Part 11 - First Fight

144 3 0
                                    

"Gue laper." bisik Adam.

YAAMPUN!!
Jadi dia cuma mau bilang kalau dia laper? Nggak penting! Aduh gila aja. Kirain dia mau nyolong second kiss aku.

Tiba tiba saja Adam menarik tanganku dan membawaku keluar. Sebelum ke kamar, dia sudah mengurus semua administrasi. Baik ya? Iyalah!

Kami berjalan menuju parkiran tempat di mana mobilnya terparkir. Saat sudah berada di dalam mobil, tak ada satupun yang berbicara. Ayolah Dam! Ngomong dong!

"Lo mau tau kenapa gue yang jemput?" akhirnya Adam mencairkan suasana.

"Kenapa?" tanyaku padanya. Aku langsung menatap orang yang tidak pernah lepas pandang dari jalanan itu.

Tiba tiba Adam tertawa. "Karena Raffi sama Reno yang nyuruh. Mereka males katanya, hahahahahaha." tawanya renyah. Apa?! Jadi dia datang bukan karena kemauannya dia sendiri? Jadi semua itu karena suruhan?

Aku berusaha sekuat mungkin agar terlihat terkejut. Aku terkejut seolah olah sebal karena Raffi dan Reno tidak mau menjemputku.

"Awas aja! Ampe rumah gue bejek bejek ampe jadi adonan!" omelku.

"Serem amat neng. Entar cowok lo gimana ya? Punya cewek kok galak banget." ledek Adam. Orang ini senang sekali meledek orang atau bagaimana?

Aku mengambil nafas panjang, "ngapain ngurusin ampe ke pacar? Masih lama kali. Lagipula ya, siapapun pacar gue nanti, dia harus tahan banting." "Dia harus sayang gue apa adanya. Mau gue galak pun, dia harus siap gue omelin!" lanjutku mantap.

Adam malah memiringkan senyumnya. Pandangannya masih saja terfokus pada jalanan. "Ohh, kalo begitu gue harus siap siap dong." katanya.

"Siap buat apa?" tanyaku bloon. Iyalah. Mana mungkin aku ke-geer-an.

"Ya gue prepare dari sekarang dong. Gue kan calon pacar lo." jawabnya enteng.

Ternyata benar. Ternyata benar! Aku yakin saat ini pipiku sudah sangat merah. Aku mengalihkan perhatianku keluar jendela. Membayangkan jika Adam benar-benar pacarku kelak.

Mobil Adam berhenti. Ternyata kami sudah sampai. Sebelum aku membuka pintu, Adam sudah mendahuluiku. Betapa gentle-nya dia.

Kami memasuki sebuah rumah makan sederhana. Tanpa AC, tanpa lilin, dan tanpa makanan mahal.

Kami mendatangi meja yang masih kosong. Meskipun sederhana, tapi rumah makan ini sangat ramai.

"Kita kenapa kesini sih?" tanyaku sebal pada Adam.

"Ya makan lah." jawab Adam yang pandangannya masih saja mencari cari pelayan.

Huh! Aku juga tau kita mau makan! "Ya gue juga tau. Tapi kenapa disini?"

Ia kini langsung menatapku. Pandangannya tepat lurus ke wajahku, karena kami duduk berhadapan.

"Trus lo mau kemana? Lo mau ke tempat yang ada AC nya? Yang mahal?! Iya?! Jangan ngimpi! " tanya Adam dengan nada bicara yang sangat ketus.

3 kata yang membuat dadaku langsung berdegub kencang. Bukan, bukan 3 kata layaknya 'I love you' melainkan..

"Dasar anak manja."

Mendengar ucapannya barusan, aku langsung menatapnya dingin. Aku bangkit dan meninggalkan dia sendirian menuju pintu keluar.

Saat berada di luar, aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak membiarkan air mataku jatuh. Kini, aku berdiri membelakangi pintu. Memperhatikan entah apa di sekelilingku.

Secara tiba tiba lenganku ditarik sehingga aku dapat menghadap orang yang menarikku.

"Lo kenapa ninggalin gue begitu aja di dalem?" tanya Adam dengan ekspresi yang sedikit kesal.

Aku memalingkan wajahku ke arah samping. Aku malas memandangnya. Malas melihat wajah ketus dan dinginnya itu.

"LIAT GUE RAY!" bentaknya padaku.

Dengan terpaksa aku mengedarkan pandanganku padanya. Kali ini, aku tidak bisa menahannya lagi. Aku membiarkan semua butiran di mataku ini meluncur di pipiku.

"Kenapa lo nangis? Lo gak suka gue panggil manja?! Gue bilang begitu, karna lo emang manja! Cengeng dasar!" bentaknya makin menjadi.

Ternyata dia begini. Seorang Adam Dharma Sadewa adalah orang yang ketus, dingin, dan nggak punya perasaan? Aku kira dia berbeda. Awalnya aku kira dia seorang laki laki yang lembut, penyayang, dan pengertian. Tapi nyatanya? Bullshit!

Saat aku baru membuka mulut dia langsung menarikku menuju mobilnya. "Masuk!" perintah ketusnya.

Mau tidak mau aku langsung memasuki mobilnya. Saat ia akan menggunakan sabuk pengaman, aku menahan pergerakkannya. Aku menatap tepat di matanya.

"Kalo gue manja emang kenapa?" tanyaku sambil menarik senyum miring di bibirku.

"Lo gak suka gue manja?! Lo gak suka gue begini?! Fine! Gue bakal buktiin kalo gue bukan anak manja kayak apa yang lo sebut barusan!" aku langsung membuka pintu berniat untuk keluar. Lagi lagi, Adam menahanku.

"Lo mau ngapain?" tanya Adam.

"Ya mau pulanglah! Gue mau naik taksi." jawabku.

"Enggak boleh!" bentak Adam lagi.

Aku langsung menutup pintu yang sempat aku buka tadi. "Lo sendiri yang bilang gue anak manja! Gue mau ngebuktiin ke lo kalo gue bisa sendiri. Gue bisa pulang sendiri!" balasku.

"Trus? Emang lo tau jalan?" pertanyaan Adam membuatku diam. Diam seribu bahasa.

"Ha! Diem kan lo sekarang? Emang bener kan kalo lo itu anak man.."

Plakk!

Aku menamparnya. Aku tidak peduli dia anak kelas 12, dia sahabat dari kakakku sendiri, aku masih tidak peduli.

"Udah ngomongnya?!" tanyaku balik. "Iya gue emang anak manja! Gue enggak bisa apa apa! Gue gatau jalan, gue selalu minta antar-jemput, gue cengeng, tapi dibalik semua itu gue punya alesan! Gue kayak begini, karna gue cuma cari perhatian orang orang di sekeliling gue! Orangtua gue enggak pernah ada dirumah. Lo fikir gue bahagia di rumah? ENGGAK DAM! Gue sendirian! Bang Raffi sama bang Reno sibuk sama dunianya sendiri. Nina? Dia enggak boleh keluar sama mamanya. Kalo gue harus kerumahnya pun, lo sendiri yang bilang gue gatau jalan!"

"Ohh, sekarang gue paham. Selama ini lo gangguin gue, ngatur ngatur gue untuk ini itu, karna lo pikir gue masih bocah kan? Gue enggak butuh semua itu!" lanjutku.

Kini, di dalam sebuah mobil kami berpandangan. Masing masing memiliki pandangan yang dingin. Bedanya, mataku kini sudah merah dan wajahku dibanjiri oleh air mata.

Tanpa berfikir panjang Adam memelukku. Tentu saja aku terkejut. Tapi entah mengapa, aku balik melingkarkan tanganku di punggungnya. Mengetahui reaksiku, Adam makin mengeratkan pelukkannya.

"Maafin gue."

Aku tidak tau harus menjawab apa. Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku.

"Lo boleh nangis sepuasnya. Nangis aja sekarang Ray. Lepasin semuanya." ucapan Adam kini menjadi lembut.

Aku makin melepaskan tangisanku. Aku menenggelamkan wajahku di dadanya. Aku tidak ingin lepas. Aku ingin tetap terus berada di situasi seperti ini.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Maaf ya, part ini sengaja dibuat pendek.

Perfect StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang