"kau menyukai Frankenstein?” tanya gadis itu.
laki-laki yang disebelahnya merespon dengan menautkan alisnya sebelah. entah dari mana asalnya ada seorang perempuan yang tiba-tiba bertanya.
si pemuda tidak mendengar alunan langkah kaki yang mengarah kepadanya. sepertinya, ia membaca halaman demi halaman dengan sangat khusyu'.
“aku membacanya ketika usiaku 18 tahun” tak kenal lelah, gadis itu melanjutkat kalimatnya.
si pemuda ini tetap diam membisu. ia bersikukuh untuk terus membaca bait-bait kalimat bahkan menoleh saja sepertinya enggan.
ayolah, gadis itu hanya bertanya. apa salahnya jika menjawab sapaan atau hanya menoleh sebentar? kalau fira'un terkenal akan manusia tersombong yang pernah ada, maka peringkat keduanya adalah si pemuda ini. bahkan lehernya tidak bergerak sedikitpun. hanya matanya yang bekerja, mengedarkan pandangan untuk membaca baris demi baris kata yang ada pada halaman novel tersebut.
karena tidak ada balasan dari si pemuda sombong ini, gadis itupun mengambil langkah dan menarik kursi tepat disamping si pemuda itu. kemudian gadis itu duduk di atas kursinya. si pemuda sombong itu (yang tak tahu siapa namanya) tampak sibuk. bahkan tidak sedikitpun melirik ke arahnya. ia tidak mengindahkan apapun yang dilakukan gadis di sampingnya. (kecuali jika ada badai ia akan lari terbirit-birit seperti sapi yang ketakutan)
tentu saja gadis ini tidak tinggal diam. gadis ini terbilang cukup berani dan juga terlalu kepo. matanya melirik ke arah kiri dan kanan. sejujurnya, ia tak berniat untuk mengusik. hanya saja gadis ini terlalu penasaran dengan beberapa tumpukan buku yang ada di hadapan laki-laki itu. sepertinya, laki-laki ini memiliki kepribadian yang rapi karena mengatur bukunya sama tegak lurus. seperti telah diajarkan baris-berbaris oleh ketua pleton.
“diantara semua buku yang ada di depanmu, kenapa kau memilih untuk membaca Frankenstein terlebih dahulu?” tanya gadis itu lagi.'cerewet sekali gadis ini. dia ini siapa sih datang-datang menginterupsi?' jawabnya dalam hati. sebetulnya, pemuda ini tampak terganggu tapi ia acuh. si pemuda (yang merasa terganggu) ini tetap diam dan tak bergeming.
“kau tahu? diantara para penyair puisi romantik aku paling penyukai Percy Bysshe Shelley. dia yang paling ekspressive dalam berbahasa. tulisan-tulisannya, diksi-diksinya, selalu membuat orang berdecak kagum.” meskipun belum ada balasan, gadis itu terus-terusan melemparkan kalimat, sepertinya ia ingin sekali berkomunikasi dengan si pemuda sombong ini.
“OH— aku baru ingat tentang sesuatu! ada satu satu penggalan puisi yang paaaling aku suka. oh, jangan salah, itu bukan Ozymandias, bukan juga Ode to the west wind. yang ku suka adalah Mutability.” gadis itu terus berbicara tanpa henti.
si pemuda sombong (yang belum diketahui namanya) itu sama sekali tidak tuli. dia mendengarkan semua yang dicelotehkan oleh si gadis, hanya saja ia terlalu malas dan tidak diberikan kesempatan untuk berbicara. ketika telinganya menangkap kata mutability, laki-laki itu merasa tak asing. dimana aku pernah melihat kata-kata ini? tanyanya dalam hati.
si pemuda itu menoleh untuk pertama kalinya dan mengatakan dengan lugas, “apa katamu? mutability? sepertinya kata itu sangat tidak asing.“
gadis itu meresponnya dengan tertawa cukup nyaring. “kau pasti tahu! aku yakin 90% kau mengenali kalimat ini, puisi ini ada pada novel yang sedang kau pegang— we rest. a dream has power to poison sleep; we rise. one wandering thought pollutes the day; we feel, conceive or reason, laugh or weep; embrace fond woe, or cast our cares away: it is the same for, be it joy or sorrow, the path of its departure still is free: man's yesterday may ne'er be like his morrow;—”
gadis itu menghentikan kalimatnya. dan si pemuda (yang tak lagi sombong) ini tentu mengingat bait dari kalimat yang dirapalkan oleh gadis aneh ini.
“nought may endure but Mutability.” ujar keduanya bersamaan.
“kau? bagaimana kau tahu?” tanya pemuda itu penuh keheranan.
“sudah kubilang, aku membaca Frankenstein ketika usiaku 18. dan penyair favoritku adalah Shelley!” jawabnya.“oh– maaf aku tidak mengindahkan kalimatmu diawal. aku Mahesa, dan kau?”
“wow ku kira kau bisu karena tidak menjawab beberapa pertanyaanku. tapi tak apa, aku memiliki jiwa pemaaf. aku Anja.” tangan Mahesa dijabat dengan hangat.“HAHAHA- aku tidak bisu, Anja! hanya saja aku sedikit canggung untuk berbicara dengan orang baru. maaf untuk tidak mengindahkanmu diawal. ternyata benar, kamu memang pemaaf.”
Mahesa tidak mengira di ruangan ini. ruangan perpustakaan milik negara. yang pengunjungnya ribuan dalam sehari, hari ini ia bertemu dengan sosok gadis aneh namun nyentrik. beberapa tahun sebelumnya ia tidak pernah menemukan gadis se-aneh dan se-cerewet Anja perihal buku-buku yang dibacanya.
“ngomong-ngomong soal romantik, aku mendengarkanmu barusan, kau bilang penyair romantik favoritmu adalah Shelley? mengapa? bukankah penyair romantik juga kan ada Wordsworth?” tanya Mahesa. kali ini Mahesa lebih antusias.
“hm— entah? tapi ada salah satu kutipan dari Shelley yang aku suka. dan berangkat dari situ, Shelley menjadi penyair favoritku hingga detik ini. katanya, bahwa alam ini adalah satu kesatuan dan dinilai dengan hati. dan puisi berangkat dari intuisi, hati, dan perasaan. kekuatan dari romantik berasal dari imajinasi dan kekuatan perasaan, bukan dari akal.”
Mahesa hanya bisa terpana oleh jawaban Anja. jika menurutnya Anja adalah gadis aneh, benar. Anja gadis yang sangat aneh yang pernah Mahesa temui. karena baru pertama kali dalam seumur hidupnya Mahesa bertemu gadis yang memiliki ketertarikan yang sama, yaitu kepada buku dan narasi sastra lainnya.
di luar ruangan, langit menjadi hitam dan petir menyambar dengan suara yang lantang yang mengisyaratkan akan terjadi hujan besar.
sungguh sial, Anja tidak membawa payungnya. padahal ada sebuah kata-kata mutiara yang mengatakan 'sedia payung sebelum hujan' tapi Anja lupa akan kalimat itu.
“uhm— Mahesa? sepertinya aku harus bergegas pulang. langit akan hujan, aku pergi dulu ya! senang berkenalan dan berbincang denganmu.”
Mahesa melihat Anja berlarian dari tempat duduknya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, “padahal aku membawa payung.”
***
trivia:
Percy Bysshe Shelley (penyair romantik) dan Mary Shelley (penulis novel) mereka adalah pasangan suami istri.
karyanya: Percy Bysshe Shelley; Mutability Mary Shelley; Frankenstein
KAMU SEDANG MEMBACA
mutability.
RomanceTanpa Mahesa ketahui bahwa awal pertemuan mereka akan menjadi sebuah bait-bait cerita yang sangat panjang. ©️ aksarashi: 2021, fiksi skitzy.