21. Dipaksa Tuk Memilih

283 47 2
                                    

Naren
Let, lo lg sibuk gak?

Leta mengerutkan kening tatkala mendapat sebuah pesan masuk dari Naren. Ia heran sebab biasanya lelaki itu akan langsung mengucapkan tujuan, tanpa lebih dulu menanyakan kesibukan. Jemari Leta lantas mengetikkan balasan.

Anda
Nggak, gmn?

Naren
Bisa ke luar sebentar gak? Gue di taman deket rumah lo. Gue butuh lo, please.

Leta sejenak diam usai membaca balasan dari Naren. Ia mengecek jam, tepat menunjukkan pukul tujuh malam. Leta berpikir untuk beberapa saat sampai akhirnya mengiakan keinginan Naren. Gadis itu mengambil sweater marun yang tergantung di lemari, memakainya, lantas keluar dari kamar.

Di ruang tengah, ia dapati kedua orang tuanya tengah menonton tayangan televisi. Ia mendekat, berniat untuk berpamit. “Bu, Yah, Leta ke luar sebentar, ya?”

“Ke mana, Nak?” Risma melempar tanya.

“Eum, ke warung. Mau beli buku sebentar,” ucapnya. Leta sebenarnya tak ingin berbohong. Namun, mengatakan sejujurnya pun tak mungkin. Jelas ia tidak akan dizinkan bertemu dengan laki-laki selagi hari sudah malam.

“Oh, ya udah. Hati-hati.”

Usai mendapat izin, Leta keluar dari rumahnya. Ia berjalan kurang lebih lima ratus meter untuk sampai di tempat yang Naren katakan. Netra gadis itu menyisir sekeliling usai sampai. Hingga berhenti tatkala menangkap sosok yang tengah duduk di kursi taman, yang ia yakini adalah Naren. Segera ia berjalan mendekat.

“Naren?”

Naren melempar senyum kala mendapati kedatangan Leta. Ia lantas meminta gadis itu untuk duduk di sebelahnya. Lama, ia pandangi wajah Leta di bawah temaram lampu taman. Senyum di wajahnya lekas memudar. Ia menggigit bibir bawah, menahan gejolak perih dalam hatinya.

“Ren?” Leta melirihkan suaranya. Ia tak mengerti mengapa Naren menatapnya dengan raut sesendu itu. Bahkan ia dapat melihat sepasang netra Naren berkaca-kaca. “Lo oke?”

Naren menunduk. Ia menghela napas panjang, mengembuskannya perlahan. Lelaki itu kembali mendongak, menatap dalam iris mata gadis di hadapannya. “Let, gue sayang sama lo,” ucapnya dengan suara bergetar. Ia meraih kedua tangan gadis itu, menggenggamnya erat. “Gue beneran sayang sama lo. Lo mau … jadi pacar gue?” Naren melirihkan ucapannya di tiga kata terakhir.

Bibir Leta terkatup. Jantungnya mendadak berpacu lebih cepat. Pipinya lantas bersemu merah. Sejujurnya, ia tak pernah membayangkan hal ini. Ketulusan yang dapat ia tangkap dari diri Naren, membuatnya tak sedikit pun menaruh rasa ragu.

“Nggak susah ‘kan kalau lo kasih tempat buat gue di hati lo? Apa pun jawabannya, gue bakal terima, Let.”

“Ren, gue ….” Leta tak menemukan kalimat yang pas untuk menjawab perkataan Naren. Sensasi panas dingin di tubuhnya benar-benar membuat ia tak dapat berpikir.

“Jawab dari hati lo yang paling dalam, Let. Kalau lo masih punya rasa mengagumi yang udah lo tanam sejak lima tahun lalu, izinin gue buat terus numbuhin rasa itu di hati lo.”

Leta diam cukup lama, membiarkan bisikan angin malam yang membunuh hening di antara mereka. Sampai akhirnya, gadis itu mengangguk dan berkata, “Iya, Ren, gue mau.”

Mendengar itu, Naren tak sedikit pun merasa lega. Justru semakin terasa nyeri goresan luka yang mencabik hatinya. Namun, ia berusha untuk menyembunyikan itu semua di hadapan Leta dengan mengguratkan senyuman. “Makasih, Let.”

Leta mengangguk. Ia pun lekas mengulas senyum. Hari ini tak akan pernah ia lupa. Pada akhirnya, ia menemukan kembali seorang lelaki yang berhasil membuatnya luluh. Naren berbeda dan Leta meyakini itu. “Makasih juga udah buat gue ngerasain perasaan ini lagi setelah sekian lama.” Leta hampir lupa bagaimana rasanya mencintai seorang lelaki, tetapi hari ini ia kembali menemukannya. Memang bukan dengan cara romantis, tetapi justru itu yang Leta cari.

Stagnasi✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang