1. Hari Bahagia Ibu

128 5 2
                                    

Pernikahan sederhana di rumah sederhana. Itulah pernikahan antara Arimbi dan Jaksen. Pasangan itu nampak bahagia dan saling memuja terlihat di binar mata mereka. Meski usia tak mudah lagi, cinta tak menghalangi dua insan manusia itu untuk berikrar janji suci.

Seorang gadis berusia 22 tahun ikut larut dalam momen itu. Rasa haru, bahagia, sedih turut menyelimuti hatinya.

"Anin".

Gadis itu menoleh ke sumber suara. Ia tersenyum menyambut sahabatnya yang datang ke undangan pernikahan ibunya.

"Lisa, thanks udah mau datang". Anin memeluk Lisa lalu saling menempelkan pipi kiri kanan mereka.

"Iya dong, masa hari bahagia tante gue nggak dateng"

"Hmhm...benar, ibu bakal jewer telingamu kalau sampe loe nggak penuhi undangannya".

"Hehe...tante nyeramin. By the way tante cantik banget".

Anin dan Lisa memandang ke arah dua pengantin yang telah sah itu yang sedang menyalami undangan yang datang.

" Om Jaksen juga ganteng" terang Lisa. Anin hanya mengedikkan bahu.

"Eh tapi Anggara di mana yah?" Lisa mengedarkan pandangannya lalu ketemulah dengan seorang lelaki yang duduk tenang di bagian pojok. Ia tengah memainkan handphonenya.

Lisa menoel bahu Anin lalu menunjuk ke arah Anggara. Anin hanya menghela nafas berat.

"Kenapa dia?" tanya Lisa.

"Gue nggak tahu"jawab Anin acuh tak acuh.

"Dia bakal jadi saudara loe nanti. kalian udah ngobrol?"

"Tidak, kita kan nggak akrab sama dia".

"Tapi mulai sekarang kalian keluarga".

"Liat nanti aja".

"Eh, ngomong-ngomong loe nggak undang teman-teman lain?" tanya Lisa lagi mengalihkan obrolan mereka.

"Nggak ah, loe sama Ratu aja yang tahu. Gimana nanti kalau anak- anak yang lain pada tahu gue sama Anggara jadi saudara tiri".

"Lha, emang kenapa?".

"Ya nggak kenapa-kenapa".

"Terus? Mau ngerahasia in?"

"Belum tahu, loe tahu sendiri kan Anggara bagaimana di kampus. Kita juga nggak kenal-kenal amat"

"Ya udah, serah loe deh. Gue nyalamin tente dulu. Abis itu makan, lapar gue ngobol ama loe" ujar Lisa lalu meninggalkan Anin. Anin hanya mendengus dengan segala tingkah sahabatnya itu.

___________

Acara sesi foto keluarga sedang berlangsung. Namun Anggara tidak ingin bergabung di atas sana. Sangat malas dan jengah menyaksikan keluarga baru itu. Ia melihat papanya bersanding dengan istri barunya, apalagi ada kakak kandungnya juga di sana ikut bergaya dengan berbagai pose. Yang membuatnya muak adalah gadis yang telah resmi menjadi saudara tirinya itu.

"Angga....bengong aja kamu. Kemari..." panggil Safira sang kakak.

"Kemari nak" panggil sang ayah ramah tapi penuh ketegasan.

Anggara melangkahkan kakinya. Meski tak suka Anggara ikut juga sesi foto keluarga itu.

"Gimana kuliahmu dek?" tanya Safira saat berdua saja dengan sang adik, yang tak lain adalah Anggara.

"Baik mbak" jawab Anggra sekenanya.

"Kamu belum rela yah papa nikah lagi?"

"Papa itu udah tua mbak"

"Justru karena udah tua makanya papa mesti punya pendamping. Nggak selamanya kita ada buat papa".

"Tetap aja, aku nggak suka, dan nggak bakal suka sampai kapan pun itu. Nggak ada yang bisa gantiin mama. Aku bisa kok jagain papa. Kalau mbak sudah pasti ngikut suami" ucap Anggara.

Safira menghela napas percuma berkompromi dengan Anggara. Adik satu-satunya ini sangat keras kepala. Tapi setidaknya Anggara harus mengerti bahwa papa mereka mendambakan seorang wanita disisinya.

"Tapi papa juga butuh kasih sayang seorang wanita, seharusnya kamu paham akan hal itu".

Anggara menyugar rambutnya, justru sekarang bertambah lagi orang yang menyebalkan. Belum cukup kehadiran ibu tiri yang membawa serta putrinya kini kakaknya itu ikut-ikutan membuatnya kesal dan marah.

"Iya aku ngerti, udahlah mbak capek". Anggara beranjak dari duduknya ingin meninggalkan kakaknya itu. Lalu terdengar suara berat dari belakang mereka.

"Fira, Angga sini kita makan malam dulu" panggil Jaksen, papa mereka.

Safira tersenyum menggoda ke arah Anggara. Muka Anggara memerah menahan marah. Namun tetap mengikuti langkah papa dan sang kakak.

Di ruang makan terasa sunyi, masing-masing sibuk dengan santapan di depannya. Hanya suara sendok dan garpu yang bersahutan.

Usai makan malam Anin membantu ibunya membereskan piring, lalu mereka mencucinya bersama. Arimbi sudah melarang putrinya agar beristirahat, sebab Arimbi tahu Anin sangat lelah. Dari satu Minggu sebelum pernikahan Arimbi, Anin sudah melarang untuk melakukan aktivitas. Anin ingin memanjakan ibunya sebelum ibunya itu dimiliki orang lain.

"Apa papa dan tante akan honey moon?" tanya Safira saat mereka sudah di ruang tamu.

Arimbi dan Jaksen saling bertatap dan tersenyum. Senyum yang merekah indah hingga merambah ke Safira. Safira ingin menggoda kedua pengantin baru ini.

"siapa tahu kami bakal punya adik lagi" celetuk Safira cekikikan.

Arimbi berdehem lalu menoleh ke Anin. Anin tidak bereaksi apapun. Mungkin putrinya itu masih belum terbiasa dengan keluarga baru mereka pikir Arimbi.

"Itu nggak perlu Fira, kita udah tua" jawab Arimbi lembut.

"Oh iya Fira, Angga mulai sekarang jangan panggil Tante lagi, panggil ibu seperti Anin memanggil ibunya. Begitu pula Anin Panggil aku dengan papa. Okey" ucap Jaksen dengan tegas.

Safira mengangguk saja, namun tidak dengan Anggara ataupun Anin. Arimbi tersenyum ramah pada Safira dan juga Anggara. Namun respon Anggara tidak seperti kakaknya. Lelaki itu tampaknya datar saja. Sedangkan Anin menganggukan kepala saat Jaksen menatapnya.

Udara semakin dingin, Anggara hanya duduk di teras rumah mungil itu. Setelah pembicaraan mengenai panggilan moodnya jadi rusak. Papa dan ibunya itu sudah terlelap karena kelelahan, sedangkan Safira tidur bersama Anin. Tinggal dirinya yang masih terjaga.

Anggara kemudian masuk rumah dan menguncinya lalu menyimpan kunci tersebut di meja televisi sesuai ucapan Arimbi tadi. Pria itu mengedarkan matanya ke seluruh ruangan kecil itu. Ada beberapa foto di dinding. Semua foto keluarga ada Arimbi, Anin dan seorang lelaki dewasa yang tentunya pasti ayah Anin. Anggara segera masuk ke tempat tidur yang di sediakan. Meski sangat kecil sangat berbeda dengan kamar di rumahnya. Di dalam hanya ada spring bed mungil dan kipas angin saja.

Keesokan harinya, Jaksen memboyong Arimbi juga Anin kerumah besarnya. Di sana ia hanya tinggal bersama Anggara. Sedangkan Safira ikut dengan suaminya. Wanita cantik itu telah menikah selama setahun. Suaminya tidak bisa menghadiri pernikahan papanya karena lagi perjalanan ke luar negeri.

Di perjalanan Anin hanya mengamati tempat-tempat yang mereka lewati. Walaupun Safira terus bercerita ia hanya sesekali menanggapi. Selebihnya ibu dan papa barunya itu yang menyahut yang duduk paling belakang. Sedangkan Anin Safira di tengah dan paling depan diisi oleh Anggara dan sopir pribadi Jaksen.

Anin sudah tak asing lagi dengan perjalanan jauh seperti ini sebab ia sering melewatinya ketika harus pulang kampung. Anin kuliah di kota yang sama dengan tempat tinggal Jaksen dan Anggara. Ia pun satu kampus dan seangkatan dengan Anggara.

Perjalanan yang yang memakan waktu empat jam. Sangat melelahkan.

TBC.

My Step BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang