Biasanya Sakti menatap agak lama jika mereka bertemu. Tapi tadi singkat saja, dan bisa Mirania lihat betapa pemuda itu seperti ingin segera masuk ke rumahnya. Barangkali ia sangat capai, karena habis berkendara jauh. Mirania menduga-duga, dan tepat ketika Sakti sudah hilang dari hadapannya, ia merasakan suatu getaran. Getaran itu berbeda dengan getaran yang pernah ia rasakan sebelumnya. Sebab ada panas yang menjalar ke dalam dadanya. Sehingga ia hirup udara panjang-panjang, beberapa kali di sepanjang perjalanan menuju toko. Dengan dibonceng Alvin.
Hari yang pendek. Mirania merasa ia mengalaminya lagi. Saat-saat di mana banyak hal berlalu dengan cepat. Tak peduli apakah ia telah siap menghadapinya atau belum. Jika dulu hari pendek itu terjadi setelah Rani meminta ia mengosongkan rumah kontrakan, kali ini kepulangan Saktilah penyebabnya. Doa yang spontan ia panjatkan, yang kemudian ia menyangsikan doa itu--benarkah ia sungguh ingin terjadi?--telah Tuhan kabulkan. Ia menarik napas dan mengembuskannya pelan. Setelah ini, jika ia mendapati tatapan Sakti yang singkat lagi seperti tadi, apa yang akan ia lakukan? Sebetulnya begitu lebih baik, kalau saja tak ada panas yang melesak ke hatinya. Lebih-lebih saat langit sedang mendung begini. Seakan mengisyaratkan kalau sesuatu yang timbul dari dalam tubuhnya, sama sekali tak ada kaitannya dengan cuaca. Pun udara luar yang mendadak berubah dingin. Agaknya angin sedang ingin berlarian, setelah siang yang terik pergi bersama awan-awan putih. Ke lengkung langit yang lain.
"Wah, kayaknya bentar lagi hujan," kata Alvin sesampai mereka di toko yang penjualnya menggendong seorang bocah laki-laki. "Kita cari jas hujan dulu, ya. Soalnya aku cuma bawa satu."
Mirania mengangguk. "Udah?" tanyanya kemudian saat Alvin baru selesai bicara dengan penjual itu.
"Udah, yuk."
Mereka bergantian menaiki motor. Di jok bagian belakang, Mirania memegangi rak bunganya. Ia berdirikan rak itu di sisi kanan. Agar berat kayu bersusun yang ia pegang tak sampai membuat pegal, bagian bawahnya ia tumpangkan ke footstep dan sebelah kakinya menindihi salah satu sisi kayu itu.
"Kamu nggak papa, kan, Ran?" Di jalan menuju rumah Mirania, hujan turun. Udara jadi semakin dingin dan Alvin mulai cemas. Ia pun berencana meminggirkan motornya begitu tampak ada tempat untuk berteduh. "Kita berhenti di sana aja, ya?" tawarnya sembari menunjuk sebuah pos yang hendak mereka lewati.
Pikir Alvin lebih baik menunggu hujan agak reda, agar tangan Mirania juga tidak pegal. Mereka pun bisa lanjut berkendara tanpa diguyur seperti ini. Sebab air yang jatuh memang lumayan deras. Tapi Mirania menolak dengan alasan yang tak bisa dibantah. "Terus aja nggak papa, Vin. Bentar lagi, kan, kita sampe. Lagian aku juga nggak capek, kok, meganginnya."
"Beneran?"
"He-em," sahutnya, lalu mengingatkan Alvin agar tidak usah mengebut. Pemuda itu menurut. Ia lajukan terus motornya sampai mereka tiba di rumah Mirania.
Keduanya lantas tersenyum kecil melihat hujan yang merintik ringan. Sudah tak sederas tadi saat mereka berboncengan pulang. Untung aja masih ada ini, batin Alvin sambil melipat jas hujan yang Mirania kembalikan padanya. Bagaimanapun senangnya ia karena bisa mengajak Mirania pergi berdua, tetap ada sesal yang muncul. Sebab itulah, seraya meletakkan rak bunga di pojokan teras, ia berkata, "Maaf ya, Ran. Gara-gara aku, kamu jadi ujan-ujanan."
Ujan-ujanan. Bukan kehujanan, ulang pemuda itu dalam diam. Sedikit heran sebab apa yang sudah ia susun di kepala, berbeda dengan yang keluar dari mulutnya. Sebab kata itu pula seperti sedang mengajak ia bermain-main dengan perasaannya sendiri. Bukankah terkesan tak serius kata itu? Lalu penyesalannya bertambah tinggi. Namun tanpa diduga, gadis yang ia pikir akan bermuka kesal usai mendengar ucapannya itu, malah tergelak pelan.
"Nggak papa, Vin. Udah lama juga nggak ujan-ujanan," balasnya, lalu berterima kasih. Sebagaimana pemuda di dekatnya saat ini, Mirania pun sama sungkan. Namun tak ia tunjukkan agar Alvin senang. Merasa bahwa kebaikannya membelikan Mirania sebuah rak bunga yang bagus, adalah menyenangkan. Meski harus berbasah-basahan. Lagi pula, cuma sedikit tubuh mereka yang terkena air.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirania [Segera Terbit]
Romansa"Udah tadi, Mang?" tanya Sakti sambil ikut mengangkat barang. "Eh, dateng-dateng malah ngagetin. Nggak, baru aja nyampe." "O ...," ucapnya lagi. "Terus mana neneknya?" Asep menoleh tepat ketika Mirania telah sampai di samping mereka, hendak lewat...