18. Back to Life

1.5K 202 4
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




“Di seberang jalan tadi ada Jake.”

Jira mendadak terkejut dan reflek menoleh ke arah Jay.

“Jadi—itu sebabnya lo keluar dari mobil, karena ada dia?”

Jay mengangguk sebagai balasan, tangan sebelah kanannya memegang stir mobil lalu tangan kirinya ia biarkan secara bebas. Posisi mereka saat ini tengah berada di pinggir taman kota, Jay sengaja berhenti disana atas permintaan Jira yang katanya ingin menghirup udara malam.

Sebelumnya, Jay memang hanya berniat ingin mengantar Jira ke supermarket karena persediaan stok dikulkasnya mulai menipis, ditambah akhir-akhir ini Jira juga sering memakan banyak cemilan. Jadilah gadis itu borong banyak belanjaan.

Biasanya, disaat-saat seperti ini yang selalu menemani Jira belanja bulanan itu selalu Jake, terkadang pemuda itu akan menemani masuk ke gedung besar tersebut untuk membantu memilih apa saja yang harus dibeli, membantu membawakan barang-barang Jira dan terkadang sering berakhir jajan di pinggir jalan.

Tapi Jira sadar, semua itu sudah berlalu. Segala tentang Jake, kenangan tentang Jake, dan hal-hal yang berhubungan dengan pemuda itu telah Jira kubur dibawah tanah rapat-rapat.

Jira juga merasakan kini hidupnya terasa hampa, sunyi tanpa pemuda itu namun tak menutup kemungkinan bahwa Jira juga merasa sedikit lebih baik. Di dalam sana, Jira terisak, dadanya terasa sesak lagi saat otaknya kembali mengingat kejadian tiga hari yang lalu.

Jay sadar, isakan Jira semakin terdengar. Akhirnya, Jay membawa Jira ke dalam pelukannya, berusaha memberi ketenangan meski tak sepenuhnya yakin dengan usahanya. Ia pikir Jira akan menolak pelukannya, nyatanya tidak.

Jujur saja, dari sejak kejadian Jay menemukan Jira dalam keadaan mabuk, pemuda itu jadi lebih sering memikirkan keadaan Jira, selalu ada 1 x 24 jam untuk gadis itu, bahkan nyaris ikut menangis saat tak sengaja melihat Jira menangis.

“Gue benci dia, Jay...” Jira semakin mengeratkan pelukannya pada Jay, pun isakannya semakin terdengar lebih keras. Ucapannya tertahan, Jay masih membiarkan Jira menangis sebab yang pemuda itu tau, menangis adalah cara terbaik agar hati tenang.

“Nangis aja, Ji, daripada gue harus ngeliat lo tertekan dan berakhir ngelakuin hal yang nggak-nggak, gue pastiin bakal selalu ada buat lo, kok.”

Rasanya Jira sudah tidak sanggup untuk mengatakan hal apapun, tentang perasaan yang ia rasakan juga kebencian yang Jira punya.

“Gue tau, Ji. Ini sakit, dan lo nggak bisa nanggung sakit itu sendirian. Ada gue, ada Sunghoon, jangan ragu-ragu buat ngelampiasin rasa sakit lo ke kita, asal lo lega, itu nggak masalah.” lagi Jay berusaha menenangkan Jira, meski jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam Jay ingin menangis.

“Gue masih nggak nyangka, Jay. Orang yang selama ini gue percaya dan selalu gue kasih kesempatan untuk berubah malah ngehancurin semuanya.” ucapnya terputus-putus, meski isakannya kini terdengar lirih, namun saat Jira mengeluarkan isi hatinya terdengar menyakitkan bahkan begitu banyak luka yang Jira terima selama ini.

Jay memegang kedua bahu ringkih gadis itu, menatap sepasang iris gelap Jira begitu intens, Jay tau dimana ia harus menempatkan diri, “Itu tandanya, tuhan sayang sama lo, Ji.” Jay meyunggingkan senyum, berusaha supaya Jira tetap kembali tenang.

“Tuhan nggak mau ngeliat lo kecewa lagi, tapi dia juga nggak mau ngeliat lo nangis terus.” ibu jari Jay reflek mengusap bulir bening yang masih mengalir di pipi tirus Jira. Seakan belum cukup, Jay kembali menggenggam kuat-kuat tangan gadis itu. Jay tau, Jira masih belum sepenuhnya bisa bangkit, Jira butuh penopang hidup—dulu Jake penopangnya, sekarang pemuda itu bukanlah siapa-siapa.

“Lo boleh kecewa, lo boleh marah, tapi setelah ini lo harus bahagia.” pemuda itu memberi jeda sedikit, menarik nafas entah gunanya untuk apa, “Jangan ada air mata kesedihan lagi, ayo bangkit. Perjalanan hidup lo masih panjang.” ujar pemuda itu dengan senyum merekah, berusaha sebisa mungkin supaya Jira tetap hidup bersama lembaran baru.

Jay dapat mendengar isakan Jira mulai mereda perlahan, dan gadis itu membalas tatapan Jay nanar. Perlahan pula, Jira mulai merasakan kekuatan yang Jay beri untuk dirinya sendiri. Selama ia terpuruk, Jay mulai belajar menjadi sandaran untuk Jira, setidaknya gadis itu merasa lega meski kini ia telah kehilangan separuh hatinya.

“Ji, mau janji sesuatu nggak sama gue?”

“Janji? Janji apa?”

Jay menyelami iris kelam gadis itu, mencari letak kehancuran hidup Jira yang malang setelah seluruh harapan yang ia letakkan pada jiwa yang lain ikut melebur.

“Janji setelah ini untuk belajar ikhlas dan memaafkan semua yang udah terjadi.”

Tanpa Jay sangka, senyuman gadis itu terbit begitu indah di wajah ayunya seolah mengatakan hidupnya perlahan baru saja kembali dimulai.

“Gue coba, ya. Terima kasih, Jay.” ucap gadis itu merasa bersyukur, tatapannya kian melunak. Jujur saja, ia dapat merasakan kehangatan yang Jay beri hanya untuknya selama beberapa hari. Jira betul-betul merasakan ketulusan hati Jay dalam memberikan Jira semangat.

Dan di malam itu, Jira merasa hidupnya bangkit perlahan. Meski nyatanya luka itu belum sepenuhnya sembuh dan perlu waktu yang tidak sebentar, Jira akan melewatinya. Selama ada orang-orang yang memberinya banyak dukungan, Jira pastikan hidupnya akan kembali berwarna.

••••

Okee, sedikit lagi end yaaaa😘

Love(sick) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang