17. Menentukan Pilihan

253 43 7
                                    

Wildan menjentikan jari di depan wajah Naren tatkala sahabatnya itu sama sekali tak berkedip. Ia yang duduk di hadapan Naren, lantas menoleh ke belakang. Embusan napas keras terudara saat netranya menangkap figur Leta tengah duduk di bagian tengah kantin. Kembali, ia pusatkan pandang pada Naren. “Cara lo natap dia itu lho, Ren,” ucapnya sembari geleng-geleng kepala.

“Kenapa?” tanya Naren usai memutuskan pandangannya dari Leta.

“Lain. Lo … beneran jatuh keknya deh.” Wildan menatap Naren dengan ekspresi tak biasa. Terdapat sirat keseriusan di sana. “Susah ini,” lanjutnya sebelum kembali menyuapkan makanan ke dalam mulut.

Naren tak punya kalimat untuk menanggapi ucapan Wildan. Akhirnya, lelaki itu memilih diam. Tak berselang lama, Varo datang dan langsung duduk di sebelahnya. Yang membuat Naren seketika mengerutkan kening, sahabatnya itu datang dengan gerak-gerik tak santai. Bukan Varo sekali. “Kenapa lo?” tanya Naren.

Tanpa menjawab, Varo langsung memperlihatkan sebuah video pada Naren yang baru saja ia dapatkan dari seseorang.

Naren menyimak, tetapi ia segera memalingkan muka tatkala video itu menunjukkan hal yang sama sekali tak layak. Ia menyudahi video itu dan meminta Varo untuk menyimpan ponselnya. Kedua tangan Naren lekas terkepal kuat. “Kenapa dia ngirim ke lo?” tanyanya, menatap Varo.

“Kayaknya ngirim ke lo juga. Coba lo cek.”

Naren mengeluarkan ponsel dari saku celana. Benar saja. Ia mendapati beberapa pesan masuk dari kontak yang dinamainya dengan ‘BGST’. Lelaki itu lekas menghapus fail video yang dikirimkan, benar-benar tak ingin melihatnya lagi. “Setan emang tuh makhluk!”

“Ada apa, sih?” Wildan yang tak mengerti, pada akhirnya melempar tanya. Namun, tak satu pun dari kedua sahabatnya yang menjawab. Alhasil, ia hanya mendengkus keras.

“Kayaknya dia nggak main-main, Ren. Lo gimana?” tanya Varo, tetapi tak lekas dijawab oleh Naren. Ia justru mendapati sang sahabat memperhatikan objek lain.

“Gue bakal nemuin dia besok malem,” ucapnya penuh dengan keseriusan.

***

“Naren!”

Naren urung menaiki motor tatkala mendengar suara Leta memanggilnya. Ia menoleh, menyunggingkan senyum tatkala gadis itu semakin memangkas jarak dengannya hingga berdiri di hadapannya. “Tumben manggil duluan. Kenapa?”

Leta diam beberapa saat sebelum berucap, “Gue mau ke Sekolah Bintang. Mau ngelengkapin bahan bacaan anak-anak sama jengukin Yudi yang lagi sakit. Sekalian ngasih obat juga.” Leta menggigit bibir bawah, menunggu tanggapan Naren. Ia sebenarnya ingin pergi dengan Bella, tetapi sahabatnya itu tidak bisa. Datang sendiri pun sepertinya bukan solusi tepat mengingat kejadian tak mengenakkan tempo hari dengan ayah Yudi.

Naren mengulas senyum semakin lebar, paham apa maksud dari perkataan Leta. “Ayo gue temenin. Tapi, gue nggak bawa helm buat lo.”

“Gue ada kok, nanti gue ambil di motornya Bella.” Leta berucap semangat, tetapi beberapa detik kemudian ia berubah kikuk. “Eh, lo nggak lagi sibuk? Sorry banget.”

“Lo percaya kalau orang kayak gue punya kesibukan?”

“Enggak.”

Stagnasi✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang