Matahari seperti ingin mengalirkan hangat yang meresap. Sehingga rambat sinarnya masih Mirania dapati begitu ia berjalan memasuki rumah. Senyumnya pun mengembang ketika tahu kalau semua baju yang ia jemur di halaman belakang telah kering. Padahal sebelum berangkat kerja tadi ia merasa gamang. Khawatir kalau hujan datang meski langit tampak ceria. Cuaca memang begitu. Kadang ia berubah cepat tanpa disangka-sangka. Langit yang cerah bisa saja menyimpan banyak air mata di tubuh awan, dan air mata itu, jika sudah sukar ditampung bakal jebol juga. Kadang hujan memang gesit turun, seolah tak peduli pada apa pun yang masih ingin merasai hangat matahari. Hujan yang seperti itu adalah hujan yang menggelisahkan hati Mirania, sebab hujan seperti itu jugalah yang menggenangi matanya ketika Sudiman pergi dan tak mungkin kembali.
Kalau sore yang cerah ini ia temui lagi besok, maka Mirania akan bisa melakukan banyak pekerjaan. Bukan di toko, melainkan di rumah ini. Barang-barangnya yang ada di kamar, dapur, dan kamar mandi, masih harus ia tata ulang. Lebih tepatnya dirapikan ke dalam wadah-wadah agar mudah dipindahkan.
Ia pun bergegas. Diangkatnya semua baju yang tergantung di jemuran, melipatnya, lalu membawanya masuk ke kamar. Baju-baju itu kemudian ia masukkan ke dalam tas jinjing tanpa disetrika terlebih dahulu. Sedangkan baju yang tersusun rapi di dalam lemari, ia masukkan ke dalam tas lain yang lebih besar. Bercampur dengan seprai bersih, sarung-baju milik ayahnya, dan beberapa barang berukuran kecil yang tak kalah penting. Ia juga menyimpan peralatan memasak, peralatan makan, dan sebagainya ke dalam kardus. Sedangkan untuk barang yang ukurannya besar, seperti kasur, kompor, TV tabung 15 inch, meja-kursi, rak piring, bak untuk mencuci, dan lemari plastik lima susun—yang telah ia bongkar lebih dulu—langsung ia letakkan dekat kardus-kardus yang sudah penuh. Semuanya ia taruh-pindahkan ke ruang tamu.
Sekarang di kamarnya hanya ada sebuah kasur untuk ia pakai tidur nanti malam, beberapa setel baju, dan sajadah-mukena yang tersampir di gantungan dekat jendela. Sedangkan sabun, sikat gigi, dan pasta gigi kecil ia biarkan ada di tempatnya, untuk ia pakai mandi besok.
Rampung sudah sebagian pekerjaannya. Ia juga sudah mandi dan salat Isya selepas azan. Sekarang pukul 7.28. Mirania merasa sangat lelah, tapi ia tidak bisa tidur. Padahal besok pekerjaan yang lebih berat sudah menunggu. Ia pun harus bangun pagi untuk menyiapkan kepindahannya.
Pindah ke tempat baru. Tapi bahkan, ia belum tahu pasti di mana itu. Mirania letih. Seketika dadanya berdenyut nyeri.
Sepanjang hidupnya, tak pernah ia segusar ini. Rasanya kepalanya seperti menyusut dan kering, sehingga apa pun yang ia pikirkan hanya menemui jalan buntu. Ia butuh seseorang untuk membantunya, lalu di tengah-tengah memikirkan hal itu wajah Titalah yang muncul. Tita yang baik. Tita yang selalu membantunya, dan yang tak mungkin Mirania usik lagi ketenangannya saat ini. Ah, tiba-tiba saja Mirania merasa telah menjadi teman yang menyebalkan, yang bisanya cuma merepotkan gadis itu saja. Apa aku hubungi Tita aja, ya? Setengah kesal ia pukul kasur sponnya, dan saat itu juga kejengkelannya bertambah. Sekarang bukan hanya "teman yang menjengkelkan", tapi ia juga seperti teman yang tak tahu diri.
Kalau saja ada keluarga yang bisa ia mintai tolong, mungkin rasanya tak seberat ini. Sayangnya Mirania tak memiliki kerabat yang tinggal di kota ini juga kecuali Om Yo, adik ayahnya yang gila wanita.
Berminggu-minggu yang lewat, Om Yo ikut mengantar jenazah Sudiman ke pemakaman dan menawari keponakannya untuk tinggal bersama. Tapi dengan alasan yang tepat, dan keberuntungan seorang gadis, Mirania berhasil menolak. Lelaki itu memang memiliki rumah yang bagus, yang kalau Mirania mau tinggal di sana maka ia tak perlu lagi memikirkan soal makan, tagihan listrik dan air, dan keperluan mahal lainnya. Tapi siapa peduli kalau itu artinya kau tinggal dengan merelakan dirimu sepenuhnya ke dalam sana—rumah itu dan pemiliknya. Seolah kau miliknya, lebih-lebih (sekali lagi) lelaki itu gila wanita. Dan Mirania seorang wanita. Meski keduanya berkerabat, ia tetaplah wanita. Hah! Membayangkannya saja sudah membuat Mirania bergidik ngeri. Tidak, ia tidak mau dan akan terus menjaga jarak dengan adik ayahnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirania [Segera Terbit]
Romance"Udah tadi, Mang?" tanya Sakti sambil ikut mengangkat barang. "Eh, dateng-dateng malah ngagetin. Nggak, baru aja nyampe." "O ...," ucapnya lagi. "Terus mana neneknya?" Asep menoleh tepat ketika Mirania telah sampai di samping mereka, hendak lewat...