Jalan itu tak seberapa lebar. Sebelum mengujung, salah satu sisinya terpotong oleh tanah lain bercampur kerikil yang lebih panjang ke selatan. Dari jalan itulah biasanya tukang bakso keliling muncul, menjajakan dagangannya dari satu tempat ke tempat yang lain. Penjualnya masih muda, ia suka berhenti di pertigaan yang bersebelahan persis dengan rumah Mirania. Bunyi kentungannya yang khas sering menarik kaki anak-anak tetangga keluar rumah. Kalau siang sekitar pukul 1 dan sore sekitar pukul 4 ada tukang bakso yang lewat, malamnya giliran penjual mi ayam yang berkeliling. Bersama putranya yang sama kurus, bapak penjual itu pergi mengais rezeki. Sesekali mereka menepi untuk menanti pembeli datang. Salah satu tempat yang sering mereka singgahi adalah rumah Sakti. Mungkin jalan masuk ke halaman yang lumayan lebar terasa pas bagi mereka untuk berhenti. Lebih-lebih dari situlah si penjual bisa leluasa melihat ke segala arah, lantas sigap menyalakan kompor yang ada di dalam rombong kalau ada pembeli yang datang menghampiri.
Itu adalah sebagian yang Mirania kenal dari kampung ini sekarang, setelah sebulan delapan hari menjadi tetangga Sakti. Ia mulai terbiasa dengan keramaian kampungnya yang baru. Segala hal tentang rumahnya juga mulai ia kenali. Seperti jendela kamarnya yang suka menutup sendiri jika disenggol angin, sehingga ia harus mengaitkan seutas tali yang kedua ujungnya terikat erat dengan daun jendela dan tembok luar rumahnya. Mirania juga sudah bisa mengatasi kran air yang putarannya aneh. Kalau ia mau airnya keluar deras, maka ia putar separuh kran itu hingga berada di tengah-tengah. Sebab memutarnya penuh sampai ke kiri, malah membuat airnya malas turun. Air yang demikian tentu agak merepotkan kalau ia sedang terburu-buru dengan pekerjaan rumahnya yang menumpuk banyak. Karena itulah Mirania harus bisa mengatur waktunya dengan baik.
Pagi ketika matahari belum muncul, biasanya udara seperti ingin mengajaknya berlama-lama di kamar dan menyembunyikan tubuhnya di balik selimut yang hangat. Tapi air di pagi yang masih buta begitu, justru suka deras turun meski Mirania terkadang lupa memutar penuh krannya sampai ke kiri. Sebab itulah ia senang mencuci selepas subuh. Biasanya sembari mengucek baju-baju kotor di kamar mandi, ia alirkan juga air yang ada di dapur. Untuk memasak dan mencuci piring. Selesai mencuci, ia jemur baju-baju itu di halaman depan. Itu kalau ia yakin matahari akan segera muncul, dan mungkin, akan bersinar terik. Sebaliknya, jika langit tampak muram--yang bukan karena sisa gelap malam, melainkan tanda hujan akan datang--maka ia baru akan menjemur kalau jam kerja hampir tiba dan bisa ia lihat awan-awan putih sedang berarak riang di atas sana.
Mirania sengaja menyisakan sore untuk beristirahat. Jadi kalaupun pekerjaan rumahnya masih ada yang menunggu untuk diselesaikan, bukanlah yang menguras betul tenaganya. Mirania paham, dirinya yang sekarang bukanlah dirinya yang dulu. Ia yang sekarang adalah ia yang harus pintar menjaga badan. Ia tidak boleh menjadi gadis yang mudah sakit. Sebab ia tak berteman siapa pun di rumah, dan jika jatuh sakit, maka bisa dibayangkan akan seperti apa hari-harinya nanti. Hal yang seharusnya kecil dilakukan, mungkin akan menjadi berat. Belum lagi kalau dari sakitnya itu timbul kekacauan besar yang sukar dihadapi oleh diri sendiri.
Tinggal di antara orang-orang yang baik, tentu menyenangkan. Tapi tetangga-tetangganya yang baik itu tetaplah orang lain. Bukan kerabat yang bisa dengan entengnya ia mintai tolong. Seandainya pun bisa, ia tetap tak mau itu terjadi.
"Selesai!" pekik Mirania senang seusai menjemur baju, seprai, dan handuk. Sebelum menjemur tadi, ia juga sudah menyapu seluruh isi rumah. Sekarang tinggal menuju kamar mandi, lalu bergegas sarapan.
Hari ini sebenarnya ia sudah memasak tumis kangkung, tempe goreng, dan sambal terasi. Tapi urung ia makan, sebab mendadak Maya mengiriminya bubur. Fania yang mengantarnya ke rumah dengan menaiki sepeda motor.
Gadis itu tampak bersemangat. Padahal ia bilang hari ini ia tidak ada jadwal ke kampus. Dari cerita Maya tempo hari, Mirania juga ingat benar bagaimana susahnya menyuruh gadis itu ke sini, ke rumahnya yang lama. Tapi yang Mirania lihat sekarang, wajah Fania sama sekali tak memperlihatkan apa yang pernah Maya keluhkan padanya.
Gadis itu terlihat senang bisa mengantar sendiri bubur untuk Mirania. Bahkan dengan sengaja berpesan agar kalau butuh apa pun, yang mungkin dimiliki Fania atau Maya, jangan sungkan-sungkan untuk memintanya. Biar nanti ia akan antarkan seperti tadi.
"Pulang kerja nanti, aku ke sini lagi, ya?" ucap Fania, yang dibalas anggukan oleh sahabatnya.
Fania yang aneh. Tanpa ia bertanya, pasti sudah tahu kalau Mirania tak mungkin melarangnya datang. Selain karena ia pemilik rumah ini, kedatangannya juga akan menghilangkan sepi yang Mirania rasai. Kenapa harus menolak kalau dengan bertemu lagi membuat hati kecilnya senang? Sudah cukup lama sejak seepeninggal Sudiman, mereka tak saling bercerita. Jadi tidak alasan bagi Mirania untuk menolak disambangi. Lagi pula hari ini ia tidak merencanakan apa pun. Mungkin nanti sepulang kerja, ia hanya akan membereskan sisa pekerjaan rumahnya yang ringan.
"Bilangin makasih, ya, ke Imay. Salam juga buat Nenek," pesan Mirania saat Fania pamit pulang.
Gadis itu mengangguk. Lantas, setelah menyapa Sakti yang kebetulan lewat, ia lekas pergi. Mendahului Mirania yang keluar dengan berjalan kaki. Menuju jalan raya untuk kemudian menaiki angkot berwarna biru yang akan membawanya ke tempat kerja.
Sementara siang hari ketika Mirania sibuk melayani pembeli di tempat ia bekerja, Sakti dipusingkan oleh kemacetan jalan. Apalagi hari ini head driver yang biasa menemaninya mengantar pesanan, tidak masuk bekerja karena sakit. Ia pun jadi bosan sendiri. Sudah cukup lama ia di jalan dengan mobil yang bergerak lambat. Untungnya pesanan sudah sampai di tujuan, dan sekarang ia dalam perjalanan kembali ke toko roti.
Panas udara semakin menjengkelkan hatinya. Ia bukan hanya berkeringat, tapi juga merasa haus sebab lupa tak membawa minum tadi ketika berangkat mengantar pesanan. Sekian menit berlalu, dan saat Sakti melihat ada swalayan di pinggir jalan, ia tepikan mobil boksnya. Lalu turun sesegera mungkin.
"Potnya, Nak ...," tawar lelaki tua yang rambutnya putih kepada siapa pun yang lewat di depannya.
Sakti mendengar itu dan langsung mendatangi si lelaki yang duduk dengan beralaskan koran. Di depannya tergeletak keranjang besar berisi pot bunga, bermacam ukuran yang terbuat dari plastik.
Di rumah, Sakti memiliki beberapa bunga yang sudah berpot. Ia merasa tidak perlu membeli pot lagi, tapi apa yang ia lihat dari lelaki itu membuatnya tak tega. Tak bisa ia bayangkan betapa susahnya si bapak memikul dagangannya, yang kelihatannya masih banyak dan mungkin belum ada yang laku itu, dengan tubuhnya yang ringkih.
Sakti menghela napas. Dikeluarkannya sesuatu dari dalam saku ketika ia telah berjongkok di depan lelaki itu.
"Berapaan, Pak?" tanyanya.
Bapak penjual pot mengangkat tangannya yang gemetaran, lalu berkata, "Yang ini sepuluh ribu tiga. Yang agak besar itu enam ribu per biji, kalau yang besar delapan ribu."
Sakti memilih beberapa pot, kemudian menyodorkan selembar uang kepada si bapak tua. "Kembaliannya simpan saja buat Bapak, ya," berkata pemuda itu dengan sopan.
Bapak penjual pot berterima kasih, dan Sakti pun bergegas pergi dengan membawa sekantong pot di tangannya.
Bersambung ....
(๑•ᴗ•๑)♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirania [Segera Terbit]
Romance"Udah tadi, Mang?" tanya Sakti sambil ikut mengangkat barang. "Eh, dateng-dateng malah ngagetin. Nggak, baru aja nyampe." "O ...," ucapnya lagi. "Terus mana neneknya?" Asep menoleh tepat ketika Mirania telah sampai di samping mereka, hendak lewat...