( O2 )

551 118 1
                                    

Atsumu menceritakan kebenciannya terhadap ruangan yang sedang dihuninya sekarang ini, lalu berlanjut ke ribuan pertanyaan mengapa ia ada di sana padahal fisiknya tak bermasalah.

"Mungkin yang salah bukan fisikmu tapi otakmu," ejek Osamu dengan cengiran.

Selingan ejekan Osamu membuat mereka berdua semakin dekat, bahkan Atsumu menceritakan gosip terhangat di sekolahnya saat ini. Lalu mereka tertawa bersama. Atsumu tidak menyangka bahwa anak kecil seperti Osamu adalah teman bicara yang menyenangkan.

Atsumu menghabiskan hari-harinya dengan berbincang bersama Osamu. Jika ada dokter atau perawat yang mendatanginya, ia akan menyembunyikan cermin berisi Osamu di bawah bantalnya.

Ia pun baru tahu jika Osamu tidak pernah tidur saat malam, anak itu akan menunggu cahaya tanda Atsumu terbangun dari tidurnya dan hal itu membuat Atsumu merasa tak enak hati jadi ia berusaha begadang belakangan ini.

"Bukan kah ini waktumu untuk tidur?" tanya Osamu.

Sang surai kuning menggeleng, "Aku belum mengantuk." Tetapi jujur saja, Atsumu sangat mengantuk sampai ia berbicara melantur.

"Bicaramu sudah melantur, sedikit lagi pasti kau tertidur," ejek Osamu.

Atsumu tak kuasa lagi menahan kantuknya, ia menutup matanya dan seketika semuanya gelap. Hal terakhir yang didengarnya adalah suara Osamu.

"Selamat malam, Tsumu."

Malam itu, Atsumu bermimpi ia bermain voli dengan Osamu namun orang itu memiliki rambut abu dan tubuh sepantaran dirinya.

Mereka bermain dengan sangat baik, bahkan para pelatih memuji kemampuan mereka. Namun, bagaimana pun Atsumu belum merasa puas bermain.

"Tsumu, kau tertidur lagi rupanya."

Atsumu melihat Osamu, ia ingin membalas perkataan Osamu kalau ini semua hanya mimpi tapi lisannya tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun.

"Ayo, kita makan onigiriku. Jangan tertidur di sini, Tsumu. Berbahaya."

Osamu pun pergi dari pandangannya untuk mengambil onigiri, dan saat itu pula Atsumu merasa kepalanya begitu sakit. Ia membelalakan matanya lalu melihat pemandangan langit-lagit rumah sakit ada di hadapannya sekarang ini.

Telingannya berdengung, ia merasa kepalanya ditusuk jarum dingin di mana-mana. Ia berteriak sehingga para perawat dan dokter mendatanginya. Pandangan Atsumu berair dan menjadi buram.

Perawat memeganginya dengan sangat erat, sang surai kuning itu menggeram kesakitan sambil menyuruh mereka melepaskannya. Begitu sang dokter menyuntikannya suatu cairan, Atsumu mulai tenang.

Napasnnya tersenggal, ia tidak memiliki tenaga untuk bergerak lebih banyak. Salah-satu perawat di sana menanyakannya berbagai hal lalu dicatat di sebuah kertas.

"Apa kau bermimpi?"

"Ya."

"Bisa kah kau menceritakan mimpimu itu?"

"Aku hanya ingat kalau aku sedang bermain voli bersam-"

Atsumu menjeda kata-katanya, ia tidak mau ada yang mengetahui Osamu selain dirinya sendiri. Ia tidak ingin mengetahui apa yang akan dilakukan orang-orang bila mereka mengetahui siapa Osamu itu.

"Bersama siapa, Miya?"

"Bersama-sama. Maksudku, dengan tim voliku."

"Apa di mimpimu ada seseorang yang tidak kau kenal?"

"Tidak, aku mengenal mereka semua."

"Baik, terima kasih, Miya. Bila kau bermimpi aneh, kami harap kau segera mengatakannya."

Atsumu mengangguk. Setelah ia berterimakasih, dokter dan para perawat itu pergi meninggalkannya.

"Bermimpi buruk?"

Itu suara Osamu. Dengan segera Atsumu mengambil cermin yang ternyata tertutup selimutnya, "Tidak, aku memimpikanmu."

Raut wajah Osamu berubah menjadi masam, "Maaf saja tapi aku tidak berniat menjalin hubungan menjijikan denganmu. Ternyata ini alasanmu tidak tertarik berkencan walau banyak gadis meggodamu."

"Bukan seperti itu, sialan!" Atsumu memijat pelipisnya, ia harus bersabar menghadapi anak kecil bersurai cokelat tersebut. Bagaimana pun, ia lebih dewasa dari Osamu saat ini, "Aku bermimpi, kita bermain voli bersama."

Osamu terdiam sejenak, "Ceritakan lebih detail."

Atsumu menceritakan mimpinya dengan Osamu, seluruh detail yang bahkan tak ia katakan pada perawat tadi. Atsumu membicarakan semua hal dengan Osamu. Bertukar pendapat, menertawakan orang lain atau pun berbagi ketertarikan.

Dalam hati, Atsumu sangat bersyukur ada Osamu di sisinya. Ia tak lagi merasa sesak di dalam ruangan itu. Ia tak lagi membenci ruangan itu. Ia tak lagi merasa ingin kabur dari ruangan itu karena hanya di tempat itu lah ia dapat bercerita semua hal yang ia ketahui dengan Osamu.

Ia tak bisa membayangkan bagaimana jika jemarinya tak menyentuh cermin itu, apa perasaan sepi tetap memeluknya seperti biasa? Atsumu memilih untuk tidak memikirkannya.

"Hei, Osamu."

"Ya?"

"Kau tahu? Aku sangat senang bisa berbicara dengan anak kecil yang menyebalkan di dalam cermin ini."

Osamu menyunggingkan senyumannya, "Ya, aku juga senang bisa berbicara dengan remaja aneh bersurai kuning ini. Aku jadi bisa mengetahui gosip-gosip terkini."

Atsumu tersenyum hangat walau ucapan Osamu harusnya membuat dirinya kesal, ia menaruh cermin tersebut di jendela dan menghadap ke luar agar dapat melihat pemandangan di balik jendela tersebut bersamanya.

"Ouh, lihat ada pasangan yang sedang bertengkar."

Osamu terkekeh, "Lihatlah anak kecil yang menangis karena mereka. Wah, situasi makin panas."

"Wah gila, ibu dari anak kecil itu memarahi mereka."

Sekali lagi, Atsumu tak mau membayangkan hari-hari tanpa Osamu di sisinya. Tak ada lagi yang membuat Atsumu merasa kurang bila ia bisa berbicara dengan Osamu.

Suatu pagi, Atsumu menyadari bahwa Osamu tampak memakai baju. Tak lagi ada bahu telanjang di matanya, kini tertutup sebuah sweater ungu, "Darimana kau mendapatkan baju itu?"

Osamu menggeleng, "Entahlah."

Atsumu juga merasa suara Osamu sedikit berubah menjadi lebih dalam, tidak seperti anak kecil lagi. Bahkan ia menyadari adanya sedikit perubahan pada struktur wajah Osamu.

'Apakah Osamu tumbuh?' batin Atsumu.

Beberapa hari ini, Atsumu selalu bermimpi hal yang sama. Ia bermain voli bersama Osamu dan berakhir dengan kepalanya yang sakit lalu dokter akan menyuntikan cairan ke dalam dirinya dan perawat yang menanyakan mimpinya.

Semuanya sama, namun tidak dengan Osamu. Fisiknya jelas tumbuh dan bahkan sekarang ia lebih banyak diam. Namun, semakin tenangnya Osamu maka semakin banyak hal yang diceritakan Atsumu. Ia menemukan bahwa Osamu senang mendengarkan celoteh Atsumu walau hanya sekedar mengeluhkan suhu yang dirasanya terlalu panas.

Atsumu tidak terlalu memusingkan perubahan pada anak dalam cermin itu, selama ia adalah Osamu maka tak ada yang perlu dipikirkan. Mungkin, Atsumu memang sedikit egois karena berharap Osamu tak akan pernah bisa keluar dari dalam cermin itu tapi ia terlalu takut bila suatu hari nanti tak ada lagi yang dapat mendengarnya mengeluh tentang dirinya ataupun membicarakan beberapa artis dari berita yang ia dapat di televisi.

Kini Atsumu memikirkan hal itu dan ketakutannya akan kehilangan Osamu semakin tumbuh.

Ia tak mau semua itu terjadi.

Jam menjadi hari, hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan. Tak terasa waktu berlalu begitu saja. Bagi Atsumu, dua bulan belakangan ini hanya seperti dua minggu saja.

Behind the Mirror [ ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang