( O1 )

967 134 1
                                    

Atsumu terbaring lemah di kasurnya, ia benci selang infus yang selalu menemaninya belakangan ini. Langit-lagit ruangannya terasa jauh dan menyesakkan.

Ia ingin keluar dari sini.

Pergi ke mana pun asalkan bukan ruangan ini. Ke pantai, gunung, samudra, kebun binatang atau mana pun yang jelas ia ingin pergi dari ruangan ini sekarang juga.

Padahal fisiknya tak sakit, padahal ia bisa berlari, padahal ia bisa melompat, padahal ia bisa memukul tapi mengapa ia harus terjebak di ruangan ini? Atsumu tidak pernah mengerti alasan di balik semua ini.

“Aku muak.”

Apakah orang tuanya pernah peduli pada perasaannya? Ia bertanya-tanya hal itu dalam benaknya setiap hari. Tapi tak kunjung menemukan jawaban atas semua itu.

Akhirnya, Atsumu memilih untuk berjalan-jalan ke taman di sekitar rumah sakit itu. Dia biasa melakukannya seorang diri, para perawat sudah hapal kebiasaannya itu.

Kakinya ia langkahkan, hidungnya menyesap aroma rumah sakit yang memuakkan, matanya lurus menatap jalan dan tangannya setia menggenggam dan meyeret infus.

Sampai di taman, ia duduk di bangku yang disediakan seperti biasanya. Kali ini Atsumu menatap langit dan menemukan banyak awan berbentuk kucing. Ia pun menebak apakah hujan akan turun hari ini atau tidak.

Tangan Atsumu menyentuh sesuatu, ia mengalihkan pandangannya dan menemukan sebuah cermin di sana. “Siapa yang meninggalkan benda ini di sini?” gumamnya.

Atsumu menggenggam cermin itu, ia berniat untuk berkaca dan membetulkan rambut kuningnya yang agak berantakan namun bayangannya tak muncul di sana.

Yang muncul justru bayangan seorang anak kecil dengan rambut cokelat, hanya kepala dan pundaknya yang muncul tanpa sehelai benang menutupi. Anak itu membuka matanya secara perlahan.

“... Siapa kau?” tanyanya dari balik cermin itu.

Atsumu membelalakan matanya, makhluk ini bisa bicara!?

“Harusnya aku yang bertanya padamu! Bagaimana bisa kau ada di balik cermin ini? Apa kau semacam hantu cermin?” tanyanya.

Anak itu terdiam, ia tampak tidak punya emosi. Dia menatap mata Atsumu dengan intens.

“Dan kenapa ...”

Atsumu menelan ludahnya, ia merasa sedikit takut sekarang ini. “Kenapa wajahmu terlihat seperti milikku saat kecil dahulu!?”

Sadar ia berbicara bukan di tempat yang tepat, Atsumu memilih kembali ke ruangannya. Ia tak mau dicap orang gila karena berbicara dengan sebuah benda mati. Dan jika ada orang yang melihat cerminnya mungkin orang itu akan mengambilnya dan dibawa pergi dari tangan Atsumu.

Sesampai di kamarnya, Atsumu duduk di kasur dan bertanya lagi pada anak itu. “Sebenarnya, kau itu siapa?”

Anak bersurai cokelat itu menjawab, “Aku tak tahu apa pun, yang kutahu hanya namaku Miya Osamu,” balasnya

Atsumu membelalakan matanya untuk kedua kalinya. “Bahkan nama margamu mirip denganku, sebenarnya kau itu siapa? Jawab aku!”

Osamu menautkan alisnya, “Apa kau tuli? Sudah kubilang aku tak tahu apapun dasar bodoh!”

Oi, oi, oi. Atsumu dibilang bodoh oleh seorang anak kecil? Ia merasa tak terima. “Kau yang bodoh, mana ada bocah dibalik cermin yang memiliki wajah dan marga yang sama denganku!?”

“Ada, buktinya aku, bodoh! Omong-omong, siapa namamu?” tanya Osamu.

Atsumu mendengus. “Kau dasar bocah sialan, namaku Miya Atsumu. Apa selama ini kau tinggal di dalam cermin ini?”

Osamu menggeleng pelan. “Aku tak ingat apa-apa, aku baru membuka mataku dan yang pertama kali kulihat adalah orang aneh berambut kuning.”

Bila diperhatikan, dahi Atsumu terdapat guratan membentuk segi empat tanda kesal terhadap anak di balik cermin tersebut.

Pikiran Atsumu bergerak terus menerus, bagaimana bisa ada manusia yang terjebak di balik cermin seperti Osamu? Apa ia sedang bermimpi? Ya, itu lebih masuk akal. Pasti ia sedang bermimpi.

Tok, tok, tok.

Sebuah ketukan terdengar lalu pintu mulai terbuka dan Atsumu segera menyembunyikan cermin tersebut di balik bantal. Seorang perawat datang membawa nampan berisi bubur, pisang dan apel. “Makan lah ini, Miya.”

Perawat itu tersenyum manis sambil menaruh nampan di meja sebelah kasur Atsumu. “Ada yang kau butuhkan, Miya? Mungkin teman bicara?” tanya perawat itu.

Atsumu menggeleng. “Tidak, terima kasih. Sehabis makan, aku akan segera beranjak tidur.”

Mendengar jawaban Atsumu membuat perawat itu terlihat sedikit kecewa. “Baiklah, Miya. Jikalau kau butuh sesuatu silahkan panggil aku kapan pun.”

Perawat itu pun pergi dari sana. Atsumu sudah kebal dengan godaan manis dari perawat-perawat di sana. Tak pernah terbesit di pikirannya untuk mengencani salah-satu dari mereka.

“Wanita itu menggodamu.”

Mata Atsumu melirik sedikit benda yang berada di bawah bantalnya. “Aku tahu dan itu menyebalkan,” ungkap Atsumu sambil menarik kembali cerminnya.

Osamu menaikan salah-satu alisnya. “Huh, kukira kau termasuk orang yang bersenang-senang dengan banyak gadis. Ternyata aku salah?”

Atsumu memutar bola matanya. “Aku bahkan tidak tertarik berkencan dengan wanita mana pun.”

“Apa kau menyukai pria?”

“Bukan seperti itu, sialan,” umpat Atsumu sambil menaruh cermin tersebut di sampingnya. Ia menarik nampan dan mulai memakan buburnya. Keduanya terdiam beberapa lama, hanya ada suara sendok berdenting dengan mangkok yang mengusir sunyi di antara mereka.

“Ini rumah sakit, ya?” tanya Osamu tiba-tiba.

“Ya,” balas Atsumu singkat. Bagaimana pun, ia tak suka mendengar pertanyaan yang keluar dari bocah bersurai cokelat di balik cermin tersebut.

“Kau sakit?”

“Tidak, aku sehat.”

Osamu terdiam agak lama, ia sebenarnya merasa kalau Atsumu tidak nyaman dengan pertanyaannya. Ia lebih memilih mengganti topik. “Apa rambutmu kuning sejak lahir?”

Atsumu menghentikan kegiatannya sejenak, ia tidak mengingat dengan jelas alasan rambutnya berwarna kuning itu. “Aku mengecatnya agar makin tampan,” ucapnya bohong.

Tatapan Osamu berubah sinis begitu mendengar jawaban yang keluar dari lisan milik Atsumu. “Kau bilang kau tak ingin berkencan tapi kau bersolek ria.”

Ok, Atsumu merasa menyesal menjawab pertanyaan milik Osamu. “Baiklah, sejujurnya aku tak mengingat alasan dibalik pengecatan rambuku ini jadi jangan tekan aku.”

Atsumu sudah menyelesaikan makannya, ia memposisikan dirinya di kasur dan menutupi tubuhnya dengan selimut lalu menarik cermin dan menatap Osamu.

“Hei, Osamu. Aku ingin bercerita beberapa hal denganmu.”

Mata mereka bertemu dengan intens. “Silahkan,” balas Osamu.

Behind the Mirror [ ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang