak mengeluh keberatan, sekali pun ingin. Ia tahu, cepat atau lambat orang-orang baru akan berdatangan dalam kehidupannya. Hal itu pun tak menutup kemungkinan bahwa yang baru, akan menggantikan yang telah lalu.

***

Akram berdiri di depan kamar Naren sembari memegang kotak yang Leta titipkan padanya. Berkali-kali lelaki itu berniat mengetuk pintu, tetapi tak pernah terlaksana. Hingga ketika ia mengangkat tangannya ke sekian kali---untuk mengetuk pintu---Naren lebih dulu membukanya dari dalam. Keduanya sama-sama terkejut dan terdiam untuk beberapa saat.

“Lo ngapain?” tanya Naren dengan dahi berkerut.

“Gue mau ngasih ini.” Akram menyerahkan kotak di tangannya pada Naren. “Itu dari Leta. Dia titipin ke gue kemarin.”

Naren menerimanya. “Thanks.” Usai mengucapkan itu, ia kembali menutup pintu dengan keras, membuat Akram berdecak sebal. Namun, ia tak acuh.

Segera, Naren duduk di kursi belajar dan membuka kotak berwarna ungu yang ia letakkan pada meja. Sebuah novel ia dapati di sana, novel karya mamanya yang ia beli bersama Leta. Namun, yang menarik perhatian Naren adalah sebuah gantungan kunci berbentuk bulat orange dan selembar kertas yang terlipat.

Naren tersenyum lebar selagi mengamati gantungan kunci bergambar tokoh dongeng Peter Pan dengan tulisan “N.R.P” di bagian bawah. Ia berpikir jika Leta sengaja membuat khusus untuknya. Lelaki itu beralih membuka lipatan kertas hingga aksara yang tertulis di sana tampak. Naren mulai membacanya.

To: Naren

Halo, gimana keadaan lo? Semoga udah lebih baik. Eum, gue mau bilang makasih ke lo karena lo udah nolongin gue malam itu. Maaf juga karena hal itu, lo jadi sakit.

Ren, gue udah maafin lo buat semua hal yang lo lakuin. Jadi, setelah ini lo jangan selalu ngerasa bersalah, ya? Mari kita sama-sama lupain semua itu, Ren. Gue pikir, gue bakal sulit buat maafin lo. Tapi, ternyata gue kalah. Gue kalah sama perasaan gue ke lo yang mungkin itu adalah perasaan sayang.

Stagnasi✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang