5. Masih di Titik yang Sama

366 48 0
                                    

Leta merogoh laci mejanya dengan raut panik. Tak mendapati apa pun di sana, ia beralih menggeledah isi tas, mengeluarkan semua buku.

Bella yang duduk di samping Leta sontak menatap heran sahabatnya itu. “Lo cari apaan, deh?”

“Tugas MTK gue, Bel. Enggak ada masa.” Leta semakin brutal mengeluarkan isi tas, membolak-balikkan setiap lembar buku untuk mencari kertas berisi tugas matematikanya.

“Lo belum ngerjain? Ilang? Ketinggalan?”

“Gue udah ngerjain dan perasaan udah gue masukin tas.”

“Buat lagi lah, ribet amat lo.” Bella menyobek bagian tengah bukunya kemudian memberikannya pada Leta beserta kertas tugas miliknya. “Nyalin punya gue aja tuh, tapi nggak janji dapet seratus.”

Leta dengan segera mengambil kertas yang Bella beri. Namun, baru ingin menulis nama, seorang guru datang dengan aura mencekam khasnya. Seketika semua diam. Leta bahkan tak punya nyali untuk menyalin tugas milik Bella. Karena jika ketahuan mengerjakan di sekolah, sudah pasti hukumannya akan lebih berat.

Leta memainkan jemarinya dengan gelisah. Ia berusaha mengontrol ekspresi wajahnya meski jantungnya berdebar lebih kencang di dalam sana. Wajar Leta setakut itu. Ini pertama kalinya ia tidak membawa tugas. Pun, fakta bahwa Bu Riska merupakan guru cukup garang membuatnya semakin merasa tak karuan.

“Sambil saya absen, silakan ke depan dan kumpulkan tugas yang saya beri minggu lalu!”

Satu per satu siswa mulai maju mengumpulkan tugas masing-masing usai Bu Riska menyebutkan nama mereka. Leta pasrah ketika pada akhirnya Bu Riska memanggil namanya. Ia maju ke depan dengan tangan kosong.

“Tugas kamu mana, Leta?”

Leta menunduk, menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. “Maaf, tugas saya sepertinya tertinggal di rumah, Bu.”

Bu Riska tampak terkejut usai mengetahui Leta tak membawa tugas. Sebab setahunya, gadis itu tergolong siswa rajin. “Benar ketinggalan atau kamu belum mengerjakan?”

“Saya sudah mengerjakan, Bu, tapi tadi saya cari di tas tidak ada," jelas Leta sejujur-jujurnya. Meski begitu, ia pun tahu Bu Riska tak menerima alasan apa pun.

“Kamu sudah tahu apa hukumannya, ‘kan? Silakan laksanakan.”

Dengan berat hati dan kekecewaan pada dirinya, Leta melangkahkan kaki ke luar kelas. Namun, langkah gadis itu tertahan di ambang pintu saat sosok lelaki berdiri tegap di hadapannya.

“Permisi, Bu. Saya ada perlu sama Leta.” Naren menyapa Bu Riska sebelum pandangnya beralih pada Leta yang sudah berdiri di depannya. Ia menyerahkan kertas tugas dengan nama ‘Leta Legistia’ pada gadis itu.

Seketika mata Leta membulat. Ia menyerobot kertas yang Naren sodorkan dengan sedikit kasar. “Kenapa ada di lo?” lirih Leta, tetapi penuh penekanan.

“Gue nemuin di lantai depan ruang seni tadi. Karena punya lo, jadi gue mau mungut.”

Leta diam, sebelum mengembuskan napas keras. Emosinya sedikit bekurang saat mendengar penjelasan Naren. Bagaimanapun, jika bukan karena lelaki itu, mungkin ia akan berakhir dengan hukuman.

Pandangan Naren beralih pada Bu Riska yang sedang meneliti tugas. “Terima kasih, Bu. Saya pamit.” Naren berlalu meninggalkan Leta yang masih bungkam.

Sementara Leta memandang punggung Naren yang makin menjauh. Ia telah mengecap Naren sebagai sosok bengal dengan segala keburukannya. Namun, melihat perlakuan baik Naren padanya, sedikit mengikis asumsi buruknya tentang lelaki itu. Meski di lain sisi, tetap ada prasangka jikalau Naren hanya sedang membodohi dirinya.

Stagnasi✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang