Part 13

118 4 0
                                    

Beberapa hari kemudian, aku memasuki kelas dengan biasa saja. Tidak ada yang spesial. Bahkan aku melewati jam pelajaran seperti biasa, ngantuk.

Saking seringnya aku tidur tidak terasa sekarang sudah jam pulang sekolah. Saat aku keluar tiba tiba Adam menghampiriku.

"Hai! Lo ada acara atau enggak?" tanyanya antusias.

Aku menggelengkan kepalaku. Aneh juga orang ini, kenapa dia jadi hiper begini ya?

"Bagus! Karna gue mau minta tolong sama lo." katanya dengan senyum sumringahnya.

"Minta tolong apa?" tanyaku.

"Gue mau minta tolong lo buat nemenin gue beli hadiah. Jadi begini. Ada orang yang bakalan ulangtahun pas tanggal 6 nanti. Gue sayang banget sama dia. Maka dari itu gue pengen ngasih sesuatu yang spesial ke dia. Mau kan?" ucapnya panjang lebar.

Apa? Tanggal 6? Apa jangan jangan itu hadiah buatku? Iya pasti. Ulang tahunku juga lusa. Apa iya dia mempersiapkannya dari sekarang? Waah jadi penasaran.

"Kenapa lo ngajak gue?"

Dia terlihat diam. Sepertinya sedang memikirkan jawaban. Adam sempat membuka mulut, namun ia membatalkannya karena tiba tiba ia menarik tanganku untuk menuju motornya.

Saat di tempat parkir, Adam menyodorkanku sebuah helm. "Nih pake!" perintahnya.

Aku sempat memperhatikan helmnya sejenak. Apa aku harus pakai? Apa aku menolaknya? Aku tidak suka pakai helm.

"Gue males pake helm ah! Toh jam segini enggak ada polisi juga." tolakku.

"Pake dong, Ray! Ini bukan masalah polisi dan tilang menilang, tapi ini buat keselematan lo. Gue enggak mau lo kenapa napa!" jawab Adam.

ADAM KHAWATIR?! Yaampun, aku tidak menyangka Adam segitu pedulinya. Setidaknya, rasa sukaku selama ini padanya tidak sia sia. Alhasil aku menggodanya, "ciee segitu khawatirnya."

Adam menarik nafas panjang. Dengan berusaha tenang, ia memakaikan helmnya di kepalaku. Entah kepalaku yang kekecilan atau helm nya yang terlalu besar, helm ini tidak mau diam. Selalu menurun dan menutupi sebagian wajahku.

"Daripada lo godain gue, mending ayo naik. Jangan lama lama, gue masih banyak urusan." katanya sambil sengaja menekan tangannya di kepalaku.

Saat dia sudah stand by di atas motornya, aku kembali ragu. "Kenapa mesti sekarang? Kenapa enggak lusa aja? Lusa kan libur." kataku alasan.

"Besok gue enggak bisa. Gue udah janji sama oma mau bantuin dia bikin kue." jelasnya.

Seorang Adam mau bantuin oma Chandra bikin kue? Apa mungkin iya? Adam itu kan kriteria orang tidak peduli soal seperti itu. Apa ya yang membuatnya rela bantuin omanya?

Kalo dipikir pikir lagi, kenapa harus di pikir pikir lagi. Dia itu oma Chandra! Omanya sendiri. Mana mungkin Adam tidak membantu, toh dia juga tinggal disitu.

"Lo bikin kue?!" tanyaku sedikit tertawa. "Otak lo enggak ketinggalan di kelas kan? Dapet hidayah apa lo sampe mau bantuin oma bikin kue?"

Adam mencoba sabar sepertinya. "Udah cepetan naik! Kalo kita kelamaan, abang abang lo bakal berisik!" protes Adam.

Tentu saja mereka akan berisik. Entah kenapa mereka tergolong orang yang overprotective terhadap urusanku. Kemanapun aku pergi, aku harus mengabari keduanya. Jelas? Keduanya. Tidak boleh hanya salah satu dari mereka. Aku jadi ingat waktu aku SMP dulu aku hanya mengabari bang Raffi kalau aku main dirumah teman, dan akhirnya bang Reno kalang kabut mencariku.

Alhasil aku langsung naik saja ke motornya. Adam melajukan motornya dengan kecepatan normal. Tapi tetap saja membuatku stress! Sudah tau kalau motornya motor sport, masih saja berani untuk menyalip kendaraan lain.

Perfect StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang