Mirania duduk di rumah kontrakannya yang kecil dan pengap. Ia baru selesai berkemas meski beberapa barang masih bertumpukan, sebab tak ada lagi sudut kosong yang bisa digunakan di rumah itu. Semua ruangan sudah penuh sesak oleh perabotan, cucian kotor yang baru akan ia cuci besok, pelbagai macam sembako yang ia simpan di kardus bekas mi instan, dan kenangan yang mendiang ayahnya tinggalkan.
Sudiman meninggal ketika hening menyergap erat dirinya. Dalam sesak yang menikam dada, mencekat tenggorokannya sampai lelaki itu sulit bernapas. Di siang yang terik saat ia tak berteman siapa pun di rumah. Penikaman tanpa rupa yang tiba-tiba itu pula seketika membekukan tubuhnya. Sudiman terpasung oleh sesuatu yang tak kasat mata. Ia tidak tahu kenapa kakinya begitu susah digerakkan, padahal tinggal beberapa langkah saja menuju kamar. Merasa tak mampu lagi berjalan, ia pun beringsut turun, mengempaskan tubuhnya ke kursi dekat lemari dan terpejamlah ia di sana. Pejam dalam gelap yang panjang.
Ayah tidur seperti Ibu, bisiknya dengan sebaris air mata yang membasahi pipi. Tapi ... kenapa? Kenapa mendadak, Ayah? Rasanya Mirania ingin protes. Kalau saja bisa, ia juga ingin diantar malaikat menemui ibunya. Lalu mereka bertiga bersama seperti dulu. Ia, ibunya, dan ayahnya yang bermata teduh itu.
Mirania sangat ingin melakukannya. Pergi menemui Sudiman dan Lusi. Tapi suara-suara di kepalanya mengembalikan kesadaran yang sempat lepas. Ia memang telah berkarib miskin sejak kecil, tapi ia dilahirkan dari rahim seorang ibu yang baik. Ayahnya adalah ayah yang juga baik. Lantas hanya untuk berkumpul lagi dengan mereka, akankah ia sanggup menanggung dosa yang mungkin saja juga akan dipikul oleh ayah ibunya? Bagaimana ia akan menjelaskan kepada ayah ibunya nanti jika mereka kembali bertemu, tentang kebodohannya itu? Mereka, Sudiman dan Lusi, pasti akan kecewa terhadapnya. Tidak, Mirania tidak ingin mereka kecewa, sedih, apalagi tersiksa karena ulahnya, yang sudah pasti juga bakal ia sesali sendiri.
"Ran ... Rania? Kamu di dalam?" teriak seseorang dari luar sambil mengetuk pintu, mengejutkan gadis itu sekaligus melepaskannya dari lamunan.
Mirania segera bangun. Setelah membuka pintu, didapatinya si pemilik rumah sedang berdiri dengan wajah kebingungan. Mirania mempersilakannya masuk, tapi wanita itu menolak. Ia beralasan tidak bisa lama-lama, dan mereka pun terlibat obrolan yang paling ingin Mirania tunda. Tapi wanita itu sudah telanjur menemuinya.
Ini soal rumah yang Mirania tempati. Wanita itu bilang, sepasang suami-istri yang akan menyewa rumah itu sudah datang. Mereka, seperti yang telah Mirania duga, juga telah membayar biaya kontrakannya. Bulan ini juga Mirania harus pindah, dan ia tahu itu. Bahkan sejak Sudiman masih ada. Ia selalu ingat kapan harus menemui si pemilik rumah jika ingin memperpanjang masa sewa. Itu adalah hal yang tak pernah lewat ia catat di kalender yang menggantung di dinding kamarnya. Seharusnya ia sudah siap, karena ia mencatatnya. Hanya saja, banyak hal tak terduga terjadi. Hal yang buruk dan menyesakkan, dan yang menyebabkan ia nyaris kehilangan akal sehat kalau saja tak ingat dengan Tuhan.
Catatan itu pun seperti tak ada gunanya. Sekarang satu-satunya yang bisa Mirania lakukan adalah mendengarkan si pemilik rumah bicara. Sementara di dalam hatinya, ia terus merutuki diri sendiri. Ia telah lupa pada sesuatu yang seharusnya paling ia ingat, paling ia pikirkan usai bangun dari kesedihan. Meski sampai saat ini pun, ia belum benar-benar bangun.
"Apa tidak bisa sampai bulan depan, Bu? Saya akan cari uangnya."
Tiba-tiba ia terkenang kembali pada janjinya yang dulu. Saat itu tidak ada pilihan lain kecuali meminjam uang kepada temannya, sebab biaya sewa rumah memang tidak sedikit. Ditambah lagi ia telah mengambil sebagian uang tabungan yang ia miliki untuk menebus sertifikat kematian. Membeli kebutuhan sehari-hari, mengadakan selamatan untuk mendiang sang ayah, dan membayar utang kepada teman, juga sudah menipiskan tabungannya. Sekarang tersisa sedikit saja di dompetnya, dan sekalipun ia berikan semuanya kepada si pemilik rumah, tetap tak kan bisa menyelamatkannya dari kepindahan yang mendadak. Karena ia juga tak kunjung mendapatkan pinjaman.
"Kalau saja belum dibayar, saya pasti tidak akan melakukan ini sama kamu." Wanita itu berkata dengan penyesalan yang apa adanya. Ia tidak sedang berpura-pura, tapi suaranya yang sedikit gemetar dan pelan, tetap terdengar seperti teriakan yang menyentak tubuh orang yang mendengarnya.
Mirania menghela napas sejenak. Lalu dengan kebingungan yang kini memenuhi dirinya, gadis itu berucap, "Tidak apa-apa, Bu, saya mengerti."
"Syukurlah kalau begitu. Tapi ada satu lagi yang harus saya sampaikan sama kamu, Ran. Jadi gini, emm ...."
"Kenapa, Bu?" Mirania setengah takut menanyakannya.
Sebelum lanjut bicara, si pemilik rumah menggenggam pelan tangan gadis itu. Perlahan ada yang melintas di benaknya. Ia sudah banyak membantu, meringankan beban Mirania dan Sudiman selama mereka berdua tinggal di kontrakan itu. Tapi kali ini, ia sendiri sedang dalam kesulitan. Ada hal yang mendesaknya untuk menerima orang lain sebagai penghuni baru kontrakannya. Ia pun meminta kepada Mirania sehalus yang ia bisa.
"Seharusnya, kan, seminggu lagi kamu pindah," ucapnya dengan suara terbata-bata. "Tapi ... ma-maafkan saya, ya. Bisakah kamu mengosongkan rumah ini Jumat besok?"
"Apa? Jumat besok?" ulang Mirania. Itu ... tiga hari lagi.
Mirania tercenung. Ia ingin membujuk si ibu agar memberinya waktu lebih lama. Tiga hari terlalu cepat untuk mengurus segalanya. Ia tidak siap, dan semestinya ibu pemilik rumah juga tidak setega itu terhadapnya.
"Saya sudah mencari cara lain, tapi tidak ada yang bisa saya lakukan kecuali ini," imbuhnya.
Sebagai orang yang dekat dengannya, Mirania tahu betul kesempitan yang juga wanita itu alami. Anak lelaki satu-satunya sedang menjalani pengobatan di rumah sakit yang ada di kota. Ia butuh banyak uang untuk itu. Uang yang sekarang sudah ia dapatkan dari orang lain. Mereka adalah sepasang suami-istri yang baru dikaruniai seorang anak. Bayi itu bahkan masih dalam gendongan ibunya yang hangat. Belum bisa bicara apalagi berjalan.
Mirania melihatnya. Tadi mereka, sepasang suami-istri itu, keluar dari rumah di seberang jalan dan kini sedang berdiri di pelataran. Di dekat motor tua yang terparkir dekat pohon rambutan. Lalu satu per satu dari mereka mengangguk sopan ke arah gadis itu. Mirania membalasnya dengan anggukan yang sama.
"Bagaimana, Ran? Bisa, kan?" tanya ibu itu lagi.
"Baik, Bu. Kalau begitu lusa saya akan ke rumah Ibu dan mengembalikan kunci rumah ini," balas Mirania dengan sakit yang tertahan.
"Terima kasih, ya. Semoga secepatnya kamu mendapatkan tempat tinggal baru."
Ia hanya tersenyum getir menjawabnya. Sebentar kemudian, ibu pemilik rumah pamit pulang. Hendak menyalami dua orang itu sebelum mereka pergi. Sedangkan gadis yang masih mematung di depan pintu ini, sudah harus mengosongkan rumah tiga hari lagi. Kosong, artinya siap untuk ditempati kembali. Maka bukan lagi tiga hari ke depan yang sampai di benaknya, melainkan lusa. Dua hari yang akan tiba ia sudah harus mendapatkan tempat baru.
Lusa. Lusa. Lusa ....
Ia mengernyit kesal. Sebetulnya saat mengatakan hal itu, belum terbayang sedikit pun apa yang akan ia lakukan nanti. Di mana ia akan tinggal? Bagaimana ia akan pindah? Mirania benar-benar tidak tahu. Dalam ceruk hatinya, ia juga tidak ingin pindah. Bayangan buruk tentang betapa sulitnya mencari tempat tinggal baru segera muncul. Ia takut. Tapi ia lebih takut jika seorang bayi yang merasai kesulitan itu.
Usai mengobrol, Mirania segera menutup pintu. Lantas melemparkan tubuhnya ke atas kasur. Ia lelah. Tubuhnya lemas seketika. Ia seperti kehilangan tenaga, bahkan untuk tidur. Pikirannya kalut dan ia tidak bisa memikirkan apa-apa lagi. Di saat bersamaan, wajah Sudiman membayang penuh di pelupuk matanya. Wajah yang teduh, sekaligus mengingatkannya pada kehilangan yang menyakitkan. Dan sekarang, takdir memaksanya untuk menerima pada kehilangan yang lain.
Bersambung ....
💙Selamat membaca. ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirania [Segera Terbit]
Romance"Udah tadi, Mang?" tanya Sakti sambil ikut mengangkat barang. "Eh, dateng-dateng malah ngagetin. Nggak, baru aja nyampe." "O ...," ucapnya lagi. "Terus mana neneknya?" Asep menoleh tepat ketika Mirania telah sampai di samping mereka, hendak lewat...