Sakti bekerja di sebuah toko roti, sebagai sopir yang mengantar pesanan para pelanggan. Dalam sehari, ia bisa mengantar roti sampai tiga kali jika pesanan sedang ramai-ramainya. Semestinya, dan seperti yang biasa ia lakukan, ia akan beristirahat jika semua roti dalam mobil box telah rampung diantar. Ia senang kalau memiliki jam santai yang lumayan lama sembari menunggu waktu antar berikutnya tiba. Tapi hari ini rasanya ia ingin pulang cepat. Kasur yang empuk, selimut yang hangat, dan secangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap panas, adalah kenyamanan yang paling ingin ia temui sekarang. Di rumahnya yang sepi. Sebab hanya ia yang tinggal di sana.
Di kampungnya tidak hanya ia yang seperti itu. Berjarak lima rumah dari bangunan yang ia tinggali sejak lama, seorang wanita kaya juga hidup seorang diri. Dua anaknya telah menikah, dan mereka semua telah hidup jauh bersama keluarga kecil masing-masing. Di ujung jalan yang bersebelahan dengan warung "Pecel Lele Kang Di", juga tinggal seorang lelaki yang merantau dari Kota Malang. Ia kos di situ, sendirian, karena pemilik rumah memang hanya menyewakan satu kamarnya yang ada di depan untuk ditempati oleh orang lain. Lalu tetangga barunya yang cantik, juga tak berteman siapa pun di rumah yang ia tinggali.
Rania, gumam lelaki itu dalam diam.
Tiba-tiba Sakti mengingatnya, dan tiba-tiba juga ia menyukai dirinya yang seperti ini. Ia yang hidup sendiri di rumah, seperti Mirania.
Sedang apa, ya, dia sekarang? Sakti bergumam lagi dalam hati. Mirania baru sehari tinggal berdekatan dengannya. Jadi ia belum tahu banyak tentang gadis itu. Mungkin nanti kalau mereka sudah sering mengobrol, ia akan bisa mengenal Mirania lebih dalam.
L-e-b-i-h-d-a-l-a-m!
Sakti mengerjap cepat. Di antara keseruan teman-temannya yang sedang berbincang, ia mencoba membaur agar segala apa yang berkaitan dengan Mirania lekas enyah. Hanya saja, ia kemudian sadar bahwa dalam keinginannya itu pun sudah ada nama si gadis yang terus ia ingat.
"Apa dia udah kerja, ya?" Kali ini tanya itu meluncur pelan, tapi dari bahu yang saling menempel, teman-teman Sakti mendengarnya sebagai suara yang lumayan keras.
Mereka semua mendengarnya, dan sontak, salah satu dari mereka yang bertubuh gemuk menyahut, "Siapa?"
"Hah?" balas Sakti.
"Kok, malah hah?"
"Hm ... kayaknya ada yang lagi kasmaran, nih," celetuk lelaki lainnya.
"Cewek mana?"
"Eh, kalau nggak salah ada cewek namanya Fania. Itu, lho, yang pernah nemuin Sakti di jalan depan sana."
"Bener kamu lagi mikirin dia?"
Sakti diam saja. Pikirnya, menjawab pertanyaan mereka hanya akan menambah runyam keadaan. Alih-alih percaya dengan apa yang ia katakan, bisa-bisa mereka makin gencar menggoda. Ia juga merasa kalau mereka semua itu sok tahu. Adalah aneh kalau "hah?" yang keluar dari mulutnya, dianggap sebagai tanda seseorang sedang kasmaran.
Konyol. Dua hal itu sama sekali tidak saling berkaitan. Lebih aneh lagi, kata kasmaran itu sendiri tidak jelas berasal dari mana. Tadi ia tidak senyum-senyum sendiri. Juga tidak sedang bermain ponsel untuk membalas chat seorang gadis. Atau apa pun yang biasa tampak dari seseorang yang sedang kasmaran. Lalu bagaimana bisa ia dianggap seperti itu?
Hah, yang benar saja! kesal Sakti, yang rasanya ingin ia tumpahkan dengan keras agar teman-temannya itu mendengar. Namun rupanya, ia kalah cepat. Sebelum Sakti mengelak, matanya telah lebih dulu berbicara.
"Coba tebak," kata temannya sambil menggantungkan sebelah lengannya ke bahu Sakti. "S dekat sama?"
"T?" sahut si teman berkacamata. Iseng menjawab pertanyaan aneh yang membuat Sakti bertambah kesal.
"Tuti!" Yang lain ikut berkomentar. Suaranya bahkan lebih keras, seolah yakin kalau tebakan ngawurnya itu benar.
"Itu istrimu."
"Tania."
Sakti menggeleng. Bermaksud menghentikan kekonyolan yang sedang dihadapinya.
"Bukan. Kalau gitu ... oh! Mungkin Tina?"
"Hei! Memangnya yang dekat sama huruf S cuma T?" Si lelaki bertopi kembali bicara. Sengaja memancing Sakti agar berterus terang, atau setidaknya keceplosan bicara.
"O iya, benar juga. Kalau gitu R."
Sakti menggeleng lagi, tapi dalam sekian detik yang terlambat. Sebab sebelum kepalanya bergerak ke kanan-kiri, cerlang matanya telah lebih dulu terlihat oleh teman-temannya yang usil. Ia tak ubahnya bocah yang kepergok mencuri sesuatu.
"O ... jadi inisialnya R, ya?" Sekarang kesok-tahuan mereka meningkat.
Sakti menghela napas. Ia tidak mau ada yang memergokinya lagi. Terlebih dari dalam hatinya sendiri timbul rasa heran, kenapa ia teringat terus dengan tetangga barunya itu? Apa mungkin Mirania yang cantik juga mengingat namanya?
Ia penasaran. Lalu menyerah untuk mengenyahkan Mirania dari kepalanya.
☘☘☘
Setelah mandi, salat, dan makan, Mirania bergegas ke halaman. Ia cabuti rumput-rumput di sana, yang tingginya mulai mengganggu. Semua rumput liar itu kemudian ia masukkan ke tong sampah yang ada di depan pagar. Mirania tidak perlu khawatir sampah-sampah yang ia buang barusan akan menumpuk, karena nanti akan ada tukang sampah yang lewat dan membantunya membereskan barang-barang kotor tersebut.
Mirania lega, tapi wajahnya berubah cemas begitu menyadari kalau jemuran yang ada di sebelahnya reyot. Bambu penyangga jemuran itu mengeropos. Sehingga berdiri agak miring.
"Duh ... kenapa taunya nggak dari kemarin, sih? Mana lagi malas keluar," keluh gadis itu. "O iya, apa minta tolong Mang Asep aja ya buat benerin?"
Mirania menimang-nimang. Membetulkan jemuran dengan mengganti penyangganya, berarti membutuhkan bambu baru. Sementara dari yang ia perhatikan sejak pindah kemarin, tidak ada pohon bambu yang tumbuh di sekitar rumahnya.
Ia pun memutar pandang. Ditengoknya samping kanan rumah yang masih longgar, merupa jalan setapak yang kosong. Mirania berpikir mungkin untuk sementara waktu, ia bisa menjemur di situ. Tapi saat ia akan menancapkan paku ke dinding, dan memasang seutas tali di sana, tiba-tiba matanya melihat ke atas.
Kalau tidak terkena panas matahari bagaimana bajunya bisa kering? Ia menghela napas. Sebelah rumahnya itu memang kosong, tapi tidak bisa ia pakai untuk menjemur. Jadi ia harus memikirkan cara lain.
"Udah pulang, Mas!"
"Iya Pak, mari ...."
Suara keras dari luar rumahnya membuat Mirania menoleh. Sakti. Ternyata ia baru pulang bekerja.
Mirania tidak bermaksud ingin tahu apa yang sedang lelaki itu lakukan. Tapi ketika ia mau kembali ke dalam rumah, Sakti memanggil sambil berjalan menghampiri.
"Kebetulan di rumah ada dua jemuran. Kalau mau, kamu bisa pakai satu," tawar Sakti.
Mirania ingin menolak. Tapi bunyi "krak!" yang mengagetkan keduanya, membuat gadis itu lekas membalas, "Emm ... iya, kalau memang nggak dipakai, aku mau."
Sakti tersenyum, lantas bergegas mengambil jemuran itu untuk diberikan kepada Mirania.
Bersambung ....
(´✪ω✪')♡(´✪ω✪')
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirania [Segera Terbit]
Romance"Udah tadi, Mang?" tanya Sakti sambil ikut mengangkat barang. "Eh, dateng-dateng malah ngagetin. Nggak, baru aja nyampe." "O ...," ucapnya lagi. "Terus mana neneknya?" Asep menoleh tepat ketika Mirania telah sampai di samping mereka, hendak lewat...