O5. Bohong

22 2 0
                                        

Sera mendapati dirinya sendiri terbaring di ranjang asing, lengkap dengan selimut tipis yang cukup memberinya kehangatan. Matanya ditutup oleh kain. Entah itu kain atau apa, ia tidak yakin.

Tak lama, terdengar langkah beberapa orang. Langkah yang tenang, memasuki ruangannya.

"Permisi, saya dimana ya? Kenapa mata saya ditutup? Suami saya dimana?"

Rentetan pertanyaan itu terucap dari bibirnya. Perlahan duduk, memegang sisi ranjang. Ah, ia tahu. Bukan ranjang, tapi brankar rumah sakit.

"Nona Qian Sera, bagaimana perasaan anda?" suara berat menyapanya dari sisi kiri.

"S-saya baik, tapi kenapa mata saya ditutup? Dimana suami saya?" tanyanya lagi. sedikit lebih panik sebab belum mendapat jawaban.

"Nona tenang dulu. Saya adalah seorang dokter ahli mata, Dokter Huang." ucap pria yang mengaku dokter tersebut.

Ia melanjutkan, "And surprisingly, your husband's old friend."

"A-anda kenal suami saya? Dimana suami saya?"

Dokter Huang, atau Huang Guanheng, menunduk sebentar. Mengambil napas guna menetralkan air mata yang hampir terjatuh.

Tangannya membuka perlahan benda yang menutupi mata Sera. Satu lapis, dua lapis, hingga lapis terakhir. Mata Sera tidak tertutup oleh apapun.

Wanita itu mengedipkan matanya beberapa kali, menetralkan cahaya yang masuk pada retina nya.

"D-dokter? S-saya bisa melihat?" ucapnya. Agaknya tidak percaya, menatap pada tangannya yang ia gerakkan perlahan.

Guanheng mengangguk sekali sebagai jawaban. Membiarkan wanita di depannya terbiasa dengan penglihatan barunya kembali, setelah bertahun-tahun.

"Sera!"

Suara Kun mengalihkan atensi dua manusia di dalam ruangan VIP itu. Kun, lengkap dengan setelan serba hitam, masuk. Menghampiri sang adik.

"Sera, bagaimana keadaanmu? Ada yang sakit?" tanyanya beruntun, raut kekhawatiran terlihat jelas.

"Gēgē? K-kenapa Gēgē memakai pakaian serba hitam? M-mana Ten?"

-

Sera. Wanita itu terduduk di samping pusara tempat dimana suaminya dikuburkan dua hari lalu, pagi hari setelah terjadinya kecelakaan.

"Ten.. Kenapa?"

Tangisnya terus turun, tanpa bisa dibendung. Bagai hujan gelap yang dipenuhi air, merembes hingga tanah.

Ia mengelus perutnya, dimana janin dari anak keduanya selamat. Beruntung, kalau kata para dokter. Tapi tidak baginya, ini bukan keberuntungan.

Pikirkan saja, bagaimana bisa ia hidup tanpa Ten?

"Kau bilang, ingin melihat seisi dunia bersamaku -" napasnya tercekat.

"Kau bilang,"

"Kau bilang, ingin melihat indahnya awan senja b-bersama.."

"Ten, kamu bohong.."

NIRMALA | TEN LEEWhere stories live. Discover now