–Bukankah setiap rasa hadir karena terbiasa?–
Happy Reading 🌼
Diam adalah satu kata yang bisa menggambarkan suasana kelas XI IPA 2 saat ini. Dari anak yang paling rajin sampai anak yang sering membuat rusuh, semuanya tidak ada yang berani bicara. Di meja guru, Pak Gunowo–guru matematikanya yang juga terkenal killer itu sudah duduk manis sembari mengamati murid XI IPA 2. Tatapan matanya tajam, seperti ingin memangsa orang yang memancing emosinya.
“SIAPA YANG TIDAK MENGERJAKAN PR?” Suaranya menggelegar membuat semua murid semakin terdiam.
Sementara di sisi lain, seorang gadis sedari tadi merapalkan mantra pelindung yang sempat dia cari dari Google. Kepalanya menunduk takut dengan mulut yang masih komat-kamit tak jelas.
“Pak Gunowo ganteng nggak bakal marahin gue, Pak Gunowo yang baik hati nggak bakalan hukum gue, Pak Genderuwo nggak– eh Astagfirullah typo.” Kira-kira begitulah mantra yang sedari tadi gadis itu rapalkan.
“YANG TIDAK MENGERJAKAN PR AKAN SAYA HUKUM LEBIH BERAT LAGI JIKA TIDAK MAU MENGAKU.”
Jantung gadis itu semakin berdebar kencang. Jika dia tidak mengaku maka hukumannya akan bertambah, tapi dia juga tidak ingin kena semprot pak Gunowo. Baiklah, terlebih dahulu gadis itu akan memantapkan hatinya sebelum menyerahkan diri kepada pak Gunowo.
“Sa–saya pak.” Dengan tekad yang bulat, gadis itu mengangkat tangannya yang bergetar ketakutan.
“Bagus, akhirnya kamu mengaku juga. Naik kesini!?” Perintah pak Gunowo.
Gadis itu melangkahkan kakinya menuju ke meja guru dan kini gadis itu sudah menjadi pusat perhatian di kelasnya.
“Alea Zaleandra Reygan, kenapa kamu tidak mengerjakan PR?” tanya pak Gunowo.
Ya, gadis itu adalah Alea. Sudah kalian jangan bertanya lagi kenapa dia tidak mengerjakan PR seperti pak Genderuwo ini, eh pak Gunowo maksudnya.
“A–anu pak, se–semalam saya ketiduran,” jawab Alea dengan terbata-bata.
“Alasan yang klasik.”
Hei, Alea tidak berbohong ya. Memang semalam dia itu ketiduran karena otaknya sudah tidak mampu untuk memikirkan jawaban matematika itu.
“Sekarang saya akan memberikan kamu hukuman. Silahkan kamu keluar dari kelas saya dan hormat di depan tiang bendera sampai jam istirahat.”
Alea membelalakkan matanya begitu mendengar hukuman yang diberikan pak Gunowo.
“Pak, apa tidak ada keringanan? Nanti kalau kulit saya jadi hitam gara-gara harus berdiri tiga jam di bawah sinar matahari gimana pak? Pak, nyapu koridor aja ya pak?” Alea mencoba membujuk pak Gunowo dengan wajah yang memelas.
“Tidak usah membantah. Kamu pilih hukuman yang saya berikan atau kamu ke ruang BK?”
Oh tidak. Lebih baik Alea memilih dihukum hormat di depan tiang bendera sampai malam daripada harus ke BK dan berakhir dengan surat pemanggilan orang tua.
“Ya udah deh pak. Saya terima hukumannya asal nggak masuk BK.” Alea melangkahkan kakinya keluar kelas dengan malas.
Jika Friza tidak membantunya mengerjakan tugas matematika, bisa-bisa setiap Minggu dia akan berakhir degan hukuman dari pak Gunowo. Setelah kejadian di kantin, ternyata Friza benar-benar serius dengan perkataannya. Alea terpaksa harus pulang naik angkot dan mengerjakan tugas matematikanya sendiri. Bahkan, Alea sudah datang ke rumah Friza tapi lelaki itu tidak mau membuka kamarnya dan mengajarinya Alea. Karena sikap Friza itu, maka Alea berusaha mengerjakan tugasnya seorang diri. Tapi kalau emang nggak bisa ya Alea mau apa. Bahkan baru melihat soal matematika saja, gadis itu sudah frustrasi duluan dan akhirnya Alea ketiduran.
Gadis itu berhenti tepat di pinggir lapangan sembari menghela nafas panjang.
“Lo pasti bisa Alea, lo pasti bisa,” gumam gadis itu.*****
Entah mengapa disaat sulit seperti ini waktu serasa sangat lambat sekali berjalan. Bahkan satu menit sudah terasa seperti satu jam saja. Kira-kira itu yang Alea rasakan saat ini.
“Lama banget sih. Perasaan gue udah sepuluh jam deh berdiri disini. Tapi kok belum istirahat juga sih?” gerutu Alea kesal.
Apa sebaiknya Alea bolos saja ya ke kantin? Eh nggak deh, terlalu beresiko. Di sekolahnya, setiap jam pelajaran masih berlangsung selalu ada kurang lebih lima guru yang berpatroli mencari siswa-siswi yang bolos pelajaran. Dan jika tertangkap, maka akan dimasukkan ke dalam BK. Ya, bisa dibilang sekolahnya ini cukup ketat.
Alea melihat jam tangannya, masih ada lima belas menit. Tapi, gadis itu sudah tidak sanggup lagi. Wajahnya sudah dibanjiri oleh keringat, bahkan lututnya juga sudah tidak kuat untuk berdiri.
Ah iya, Alea lupa. Tadi pagi dia tidak sarapan sebelum ke sekolah, pantas saja tenaganya cepat terkuras.
“Dikit lagi Alea, dikit lagi.”
Semakin Alea mencoba untuk kuat, kepalanya juga semakin berdenyut.
“ALEA!?” teriakan dari Clara membuat Alea mengalihkan atensinya.
“Kata Pak Gunowo, lo udah boleh istirahat,” ujar Clara begitu sampai di depan Alea. Gadis itu memberikan sebotol air mineral kepada Alea.
Dengan mata berbinar, Alea menurunkan tangannya dan berniat untuk mengambil air yang diberikan oleh Clara. Sungguh Alea saat ini benar-tidaknya haus.
Namun, belum sempat tangannya menggapai botol air itu pandangannya mulai mengabur. Kepalanya berdenyut dengan hebat dan membuat gadis itu kehilangan keseimbangannya. Tubuhnya terkulai lemas dan jatuh di lapangan.Perlahan, kegelapan membuat kesadarannya menjadi hilang. Hanya suara samar-samar dari Clara yang meneriaki namanya yang Alea bisa dengar.
*****
Bau obat-obatan begitu menyengat memasuki indra penciumannya. Dalam keadaan yang masih lemah, Alea mencoba untuk membuka matanya. Perlahan, setitik cahaya mulai terlihat hingga akhirnya semakin menjadi jelas. Alea mengedarkan pandangannya menyusuri ruangan yang saat ini dia tempati.
UKS. Alea mencoba mengingat kejadian sebelum dirinya berada disini. Ya, dia tadi pingsan di lapangan.
Dengan sisa tenaga yang dia punya, Alea mencoba untuk bangun. Namun, sebuah tangan menghalangi pergerakannya.
“Istirahat aja dulu. Lo masih lemas.”
Alea memutar kepalanya menghadap pada orang yang kini sudah ada di kursi dekat ranjangnya. Alea tersenyum begitu melihat orang itu. Dia adalah Friza.
“Gue udah mendingan kok,” ujar Alea.
“Lo tadi nggak sarapan kan?” tanya Friza yang hanya dibalas anggukan oleh Alea.
Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Friza mengambil mangkok yang ada di atas nakas. Mangkok itu berisi bubur yang tadi dibeli oleh Clara. Friza tau, gadis ini pasti belum sarapan jadi tadi dia sempat menyuruh Clara untuk membelikan Alea bubur di kantin sekolah.
Friza mengambil sesendok bubur dan menyuruh Alea untuk membuka mulutnya.
“Gue bisa sendiri.” Tolak Alea.
“Nggak, lo istirahat aja. Gue yang suapin lo.” Alea hanya mengangguk dan membuka mulutnya. Dengan telaten, Friza menyuapi Alea hingga bubur di mangkok itu habis tak tersisa. Setelah memastikan perut Alea terisi, Friza memberikan obat yang sudah disediakan oleh dokter UKS tadi.
“Lo nggak usah masuk kelas dulu. Gue udah tanya Clara buat minta ngizinin kita berdua,” ujar Friza.
“Makasih ya Friza.” Alea tersenyum sangat manis kepada Friza. Namun, bukannya baper atau semacamnya justru Friza merasa aneh dengan senyuman Alea.
“Gue tahu kok, lo itu khawatir banget sama gue. Iya kan?” tanya Alea dengan percaya dirinya.
“Nggak.” Friza mengalihkan pandangannya dari Alea dan memilih untuk bermain ponsel.
“Elah, ngaku aja kali.” Alea mencolek lengan Friza yang membuat lelaki menatapnya tajam.
“Gue bilang nggak, ya nggak,” ucap Friza dengan penuh penekanan.
“Ya udah. Tapi gue yakin kok kalau lo itu khawatir sama gue. Cuman lo malu-malu aja.” Alea menarik selimutnya dan memejamkan matanya sembari tertawa pelan.
“Serah lo.”🌼🌼🌼
Haii semua👋
Gimana sama part hari ini?Jangan lupa vote and coment dan bilangin kalau ada typo ya.
See you next part
Pay pay👋
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion
Teen Fiction-Bukankah setiap rasa hadir karena terbiasa?- "Ada tiga hal yang paling gue suka dalam hidup gue. Pertama gangguin Friza, kedua jahilin Friza dan ketiga godain Friza."- Alea Zaleandra Reygan "Ada tiga hal yang gue nggak suka dalam hidup gue. Pertama...