Chapter 6: Princess Andini

15 2 1
                                    

Kurang dari 3 hari dan Arman telah menerima laporan dari David tentang Danial.

"Danial dikirim ke New Zealand. Mereka Terima semua persyaratan dari kita untuk memutuskan semua hubungan dengan Danial. Satu-satunya yang mereka minta adalah mengirim Danial ke New Zealand. Setidaknya mereka tau anak mereka ada di mana.

Orang kita juga sudah ditugaskan untuk mengawasi Danial 24 jam penuh. Untuk memastikan kalau dia nggak akan buat masalah atau bahkan kembali lagi ke Indonesia"

"Kerja bagus. Sekarang loe boleh pergi." Arman memang tak segan memberi apresiasi apabila hasil kerja bawahannya memuaskan.

"Mau berapa lama loe ninggalin kantor?" Kali ini David berbicara dengan mode santai. Ia tahu benar menempatkan profesionalitas dan personalnya.

"Gue harus mastiin kondisi Andini dulu. Gue nggak akan bisa tenang ninggalin dia dalam kondisi kayak gini. 3 hari dan dia masih belum membaik. Dia cuma bangun dalam kondisi histeris dan harus dikasih obat penenang. Setelahnya dia bakalan tidur. Siklusnya berulang di situ. Gimana gue bisa tenang, Vid?"

"Andini itu gadis yang kuat, Man. Gue yakin dia bakalan kembali seperti dulu. Take your time. Urusan kantor biar gue yang urus. Loe nggak usah khawatir"

"Thanks Bro. Gue yakin loe selalu bisa diandalkan"

Arman menatap pilu wajah gadis belia di hadapannya. Berbagai rasa berkecamuk dalam benaknya. Marah, sedih, kecewa, menyesal, menjadi satu.

******

Setelah 15 hari, Andini benar-benar kembali membuka matanya. Pemandangan yang pertama kali ditangkapnya sungguh asing. Badannya sulit digerakkan, seakan tertimpa beban berat yang tak sanggup ia terima.

Andini benar-benar kehilangan memori tentang apa yang menimpanya hingga berakhir di dalam ruangan asing itu.

Matanya mengedarkan pandangan sejauh yang ia bisa jangkau namun nihil, tak ada apapun yang ia temukan. Bahkan suaranya pun kelu. Namun, suara gemericik air di kamar mandi setidaknya menyadarkan nya bahwa ia tidak sendiri.

Pintu kamar mandi perlahan terbuka menampakkan sosok seorang yang tidak asing baginya. Seseorang yang amat sangat ia rindukan.

"Andini,  kamu udah bangun?"

Entah bagaimana mendengar suara itu menghadirkan kenyamanan dan rasa lega yang teramat sangat di dalam hati Andini.

Arman bahkan hampir tak mempercayai apa yang ditangkap oleh kedua matanya. Ia memastikan kembali bahwa netranya tak salah. Ia setengah berlari menghampiri Andini.

"Andini, kamu benar-benar udah bangun? Alhamdulillah Terima kasih Ya Allah telah mendengar dia hamba"

"Kak, Kenapa Dini bisa di sini?"

"Nanti kakak jelasin yah. Sekarang kakak harus panggil dokter untuk cek kondisi kamu dulu."

Arman memencet sebuah bel di samping brankar Andini. Tak lama berselang, seorang dokter dan perawat memasuki ruangan itu. Arman tak membuang waktu mengambil meraih ponselnya dan menghubungi adik-adiknya.

Mendengar sang bungsu telah kembali membuka mata, kedua pangeran itu meninggalkan seluruh aktifitas mereka dan melaju menuju rumah sakit.

Ketika tiba, mereka mendapati sang bungsu tengah menampilkan senyum cerianya meski tak dapat menutupi keadaannya yang tentu masih sangat lemah.

"Heyyy, welcome back princess. Gimana kondisi kamu?"

"Dini baik kak. Tapi masih susah gerak."

"Yah habis kamu tidurnya kelamaan sih. Tau nggak kamu tidur berapa lama? 15 hari tau nggak?"

Netra Andini membulat sempurna? 15 hari? Apa yang terjadi padanya hingga tak sadarkan diri selama itu? Diam-diam ia mencoba mengingat namun nihil, tak ada satupun cuplikan yang muncul di benaknya.

"Kak, Kenapa Dini nggak ingat apa-apa? Kenapa Dini bisa nggak sadar selama itu?" Andini benar-benar ingin tahu apa yang terjadi pada dirinya, namun tak ada jawaban yang ia peroleh.

"Nanti kita cerita kalau kamu udah benar-benar pulih yah" Ucap Ammar menenangkan.

"Pasti masalah serius yah kak?"

"Udah lah nggak usah dipikirin dulu. Yang paling penting sekarang kamu bisa segera pulih"

Dalam keheningan itu, seseorang kembali memasuki ruangan dengan jas putih khasnya. Namun kali ini, Andini justru sumringah diiringi nafas lega ketiga kakaknya.

"Hy Andini. Gimana kabar kamu? Aku dengar kamu udah bangun jadi aku mampir ke sini ketemu kamu."

"Kak Layla praktek di sini? Andini udah baikan kok kak."

"Syukur deh kalau gitu. Kamu jauh lebih segar kelihatannya. Kalian kenapa? Kok pada diem?"

"Andini nanya kenapa dia bisa berakhir nggak sadarkan diri di sini selama 15 hari."

Layla mengernyitkan dahi setelah mendengar penjelasan Andri. Untuk memastikan kembali, ia mencoba menggali beberapa informasi dari Andini.

"Andini, kamu betul-betul nggak ingat kenapa bisa di sini?"

Andini menggeleng pasti membuat Layla semakin yakin dengan diagnosis nya.

"Untuk sementara kamu nggak perlu khawatir soal itu. Yang paling penting kamu fokus sama kesembuhan kamu. Kalau ada yang mau kamu cerita, kamu bisa hubungi aku kapanpun."

"Makasih ya kak."

"Sama-sama. Aku pamit dulu yah, aku ada praktek. Besok aku datang lagi."

"Kakak nggak usah repot-repot harus ke sini tiap hari."

"Nggak apa-apa kok. Kakak bakalan terus datang sampai kamu benar-benar sembuh"

Layla berlalu membiarkan ruangan itu kembali senyap sebelum akhirnya kembali dipecah oleh Andini.

" Kak, Dini mau makan Sushi"

"Kamu tunggu di sini biar aku beli" Andri segera pergi meninggalkan ruangan menyisakan Arman dan Ammar menemani sangat adik.

"Kak Arman, kak Ammar, maafin Dini yah. Selama Dini di sini pasti Dini ngerepotin kakak kan?"

"Kata siapa sayang? Kakak sama sekali nggak ngerasa direpotin kok"

"Kita di sini karena kita sayang sama kamu. Jadi, nggak ada istilah direpotin. Kamu nggak usah mikir macam-macam sayang."

"Mendingan sekarang kamu istirahat. Kakak sama kak Ammar mau ketemu dokter dulu. Ini HP kamu pegang. Kalau ada apa-apa hubungi kakak yah."

"Iya kak"

Netra Andini mengikuti kepergian kedua kakaknya. Sesaat setelah pintu ruangan itu tertutup, perasaan asing itu kembali menyergap Andini. Entahlah! Perasaan itu sulit diungkapkan. Rasa sesak, berdebar, gelisah, sakit, serta perasaan lain yang tak pernah ia rasakan sebelumnya berkecamuk menyergap dirinya.

Andini kehilangan kendali atas dirinya, perlahan lehernya tercekat, dadanya terasa nyeri, tangisannya tertahan, keringat mengucur ke seluruh tubuhnya.

Ia berusaha meraih ponsel yang ditinggalkan oleh Arman lalu mencoba melakukan panggilan di sana. Tak lama, suara dari seberang terdengar, namun suara Andini sendiri bahkan tercekat. Hening. Lalu panggilan itu berakhir.

Andini kehilangan kesadarannya. Tekanan itu begitu besar menghantam nya tiba-tiba hingga tak sanggup ia atasi.

Me and My MusketeersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang