PROLOG

46 6 10
                                    

Happy Reading🌼

Seorang anak perempuan dengan rambut yang dikuncir dua sedang menatap jalanan dengan sendu. Perlahan, anak itu melangkahkan kakinya menuju tengah jalan begitu melihat sebuah mobil dari arah timur yang melaju dengan kecepatan di atas rata-rata.

Dengan nafas yang memburu, anak perempuan itu menutup matanya. Mencoba meyakinkan dirinya, bahwa keputusan yang dia ambil sudah benar sembari berhitung dalam hati.

'Selamat tinggal Mama, Papa.'

Brakk ...

Tubuhnya terpental cukup jauh dari tengah jalan. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, tulang-tulangnya serasa remuk.

Tapi tunggu. Kenapa kepalanya tidak terasa sakit? Bukankah biasanya dalam film saat seseorang ditabrak oleh mobil maka kepalanya akan berdarah? Lalu kenapa dirinya tidak?

"Kamu udah gila ya?"
Anak itu membuka matanya perlahan begitu mendengar suara seseorang yang menginterupsinya. Apa ini?

Dia terkejut begitu melihat dirinya yang berada di pinggir jalan dengan posisi terbaring. Dengan pelan, dia mencoba untuk bangun.

Seorang anak lelaki kini sudah berada tepat di hadapannya.

"Apa kamu malaikat maut? Eh, tapi kok anak kecil? Emang malaikat maut kayak gitu ya?" tanya anak perempuan itu dengan polos.

"Kayaknya kamu benaran gila deh." Anak lelaki itu berjongkok di hadapannya anak perempuan  yang sedang meringis kesakitan itu.

"Kamu memangnya nggak mikir? Gimana kalau ketabrak terus mati?" omel anak lelaki itu. Segera ia bangkit untuk berdiri kembali dan menjulurkan tangannya pada gadis kecil yang setia menundukkan kepalanya. Tampak sekali anak itu sedang menangis, terlihat kedua bahunya yang bergetar.

"Emang kalau Alea mati kenapa? Alea udah nggak mau disini. Alea pengen pergi aja, menghilang. Di televisi Alea liat orang ditabrak terus mati, tapi kenapa kamu malah dorong Alea?!" Gadis kecil itu menangis dengan tersedu-sedu. Suara cempreng yang ia gunakan untuk mengucapkan kata per kata membuat anak lelaki itu hendak tertawa, terlebih lagi kalimat terakhir dari gadis itu membuat rasa ibanya pada gadis itu kian menghilang. "Sinetron? Dasar korban sinetron! Kayak Bunda, " ejek anak lelaki itu.

Anak perempuan itu mengusap air matanya dengan kasar. Dia menatap anak lelaki di depannya dengan kesal.

"Ih cerewet banget sih. Lebih baik bantuin Alea berdiri. Alea mau pulang aja, nggak jadi matinya," oceh anak perempuan itu sembari mengangkat tangannya.

Dengan malas, anak lelaki itu menerima uluran tangan Alea dan membantunya untuk berdiri.

"Kamu bisa jalan?" tanya anak lelaki itu.

"Ya bisalah. Kamu kira Alea lumpuh apa!?"

Anak lelaki itu berpikir, bahwa mungkin yang saat ini dia temani bicara bukanlah manusia. Tapi jelmaan dari toa mesjid.

“Daripada kamu bunuh diri mending ikut aku,” ujar anak lelaki itu sembari menarik tangan anak perempuan di depannya.

“Kemana?”

“Udah ikut aja.” Anak lelaki itu mengaitkan jarinya dengan anak perempuan di dekatnya.

Mereka berdua berjalan menyusuri lorong-lorong sempit. Meskipun ada sedikit rasa was-was dalam diri anak perempuan itu, tapi dia mencoba untuk percaya.

Setelah berjalan beberapa meter, mereka berhenti pada sebuah taman.

Terlihat dengan jelas binar dari mata anak perempuan itu yang membuat sang anak laki-laki tersenyum tipis melihatnya.

“Wah, cantik banget,” ujar anak gadis itu dengan menggebu-gebu.

“Ayo duduk disini.” Anak lelaki itu duduk pada bangku yang ada di taman dan menyuruh anak perempuan itu juga duduk.

Taman dandelion. Ya, di sinilah mereka berada. Sebuah taman yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat karena tempatnya yang jauh dari hunian. Taman yang dipenuhi dengan bunga dandelion.

“Coba kamu tiup.” Anak lelaki itu memberikan sebuah bunga dandelion kepada anak perempuan di sampingnya.

Dengan semangat, anak perempuan itu menuruti perintah dari anak laki-laki itu. Saat meniupnya, bunga dandelion akan beterbangan dan membuat sang anak perempuan itu bertepuk tangan heboh.

“Mulai sekarang, kalau kamu sedih main ke taman ini aja. Karena katanya kalau niup bunga dandelion itu sama kayak kita lagi nerbangin kesedihan kita,” ucap anak lelaki itu dengan tulus.

Anak perempuan itu mengangguk dan tersenyum dengan sangat manis.

“Oh ya nama kamu siapa?” tanya anak perempuan itu yang masih asyik meniup bunga dandelion. Pasalnya, sedari tadi mereka berbicara tapi tidak tahu nama masing-masing.

“Namaku Friza.”

“Oke Friza, aku Alea.”

*****


Haii semua👋
Selamat datang di cerita Dandelion. Disini aku dan partnerku AlfarizaXIPA2 akan mengajak kalian ke dalam dunia Friza dan Alea☺️

Jangan lupa vote and coment ya, dan kalau ada typo bilangin ya.

See you next part.
Pay pay👋

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang