Sudah tiga jam Anin menangis, tak ada lagi suara yang keluar. Air mata terus membanjiri wajahnya kala mengingat sang ibu yang telah meninggalkannya. Rasanya tak percaya saat Safira memberitahu kabar duka ini, ia menangis histeris lalu memastikannya pada Anggara dan pria itu membenarkannya.
Kediaman Jaksen telah ramai oleh pelayat. Safira serta ART sibuk menyiapkan segalanya. Lantunan tahlil sudah terdengar. Anin ikut duduk membersamai tetangga yang datang. Gadis itu hanya memegang mushafnya tanpa membacanya. Bukan berarti tidak bisa mengaji, ia hanya belum mampu bersuara. Setiap kali berbicara pasti diikuti dengan lelehan air mata. Sementara jenazah Arimbi belum tiba. Mereka masih menunggu kedatangannya.
Anin menyambut kedatangan jenazah sang ibu dengan tangisan, ia tak punya tenaga lagi untuk sekedar berbicara. Safira memeluk Anin dan menenangkannya. Safira ikut bersedih atas musibah yang menimpa keluarganya. Terkhusus sang ibu sambung yang belum lama masuk di keluarga mereka. Ia juga bersyukur papanya masih bisa terselamatkan meski masih belum sadarkan diri.
Sedangkan Anggara ikut menyiapkan pemakaman. Setelah urusan selesai, jenazah Arimbi di bawah di tempat peristirahatan terakhirnya.
Anin masih setia duduk di pusara sang ibu, ia masih mengusap tanah basah yang ditaburi bunga-bunga. Tak ada suara, air matanya pun tak meleleh lagi. Tapi pikiran Anin masih mengenang ibunya, ibu yang telah berjuang untuknya, ibunya yang baru memeluk kebahagiaan. Harusnya ibunya itu masih menikmati indahnya hidup setelah melewati banyak masalah dan cobaan. Tapi apa daya takdir manusia tidak ada yang tahu. Tuhan lebih menyayangi ibunya.
"Dek, pulang yuk. Udah sore" bisik Safira. Ritual pemakaman telah selesai dan para pengantar telah pulang.
Anin masih bergeming, ia masih ingin menemani ibunya. Ia hanya menggeleng, Safira menghela napas. Sudah tiga kali Anin diajak pulang namun responnya tetap sama. Melihat itu Anggara ikut menghampiri.
"Ayo pulang, emang mau disini sampe malam. Di rumah masih ada tahlilan. Liat itu masih ada pak ustadz" tegas Anggara. Safira ikut menyenggol badan Anggara agar adiknya itu menjaga perasaan Anin. Anin menoleh kebelakang, benar saja masih ada pak ustadz, suami Safira dan sopir yang menunggui dirinya.
Safira dengan perlahan membantu Anin berdiri dan menggiringnya ke mobil. Sebelum masuk di jok, Anin masih menoleh kebelakang, mengucapkan kata perpisahan untuk sang ibu.
"Selamat jalan ibuku"
______________************_____________
Satu Minggu Anin baru masuk kampus. Selama di rumah hanya Safira yang ikut menemani dirinya. Kedua temannya pun baru mengetahui kepergian Arimbi setelah tiga hari. Dan mereka ikut bertakziah begitu juga teman-teman mereka yang lain. Sedangkan Anggara ikut menyusul Jaksen ke Singapura. Pria paru baya itu baru sadarkan diri.
Anin, Lisa dan Ratu sedang berada di gazebo kampus. Lisa dan Ratu sedang menemani Anin yang masih berduka kehilangan sang ibu.
"Eh, turut berduka cita yah" tiba-tiba saja Sherly datang.
"Makasih sher" ujar Anin perlahan.
"Gue tuh sedih tau pas denger nyokap loe wafat".
"Thanks".
"Mm, loe udah nggak jadi saudara Anggara lagi dong".
"Sebaiknya loe pergi deh, yah. Maaf" usir Lisa.
Sherly mencebik dan langsung beranjak pergi, tak lupa ia menghentakkan kakinya.
"Nin, loe nggak perlu dengerin kata-kata mereka yah" kata Ratu dengan lembut.
"Iya, yang penting loe mesti bangkit dan kita nyelesaiin kuliah kita secepat mungkin" sambung Lisa.
"Makasih yah girls, gue beruntung banget punya kalian berdua. Thanks very much" ucap Anin menatap kedua sahabatnya itu dengan mata berkaca-kaca.
Mereka berpelukan ala teletabies. Sahabat akan ada di saat susah dan senang.
________*********_________********______
Hampir tiap hari Anin mengunjungi makam sang ibu. Seperti saat ini sebulan setelah kepergian wanita yang melahirkannya itu Anin duduk mengusap nisan yang bertuliskan nama Arimbi. Menaburkan bunga sambil bercerita, mencurahkan segala isi hatinya.
"Bagaimana ibu di sana? Semoga ibu bahagia. Aku selalu mendoakan ibu, agar mendapat tempat yang indah di sana, agar menjadi bidadari di sana dan menunggu aku agar bisa bersama ibu lagi"
"Bu, aku masih tinggal di sana. Aku tidak enak menumpang. Mungkin sebentar lagi aku bakal di usir, papa Jaksen juga belum pulang. Cuma ada Anggara. Mbak Safira juga jarang berkunjung akhir-akhir ini. Jadi aku harus gimana yah Bu? Aku pergi saja atau nunggu di usir dulu oleh Anggara. Dia kan nggak pernah baik sama aku"
Senja di ufuk barat mulai meninggalkan peraduannya, Anin pun pulang dari area pemakaman. Ia pulang ke rumah besar Jaksen.
" Dari mana saja loe?" Anin menghentikan langkahnya ketika mendengar suara berat Anggara.
"Kampus" jawab Anin sekenanya.
"Jam segini?, Loe nggak ada lagi matkul. Ngapain berlama-lama di kampus dan pulang sore begini"
"Gue punya urusan lain emang kenapa?"
"Kenapa? Jangan seenaknya. Kayak loe punya rumah aja. Pulang sesuka hati".
Nyali Anin menciut, ia mengerti arah pembicaraan Anggara. Maksudnya ia harus sadar diri, ini bukan rumahnya.
"Maaf"
"Apa? Loe minta maaf, hahaha..." Tawa Anggara seakan meledek Anin.
"Ya, gue tau ini bukan rumah gue, dan gue sadar diri"
"Bagus, jadi jangan sok jadi ratu disini. Ngerti kan maksud gue"
Anin menatap Anggara dengan sendu. Pria di depannya itu sama sekali tak punya hati.
"Ngerti nggak!"
"Nggak"
"Bodoh"
"Apa, ngomong apa loe"
"Gue bilang bodoh. Kenapa, marah?".
Anggara menampakkan senyum devilnya, senyum puas saat melihat gadis yang menjadi rivalnya itu terdiam. Sebenarnya Anin ingin sekali menampar muka Anggara namun ia cukup tahu diri. Ia bukanlah siapa-siapa di rumah ini.
Anin menuju kamarnya setelah Anggara meninggalkannya beberapa menit yang lalu. Ia merebahkan badannya menatap langit-langit kamar.
"Ibu, aku kangen ibu. Kenapa ibu pergi tiba-tiba tanpa sepatah kata. Ibu meninggalkanku seorang diri, aku harus gimana Bu. Ibu yang tenang yah di sana. Semoga ibu bahagia, kelak akupun akan menyusul ibu. Selamat jalan ibu....".
TBC.
🍂🍂Selamat menjalankan ibadah puasa 🙏🍂🍂
KAMU SEDANG MEMBACA
My Step Brother
ChickLitkehidupan Anin berubah setelah sang ibu menikah lagi dengan duda kaya raya. Anin jadi mempunyai saudara tiri dua orang. suatu takdir mengubah segalanya menjadikan Anin menikah dengan anak dari sang ayah tiri.