Andini POV
Rutinitas pagi yang tidak pernah berbeda namun aku benar-benar menikmatinya. Aku berniat membangunkan kak Arman tapi dia tidak ada di kamarnya. Hanya ada 1 tempat yang akan menjadi narkas besar seorang Arman Zain Permana, ruang kerjanya. Aku melangkahkan kaki menuju sebuah ruangan yang cukup luas. Ketika membuka pintu, netraku menangkap sosok kak Arman yang tengah sibuk dengan laptopnya.
"Jangan bilang kakak nggak tidur semalaman" tebakku menahan kesal. Kakakku satu ini memang workaholic. Aku membenci hal itu. Tapi herannya, sesibuk apapun dia, aku tidak pernah sekalipun mendengarnya jatuh sakit. Apa dia masih manusia? Pola hidupnya lebih mirip vampir. Haus darah, kurang tidur, tidak pernah terlihat lelah atau sakit. Benarkan? Syukurlah suhu tubuhnya masih sama seperti manusia normal.
"Kamu ngelamunin apa?"
Pertanyaan kak Arman membuyarkan fantasiku tentang kakak sulungku ini.
"pertanyaan Dini belum dijawab loh."
"Iya, kakak nggak sempat tidur semalaman soalnya ada beberapa masalah di kantor, jadi harus diberesin dulu. Gimana kuliah kamu?"
"Dini bakalan jawab, tapi sambil temenin kakak tidur yah. Kakak harus ostirahat biarpun cuma sebentar."
"Kakak masih banyak urusan di kantor Princess."
"Suruh David aja dulu. Pokoknya Dini nggak ngijinin kakak ke kantor kalau kakak belum tidur."
"Okey, kamu temani kakak tidur yah."
"Siap pak bos"
Aku mengikuti langkah kak Arman menuju kamarnya. Kalian boleh menjuluki kakakku manusia kutub, pria es, atau mengikuti julukannya, Everest Man. Tapi percayalah, kakakku yang satu ini tidak akan tidur tenang jika tidak melihatku sebelum matanya tertutup. Karenanya, sejak kecil aku akan selalu menemani kak Arman tidur. Entahlah, sejak Mommy dan Daddy meninggal, kak Arman tidak pernah tidur senyenyak dulu kecuali saat aku berada di sampingnya.
Kak Arman membaringkan tubuhnya di kasur menghadap ke arahku lalu mengulurkan tangannya untuk memeluk pinggangku, sedang aku mengambil posisi ternyaman dengan bersandar di kepala ranjang. Kubelai rambutnya yang terasa lembut, persis seperti yang dilakukan kak Ammar jika aku mengeluh tidak bisa tidur.
"Kamu belum cerita soal kuliah kamu. Kamu nyaman kan di sana? Kalau nggak suka, kamu bilang aja. Nanti kakak cari kampus yang lebih bagus dari itu."
"Nggak perlu kak. Di sana seru kok. Tapi anak-anak di sana sok semua. Mentang-mentang mereka anak orang kaya, mereka malah suka bully anak-anak yang miskin. Padahal kan mereka cuma menang di harta orang tuanya aja. Nggak ada yang berdiri di kaki mereka sendiri. Nyebelin. Tapi biarpun begitu, Dini punya teman yang baik banget. Dia selalu belain Dini kalau ada yang suka gangguin Dini."
"Cewek apa cowok?" Ternyata kak Arman masih merespon ucapanku meski matanya tertutup.
"Cewek kok, tapi dia itu sabuk hitam karate, jadi nggak ada yang berani macam-macam sama dia. Kapan-kapan Dini ajak dia main ke sini boleh kan?"
Kali ini respon kak Arman hanya anggukan kecil. Aku tahu jika kantuknya sudah mulai berkuasa. Semakin lama aku merasakan nafas kak Arman yang mulai teratur disertai dengkuran tipis. Aku memerhatikan wajah damai yang tengah terlelap itu. Pasti berat berada di posisi kak Arman. Dia mengorbankan banyak hal untuk kami selama ini. Sebagai kakak tertua, dia harus bertanggung jawab terhadap kebutuhan, pendidikan, dan juga kebahagiaan kami. Meski terkadang ia sangat posesif terhadapku, namun aku bersyukur memiliki kakak seperti kak Arman.
Saat sedang sibuk memerhatikan kak Arman, aku menyadari kehadiran kak Ammar.
"Dia begadang lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Me and My Musketeers
General FictionMenjadi anak bungsu dengan 3 orang kakak laki-laki yang menjadi idola banyak wanita mungkin menjadi impian banyak orang, namun Andini punya cerita sendiri tentang 3 orang ksatria penjaga yang memiliki karakter berbeda itu. Arman, sang sulung yang s...