Bab 8 Kangen

69 10 17
                                    

Jemuran datang bersama Sakti yang tidak memakai sepatu. Bajunya masih seragam kerja yang tadi. Ia hanya menggulung sedikit ujung celananya, sehingga tampak kakinya yang basah dan memakai sandal jepit.

"Kalau pagi biasanya di sebelah sini juga panas," terang Sakti tanpa Mirania bertanya. Ia meletakkan jemurannya yang besar ke sebelah kiri halaman, dekat tembok yang menampilkan reretak halus di permukaannya yang putih.

Mirania membantu memegangi jemuran itu sebentar dan berkata, "Makasih udah minjemin ini."

"Hm," balas lelaki itu singkat, tapi kemudian berubah panjang oleh pesannya yang manis. "Biarin aja jemuran yang itu, ya, jangan diapa-apain dulu. Biar besok aku bantu bersihin, kalau udah nggak repot."

Ia sengaja memberi ketidakpastian dalam ucapannya barusan, agar Mirania tidak merasa sungkan. Meski sesungguhnya repot tidak repot, ia akan tetap menolong Mirania yang tampaknya sedikit kesusahan membenahi kekacauan di rumahnya.

Mirania mendongak. Dilihatnya awan putih sedang bergerak, memberi bentuk-bentuk yang indah di langit. Namun, keindahan itu masih kalah menarik dari rumah Sakti yang bagus. Mirania tidak sedang mengagumi rupa bangunannya, melainkan ingin mengetahui sesuatu yang lain dari rumah itu. Kemudian Sakti melihat mata Mirania yang memandang ke depan.

Ia ikut menoleh, lantas berucap santai untuk memangkas lagi rasa canggung yang tersisa di antara keduanya, "Aku sendirian di situ. Makanya kadang kalau libur kerja, aku ajakin Mang Asep ke rumah biar nggak sepi."

Mirania merasa kalau Sakti seperti mengetahui apa yang ia pikirkan. Namun, tak ia tanyakan itu. Ia tidak ingin dianggap lancang jika sampai salah bicara. Padahal biasanya di toko ia bisa mengobrol lama dengan pelanggan. Tapi sekarang berbeda, Sakti bukan pelanggannya dan ia tidak tahu harus berkata apa untuk membalas cerita yang barusan ia dengar.

Ia hanya bisa memperhatikan Sakti yang kembali bicara, "O iya, udah tau kan kalau di sana ada warung?"

"Yang pecel lele itu?" Kali ini sebuah tanya keluar ringan dari bibir Mirania. Seperti dedaunan kering yang jatuh tertiup angin.

"He-em. Kalau lagi males masak, beli aja di sana. Sambelnya enak, harganya juga murah ketimbang pecel lele di warung lain."

Sakti hampir merasa senang dengan ceritanya barusan, yang ia kira akan bisa membantu Mirania keluar dari masalahnya. Siapa tahu gadis itu juga seperti dirinya yang sering malas memasak. Apalagi kalau bisanya cuma membuat nasi goreng, yang hambar, dan agak gosong. Sehingga hanya sedikit saja bagian dari nasi goreng itu yang bisa masuk ke mulut. Kalau dengan membeli makanan di luar bisa mengenyangkan perutnya, terlebih rasanya enak dan makanan itu mudah didapatkan, kenapa repot-repot memasak sendiri? pikir Sakti. Mirania pun terkadang juga begitu. Hanya saja, ia tidak suka ikan lele. Tak peduli seenak apa pun sambalnya, ia tidak akan beli. Kecuali di warung itu ada lauk lain yang ia suka, mungkin ia akan berubah pikiran.

Sebetulnya Mirania juga suka makan ikan. Tapi jenis ikan lain, seperti mujair, ikan pindang, tongkol, atau gurame. Yang terakhir itu pernah ia makan saat Sudiman membawa pulang dua ekor gurame merah pemberian temannya. Sudah lama sekali, dan sekarang, ia akan pikir panjang kalau mau membeli ikan itu sekalipun sangat ingin memakannya lagi. Daripada uangnya habis untuk membeli ikan mahal, lebih baik dipakai belanja yang lain.

Mirania suka memasak, dan memasak sendiri lauk yang ia makan bisa menghemat pengeluaran. Mendengar itu Sakti lantas berkomentar, "Enak, ya, kalau pintar masak. Bisa makan enak terus tiap hari."

"Kamu mau?" tanya Mirania, yang langsung membuat Sakti menoleh. Menatap lagi wajah si gadis manis yang bersih dari jerawat. Ah, wajah inilah yang tadi menganggunya saat bekerja.

Sakti tercenung sejenak, lalu bertanya apakah sekarang Mirania sedang menawarinya untuk makan bersama. Gadis itu menggeleng. Bukan makan bersama, tapi memasakkannya sesuatu yang enak. Tidak setiap hari, atau seinginnya Sakti saja agar tidak bosan.

"Terus kalau sudah matang, aku yang ambil ke sini?" Sakti bertanya sambil membayangkan bagaimana kalau tetangga-tetangga mereka tahu ia sering menyambangi Mirania di rumah kontrakannya. Bukannya kenyang makan, malah kenyang gunjingan.

"Aku bisa naruh makanannya di atas pagar kalau kamu mau."

Mirania seperti orang aneh yang sedang ngelantur, tapi lebih aneh lagi Sakti. Lelaki itu langsung setuju. Bahkan mengingatkan Mirania tentang sesuatu. Agar makanan itu tidak kelamaan di luar, ia harus cepat memberi tahu. Dengan begitu Sakti bisa cepat juga keluar.

"Ini nomorku. Kamu bisa chat aku, buat ngasih tau kalau makanannya udah kamu taruh di depan," jelasnya meminta Mirania agar menyimpan nomor telepon yang ia catat di selembar kertas milik si gadis. Ia tidak mau Mirania merasa perlu membalas kebaikannya soal jemuran. Tapi ia senang bisa menjumpai Mirania dengan obrolan yang lebih santai dari perjumpaan mereka yang pertama. Ditambah lagi ada hal yang akan membuatnya dekat dengan gadis itu.

"O iya, kalau jemurannya tidak dipakai taruh aja di samping situ."

Mirania mengangguk pelan. Setelahnya, Sakti berjalan cepat menuju rumahnya. Bersamaan dengan gerimis yang turun membasahi halaman rumah mereka.

☘☘☘

Hujan yang tidak jadi turun memunculkan udara panas, dan nyamuk-nyamuk yang tadinya tidak ada, kini beterbangan di kamar Mirania. Lengannya pun gatal akibat gigitan nyamuk itu.

Tak mau digigit lagi, ia pun beranjak bangun. Mengobrak-abrik isi kamar untuk mencari obat nyamuk bakar miliknya. Seingat Mirania, sepulang kerja tadi ia meletakkan benda itu di atas meja. Tapi tidak ada, bahkan juga di dalam laci yang penuh oleh buku-buku. Yakin kalau hanya lupa menaruh ke tempat seharusnya, ia pun beralih ruangan. Dicarinya obat bakar itu di lemari kayu yang ada di kamar belakang. Tempat di mana ia menyimpan semua barang milik Sudiman. Di lemari itu pulalah tanpa sengaja ia menemukan sesuatu, foto Lusi dan Sudiman yang masih bagus. Kendati sedikit berdebu.

Mirania lantas menutup kembali lemari dan membawa foto itu ke kamarnya. Tak ia hiraukan lagi nyamuk yang masih mengganggu.

"Rani kangen, Yah, Bu ...," ucapnya dengan perasaan yang tiba-tiba berubah. Dalam sekian menit yang terasa sunyi, sangat sunyi, hatinya luka kembali.

"Ayah sama Ibu kangen Rani juga nggak?" sedikit terbata suara itu keluar dari bibirnya. Bibir yang gemetar karena tangis, dan tangis yang jatuh karena rindu. Lantas sambil mengusap pelan foto, Mirania mengatakan kepada Sudiman dan Lusi muda betapa ia takut sekali saat ini. Semestinya ia sudah tenang karena telah memiliki tempat untuk tinggal. Tapi sepi yang ia rasakan sejak Sudiman pergi, telah membuat gentar dirinya yang sebatang kara.

Rasa takut itu sekarang membuat jantungnya berdenyut nyeri, dan sebelum perasaannya kian memburuk, ia bergegas membaringkan tubuh di atas kasur. Lalu memejamkan mata dengan tangan yang memegang erat foto. Membiarkan malam yang tak sedingin biasanya, menghanyutkan ia dalam mimpi yang mempertemukannya dengan Sudiman dan Lusi.

Bersambung ....

Hai, kamu. Makasih ya udah baca 🌼(*^^*)//🌼
Makasih juga vote-nya 💚

Mirania [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang