Bagian 9

127 16 2
                                    

"Kita mulai dari sini." Changbin telah menggambar peta menuju gedung pusat kota, memanfaatkan pengalamannya sebagai anak geografi meski masih semester 1 di SNU, berusaha menunjukkan rute terbaik dengan kemungkinan besar dapat mereka lewati. "Minho ambil kemudi. Gue, Jeongin, Peter, sama Bang Chan, kita pantau sekitar karena bisa pakai senapan. Hyunjin ngarahin jalan, Felix?" Lelaki pendek itu berhenti untuk menimbang.

Fyi, Felix itu masih kelas 11 lima tahun lalu. Namun cukup mahir dalam bidang psikologi karena buku-buku di perpustakaan pribadi mama. Jadi, untuk urusan menenangkan, memberi masukan soal mental, dia cukup paham. Terlebih saat wabah seperti ini, support mental sangat membantu, dimana Felix yang paling bisa memberi solusi. Tapi, jika berurusan dengan lapangan, lelaki cantik tersebut terlampau payah bahkan melebihi Minho. Selain Felix yang memang tidak bisa bela diri sama sekali, dia juga memiliki asma akut yang baginya selalu merepotkan, terlebih untuk sang kakak. Maka, ketika Changbin membagi tugas, Felix sebatas diam merasa sungkan.

"Oke, bukan masalah." Putus sang pemimpin.

Si lelaki pendek lantas melempar kunci untuk Minho. Entah kenapa, tapi teman seperjuanganmya tersebut tampak semakin murung akhir-akhir ini. Changbin paham, Hyunjin cerita tentang Seungmin. Hanya dia takkan menghakimi karena Changbin yakin Minho tidak sengaja.

"Tidak papa." Itu bukan dari Changbin kepada Minho. Christ melayangkannya untuk sang adik. Memberi usap lembut pada kepala menenangkan, mengantar si bungsu keluarga supaya duduk bersama pada bak belakang. Bukan Christ tidak percaya dengan yang lain dan membiarkan Felix duduk di depan bersama Hyunjin serta Minho. Namun, pemuda yang kini penyandang status sebagai kepala keluarga tersebut memang ingin melindungi dengan kemampuan sendiri. Adik merupakan satu hal tersisa yang dipunya, alasan kenapa Christ harus tetap hidup selama yang dibisa.

"Bukan masalah kan dia di belakang?" tutur si pirang tak enak hati menatap teman-teman lain yang terlihat tampak menyiapkan senjata masing-masing.

"Santai." Balas Changbin tanpa acuh.

Beberapa saat, hingga pick up hitam yang Hyunjin temukan kembali melaju. Bensinnya cukup banyak dengan mesin lumayan bagus. Jadi, bersama harapan semua orang, semoga mereka secara utuh dapat sampai ke tempat tujuan.

Roda empat dengan bak terbuka tersebut telah berhenti di sebuah lorong sebab kerusakan bagian dalam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Roda empat dengan bak terbuka tersebut telah berhenti di sebuah lorong sebab kerusakan bagian dalam. Changbin mengumpat karena tempat ini diyakini tidak strategis serta berpotensi jadi jebakan. Dan benar saja, zombi mulai masuk dari depan dan belakang.

"Melawan pun tidak ada guna. Mumpung masih bisa diatasi mending kita lari." Putus Changbin.

Tangannya mengetuk bagian depan beberapa kali sebagai isyarat untuk Hyunjin pun Minho agar lekas turun dan menyelamatkan diri.

Changbin, Jeongin, serta Hyunjin kalang kabut bertiga dengan kemampuan mereka. Christ membawa Felix juga Minho agar sembunyi bersama. Sementara Peter, entahlah. Tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan dari lelaki itu, sejujurnya.

Tubuh Felix bergetar, nafasnya terputus pendek-pendek dengan sang kakak yang barang sedetik pun tak melepas tangan si semata wayang. Membawanya kabur selagi bisa bersama Minho yang mengikuti mereka.

"Kita sembunyi dulu di sini." Putus lelaki dewasa ketika sebuah lorong pekat memakan tubuh ketiganya dalam gelap, berharap para makhluk menjijikkan tersebut tak menyadari.

Rrghh!

Tapi, keberuntungan seperti tak memihak. Dengkuran memekakan terdengar di belakang Minho, membuat tubuhnya kaku bahkan sebatas digerakkan. Hingga, sebuah tangan mencekal pundaknya agresif, membuat lelaki tersebut refleks menarik Felix yang berdiri lemah di depannya guna ditumbalkan.

Benar saja, tanpa persiapan, tubuh Felix digemul oleh seorang zombi, memberi kesempatan Minho agar lari dan cari tempat sembunyi.

"Bangsat!" Christ terkejut menatap hal yang terjadi begitu cepat di hadapan. Ia berniat mengejar Minho dan menghabisi si brengsek itu, namun urung kala melihat Felix yang kepayahan membuat Christ semakin meledakkan marah tanpa bisa dia tahan.

Kemudian, tak berpikir panjang, lelaki tersebut menembak dengan membabi buta, membuat kepala si zombi pecah menyisakan Felix yang terlihat kejang-kejang.

Mengabaikan segala hal, sang kakak turut bersimpuh, memeluk lunglai tubuh adiknya yang menatap dengan tangis ketakutan. Felix tahu akan seperti apa dirinya, yang membuat khawatir adalah pemikiran tentang bagaimana jika sampai akhir dia tetap menjerat Christ guna tak pernah lekang dari sisinya.

"Pergi k-kak, selamatkan h-hidupmu untukku." Bata si bungsu dengan pupil pekat kian terkikis, menyisakan warna putih bersama air mata terakhir dari maniknya yang cantik.

Lantas, menghilangkan segenap rasa takut, Christ menangis sembari memeluk Felix. Membiarkan adiknya tersebut serta-merta juga merengkuh hangat tubuh dan mengoyak leher putihnya sesuka hati.

Paling tidak, mereka mati bersama. Karena itu janji yang Christ punya pada diri sendiri. Bahwa Felix adalah satu-satunya, demikian sang adik akan selalu jadi alasan kenapa dia memilih guna tetap bertahan.

Serupa itu, ketika alasan tersebut sudah tidak ada, maka Christ juga tak memiliki apa-apa guna disisakan dalam hidupnya.

[4] Game Of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang