10. Pemicu Badai

338 44 1
                                    

Mohon maaf, Kawan, babnya tidak berurutan. Pastikan ini lanjutan dari part terakhir yang kalian baca ya🤗

****

Alya lekas turun dari kendaraan setelah sampai di sebuah rumah sakit. Ia berlari dengan perasaan panik luar biasa. Air mata gadis itu bahkan telah berjatuhan sejak kabar tak sedap tentang sang adik didapatnya. 

Di belakangnya, seorang lelaki mengikuti langkah Alya. Delvin pun masih cukup terkejut saat tiba-tiba Alya memintanya untuk mengantar ke rumah sakit. Mengharuskan mereka menyudahi acara yang sebelumnya telah direncanakan.

Mereka berhenti di tempat resepsionis. Alya lekas bertanya pada seorang wanita di hadapannya. “Narendra, korban kecelakaan.” Alya sungguh tak dapat menunggu. Ia pikir, seharusnya seorang resepsionis di hadapannya itu lekas menjawab mengingat belum lama Naren dibawa ke tempat itu. “Bisa cepat sedikit?”

“Al.” Delvin menyentuh lengan Alya, menatap gadis itu yang sama sekali tak dapat menyembunyikan rasa cemasnya. “Tenangin diri kamu, Naren bakal baik-baik aja,” ucapnya mencoba menenangkan Alya.

Alya menggeleng. Ia tak bisa tenang sebelum memastikan keadaan Naren. Lantas, setelah mendapat informasi tentang adiknya, Alya lekas menuntun kedua tungkainya menuju tempat yang baru saja diberitahukan. Sempat ia mendapati dua orang asing di depan ruangan. Praduganya, mereka yang membawa Naren ke rumah sakit. Alya memilih untuk segera masuk, membiarkan Delvin yang berbicara pada mereka.

“Naren!” Alya langsung menyerukan nama sang adik usai membuka pintu ruangan. Namun, bukan wajah Naren yang memenuhi pandangnya. Melainkan seorang di atas brankar dengan sekujur tubuh tertutup kain putih. Langkah Alya memberat, sesak memenuhi rongga dadanya. Ia menggeleng dengan cepat.

Pelan, gadis itu mendekat selagi berusaha mengusir jauh kemungkinan terburuk. Namun, langkahnya terhenti ketika kain yang menutup tubuh itu tiba-tiba tersingkap, menampilkan sosok Naren di tempat berbaringnya.

Alya sempat terkejut dengan hal yang Naren lakukan. Namun, ia lekas mendekat menghampiri sang adik. Tak ayal perasaan lega berlabuh kala menyadari bahwa prasangka buruknya salah. “Kamu ngapain pake nutup-nutup badan gitu sih? Bikin kaget orang,” ucapnya setengah kesal.

Naren memandang Alya beberapa saat, sebelum berganti menatap Delvin yang sudah berada di samping Alya. Ia sudah menduga siapa yang datang sejak suara keras kakaknya terdengar dari luar. “Kalian tau dari mana?” tanyanya dengan suara lemah. Kepalanya masih terasa pening, bahkan membuatnya beberapa kali muntah. Belum lagi beberapa bagian tubuh lain yang sakit pula.

Alya bergerak lebih dekat dengan Naren. Mengamati tubuh adiknya yang lecet di beberapa bagian. Ia meringis ngilu saat satu tangan Naren tertancap jarum infus. Meski cukup sering mendapati sang adik dengan wajah babak belur, ia tak pernah merasa biasa saja.
“Gimana sih, kok bisa sampai kecelakaan? Kamu ... enggak lagi mabuk, ‘kan?”

Naren membuka matanya yang semula tertutup, lantas dipusatkannya pandang pada sang kakak. Ia mengembuskan napas lelah sebelum menjawab, “Lagi apes aja. Kalian keluar gih, gue mau tidur.”

Sejujurnya, Naren pun tak ingat betul apa yang terjadi. Ketika ia sadar, dirinya sudah berada di rumah sakit. Entah siapa orang yang membawanya kemari. Namun, Naren memilih untuk tak memikirkan hal itu sebab hanya akan menambah sakit kepalanya.

“Kayaknya, Naren enggak fokus karena habis kencan.” Delvin melempar guyonan, mencoba mencairkan suasana. Namun, justru tatapan tak suka Naren yang melayang padanya. “Sorry,” ucapnya kemudian, disertai kekehan kecil.

“Ya udah, kamu istirahat aja. Kalau butuh apa-apa, panggil Kakak! Jangan ngerasa bisa ngelakuin semuanya sendiri!”

Usai berucap, Alya dan Delvin kemudian memutuskan keluar dan membiarkan Naren beristirahat. Namun, sebelum benar-benar keluar, panggilan dari Naren menghentikan langkah Alya.

Stagnasi✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang