BAB 10

545 99 2
                                    

□□□□□□

Kushina baru saja menuangkan anggur hadiah dari temannya ke dalam mug—cara yang aneh untuk menikmati anggur. Kalau saja dia melakukannya di luar sana, menggunakan mug sudah pasti cara itu berseberangan dari yang seharusnya, tentu saja karena anggur bukan jenis cokelat panas. 

"Bagaimana, Iruka?" wanita itu bertanya ketika dia menuangkan anggur penuh ke dalam mug, sebelum mencicipi anggur tersebut, Kushina meresapi aroma rempah-rempah yang kuat. "Harumnya benar-benar menggoda."

Iruka mendekat, meletakkan berkas di atas meja di depan Kushina. "Saya butuh keputusan Anda, Madam," matanya pun melirik berkas di depan itu, tetapi Kushina tidak terlalu tertarik, dan dia melepaskan earphone dari telinganya, dilemparnya ke sebelah. "Dia memaksa saya untuk menyetujuinya, tetapi saya perlu memikirkannya. Apakah lebih baik saya menolak?"

"Ya, tolak saja," perintah Kushina, selesai dia mencicipi anggur tersebut seperti dia sedang mencicipi cokelat panas. "Aku tidak habis pikir mengapa dia sampai memberikan apa saja yang diminta gadis itu, padahal hanya pacar sewaan."

"Seperti yang sudah Anda dengar langsung," Iruka menunjuk telinganya sendiri. "Bahwa Naruto mencintai gadis itu," kali ini dia mengulas senyum, tetapi yang didengar olehnya justru suara Kushina yang mendesah kesal. "Saya rasa mereka punya perasaan yang sama. Namun gadis itu sedang berada dalam masa-masa mencari jati dirinya."

"Apa kau cenayang?" nada Kushina terdengar marah. "Aku tidak akan menyetujui hubungan mereka, tetapi aku akan buat pengecualian kalau mereka mampu meluluhkan hatiku. Sejak awal aku amat kecewa mengetahui semua kebenaran itu, aku berusaha menutupi dan menganggap mereka pasangan sungguhan, dan aku pikir meski mereka benar-benar menjadi pasangan, aku pasti akan selalu membayangkan hubungan palsu di antara kami, itu menyakiti perasaanku."

Hati seorang Ibu tidak ada yang tahu. Iruka tidak begitu mengerti, tetapi Kushina marah karena hubungan itu adalah bagian kebohongan agar membuatnya bahagia. Akan tetapi secara bersamaan dia sedih pada dirinya atau pada putranya yang tidak punya perasaan apa-apa terhadap seorang gadis, bermula darinya, memintanya, atau mungkin terdengar memaksa anak itu bekerja dengan giat sejak kematian ayahnya. Di mana pun berada, anak laki-laki selalu diharapkan untuk menjadi tulang punggung menggantikan Ayah mereka.

Kepergian Iruka dari sana, membawa Kushina mendekati jendela kamar hotel. Ia tak pergi berlibur bersama temannya seperti yang dilakukannya saat berkunjung ke suatu negara atau pesan yang ditinggalkannya.

Kushina biasanya menghabiskan waktunya untuk mengobrol bersama teman-temannya, menceritakan apa saja, atau membicarakan hal memalukan serta murahan, tak peduli keduanya, ia tampak bahagia. Akan tetapi misinya ke sini bukan untuk bersenang-senang, justru mengubah cara pandangnya terhadap hubungan yang dibangun oleh putranya, bahwa anak itu tidak pernah tertarik dalam hal tersebut.

Masih berdiri, Kushina terkejut dengan jam pendulum yang ada di sebelahnya berdentang. Pukul 10 malam biasanya mereka sudah pulang ke rumah, saking sudah malasnya, sejak tadi dia hanya mengenakan earphone tanpa menyambungkannya agar mendengar pembicaraan kedua orang pembohong di sana. Ia rasa percuma, karena yang dia dengar pasti lagi-lagi sebuah rencana. Namun rasa enggan menyingkir, karena dia ingin mendengar suara putranya yang bahagia. 

Sudah memasang earphone ke telinga sambil kembali menyesap anggurnya. Kushina mendengar suara putranya sedang membicarakan sesuatu dengan nada yang tidak biasa. 

"Memang kurang tahu, apakah ini perasaan suka biasa karena kau bekerja keras, atau karena aku benar-benar punya perasaan kepadamu," Kushina mengernyitkan dahinya. "Apakah kita tidak akhiri saja sewa-menyewa itu? Aku ingin punya hubungan denganmu yang lebih serius, sebelum ketahuan oleh Ibu."

MOE DATE ✔ (Tersedia PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang