Chapter 9

680 82 15
                                    

“Tiff, ada yang harus aku bicarakan,” ucap Tanner dengan wajah serius.

“Apa?” tanyaku disela-sela kunyahan French Fries yang kumakan.

“Aku...harus pindah ke California,” mulutku berhenti mengunyah, apa aku tak salah dengar? Pindah?

Aku menatapnya tajam, “Kenapa kau pindah?”

“Aku berhenti kuliah,” hanya tiga kata itu yang keluar dari mulutnya membuatku terkejut.

“Hah? Kau berhenti kuliah? Kau bercanda kan? Ini tidak lucu Tanner!” menypitkan mata, aku tergelak geli sekaligus ironi. Mana mungkin ia meninggalkan kuliah nya?

Wajah Tanner masih serius menatapku, tidak ada sedikitpun ekspresi canda yang terpampar diwajahnya, “Dengarkan aku dulu Tiff. Aku sudah mendapat pekerjaan disana,”

“Pekerjaan apa? Yang benar saja!”

Tanner menghela nafas panjang “Tiff tolonglah, aku serius. Aku akan mengurus bisnis Ayahku disana,” oh, kalimatnya barusan membuatku berfikir aneh-aneh tentang bagaimana kelanjutan hubungan kami.

“Huh... kapan kau berangkat ke California?” tanyaku.

“Besok. Besok pagi aku akan berangkat,” otakku masih mencerna kalimatnya. BESOK? Ya Tuhan...

Menarik rambutku ke belakang—karena frustasi ku coba mengalihkan pandanganku pada objek lain, tetapi tidak ada yang menarik dimataku. Sial, “Kenapa secepat ini? Kau serius tak ingin lulus kuliah dahulu?”

Tanner menggenggam tanganku, “Aku juga ingin seperti itu Tiff, tapi Ayah ku memaksa,”

“Ya sudah... apa boleh buat. Uhm, lalu hubungan kita bagaimana?” pertanyaan di dalam otak ku yang sedari tadi ingin ku tanyakan akhirnya keluar juga.

“Terpaksa LDR.”

Terpaksa LDR, terpaksa LDR, terpaksa LDR, terpaksa LDR, terpaksa LDR. Kalimat itu masih berputar-putar di otakku.

***

Sekarang aku membolos kuliah untuk menemani Tanner ke bandara. Rasanya aku tidak rela dia akan pergi jauh, siapa juga yang rela pacarnya pergi jauh?

Kami masih duduk terdiam di ruang tunggu. Seharusnya, disini aku harus memuaskan diri berbincang dengan nya. Tapi, tidak ada topik yang bagus dalam keadaan seperti ini. “Pesawatnya berangkat jam berapa?” tanyaku agar suasana tidak terlalu canggung.

Tanner melihat jam tangan yang dilingkarkan pada pergelangan tangan nya, “Sepertinya 10 menit lagi,”

“Yasudah Tanner, kau hati-hati disana. Jaga diri baik-baik, jangan lupakan aku dan yang terpenting jangan lupa kabarkan aku selalu ya,”

“Iya Tiffany,” Tanner menyubit kedua pipiku seperti yang biasa ia lakukan, “kita masih bisa Skype-an kan?” lanjutnya.

“Tapi tidak seru kalau cuma melalui Skype,” aku memajukan bibirku tanda cemberut.

“Iya... tapi mau bagaimana lagi?” Tanner juga ikut cemberut, “jika aku ada waktu, aku akan kembali ke London, kau jangan sedih oke?” lanjutnya.

Tiba-tiba ada suara pengumuman dari speaker kalau pesawat yang akan Tanner naiki akan lepas landas.Tanner bangkit dari duduknya lalu menarik pegangan kopernya, “Tiff, aku harus berangkat,”

Aku ikut berdiri, “Yasudah kalau mau berangkat ya berangkat saja sana. Kau seperti ingin perang saja,” ucapku sambil menatapnya sinis.

“Oh, jadi begitu? Oke!” Tanner menarik kopernya lalu berjalan melewatiku begitu saja. Ah, Tanner pasti menganggap serius, padahal kan aku hanya bercanda.

Blank SpaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang