Mata Anin tak berkedip menatap kemewahan rumah papa Jaksen. Mirip seperti istana. Setelah ditunjukkan kamarnya. Anin memilih untuk beristirahat. Anin masih mengagumi kamarnya yang luas, interiornya, semua yang ada di kamar itu. Mimpi apa dia menjadi orang kaya dadakan. Kemudian merebahkan tubuhnya di atas kasur berukuran king size. Rasanya nyaman seperti tidur di hotel. Jika di rumahnya mana ada fasilitas seperti ini. Anin bangkit dan masuk ke kamar mandi kamarnya. Sama , tetap kagum dengan fasilitas kamar mandinya yang memadai.
Saat turun untuk makan malam Anin berpapasan dengan Anggara. Ternyata kamar mereka berhadapan. Anin jadi gugup dan malas menghadapi Anggara, pria itu begitu sombong dan bengis.
"Kenapa?" tanya Anggara menyeringai sambil mengangkat alisnya sebelah.
Anin tidak mempedulikan, ia berlalu begitu saja namun dengan kuat Anggara menariknya tangannya hingga tubuh mungilnya hampir menubruk tubuh kekar Anggara.
"Kenapa? Kaget, senang jadi orang kaya?" Ucap Anggara dengan mata tajamnya juga wajahnya merah menahan marah.
"Kalau iya kenapa" Anin membalas tatapan tajam Anggara. Anin memang tak pernah takut menantang Anggara, ia tidak suka ditindas.
"Aku penasaran seperti apa ibumu menggoda papaku"
"Papamu lah yang mengejar-ngejar ibuku". Anin tidak kalah sengit. Sebelum Anggara mengeluarkan sumpah serapahnya Anin meloloskan diri dari cengkraman Anggara.
"Sial!" umpat Anggara.
____________
"Hai, ini masih pagi. Mendung amat muka loe". Lisa masih mengamati muka Anin yang cemberut.
"Gue ngerasa nggak enak sama papa Jaksen. Tadi itu gue dianterin sama beliau"
"Bagus dong, itu tandanya dia nganggep loe anaknya"
"Iya, beliau itu baik banget apa lagi mbak Safira"
"Kalau Anggara?"
Anin memutar bola matanya, Anin masih kesal dengan kejadian tadi pagi. Ada sedikit drama yang terjadi dari meja makan sampai mau berangkat kampus. Jaksen menyuruh Anggara dan Anin untuk berangkat bareng, tapi dengan berbagai alasan Anggara menolak. Katanya mau singgah disinilah disitulah. Hingga akhirnya Jaksen memutuskan mengantar Anin.
"Mukanya biasa aja Anindya" Lisa lantas berdiri menarik lengan Anin dan gadis itu terseok.
"Ihh mau kemana?"
"Ke kelas. Kemana lagi".
Saat ini mereka sudah semester tujuh. Tinggal satu, dua mata kuliah lagi.
Anin, Lisa berjalan ke lobi. Di sana sudah ada Ratu menunggu mereka. Mereka bertiga telah berteman sejak awal masuk kuliah.
"Mau kemana kita?"
"Biasa girls, nongkrong"
"Cabutlah"
Mereka segera menuju mobil milik Lisa. Lisa memang orang berada di banding Anin dan Ratu.
Seperti biasa mereka selalu nongkrong di tempat yang asyik sambil makan dimana lagi kalau bukan di warteg. Tempat makan yang tak kalah enak.
"Eh, tadi gue denger Sherly and the genk lagi ngomongin loe Nin" ucap Ratu.
"Ngomongin apa emang?"
Ratu mengedikkan bahu. Tatapannya beralih dari piring ke Anin. Sambil menerka-nerka.
"Atau mereka udah tahu pernikahan nyokap loe dan bokap nya Anggara".
"Aduh jangan sampe deh, malas gue ma mereka" sahut Anin.
"Kalau mereka udah tahu, terus tahunya dari mana coba. Kan Anggara nggak mungkin publishin pernikahan bokapnya kan" Lisa angkat suara.
"Aduh, pusing gue".
____&&&_________
Satu bulan sudah pernikahan Arimbi dan Jaksen, satu bulan pula Anin menjadi bagian keluarga mereka. Anin sangat menghormati papa Jaksen juga Safira. Mereka memperlakukan Anin layaknya keluarga mereka. Kalau ibunya tentu saja, Arimbi di jadikan ratu oleh papa Jaksen.
Anggara, lelaki itu amat muak dengan situasi keluarga mereka. Ia makin tidak suka dengan Anin. Ya, wajar saja Anin adalah rivalnya di kelas maupun di forum apa saja. Selalu pendapat mereka bertentangan.
Soal menyatunya dua keluarga itu akhirnya mulai tercium oleh teman-teman mereka di kampus.
"Wah, sepertinya loe punya mama baru yah?".
Wajah Anggara memerah, tangannya terkepal. Musuhnya itu menyeringai. Ingin rasanya menonjok muka menyebalkan Roy dan kawanannya.
"Nyokapnya si Anin? Hahaha..." Mereka tertawa serempak tanpa memperdulikan orang-orang di sekitar.
Anggara malas meladeni mereka. Dengan gesit ia menghilang dari tempat itu. Jika lama berada di sana lama-lama bisa memancing emosinya. Ia dan Roy selalu bersitegang dalam urusan apapun. Pernah Anggara mendekati salah satu cewek, seminggu kemudian Roy telah memacari cewek itu.
Sementara Anin sedang menghadapi Sherly. Sherly adalah salah satu gadis populer di kampus ini. Wataknya keras kepala, suka menindas, dan sangat dominan. Dia menyukai Anggara, sangat terobsesi dengan Anggara.
"Eh, cupu. Berita itu nggak benar kan".
Anin diam saja, bukan berarti takut. Anin memang tidak ingin takut dengan model orang seperti Sherly dan genk-genk nya. Mereka pun segan pada Anin. Sebab Anin termasuk mahasiswa berprestasi.
"Napa loe diam, hee!" Bentak salah satu teman Sherly.
"Nggak ada mulut"
"Ngomong ih".
"Kalian mau melakukan kekerasan lagi?" Ucap Anin setelah mendapat sentilan di bagian lengannya.
"Makanya jawab kalau di tanya udik".
Anin menghela nafas, ingin lari tapi ia terkepung. Susah menghadapi gadis-gadis manja ini. Kalau bukan orang tua mereka berpengaruh di kampus ini Anin sudah mencambak satu-satu rambut mereka.
Kampus ini memang banyak di sponsori oleh kaum elit seperti pak Jaksen, orang tua Roy, orang tua Sherly dan orang tua teman Genk mereka. Jadi, anak-anak mereka sangat mudah di kenali. Karena dosen akan membebaskan mereka memakai fasilitas apa saja di kampus.
"Okey, loe mau gue jawab apa" tantang Anin pada Sherly.
"Jawab yang benar lah, heran. Katanya pintar".
"Masalahnya gue nggak ngerti pertanyaan loe, "
"Jangan pura-pura bego Nin, berita yang tersebar. Loe jadi keluarganya Anggara?"
Anin berpikir sejenak, ia tidak ingin terbawa emosi. Harus punya cara cerdik agar lolos dari pertanyaan gadis macan ini tanpa menimbulkan efek samping.
"Keluarga? Sejak kapan gue jadi keluarga Anggara" Anin tertawa dengan sinis.
"Sejak nyokap loe nikah ama papa Anggara".
"Kenapa loe nggak tanyain ini ke Anggara langsung atau ke papanya, gue sama sekali nggak ngerti istilah keluarga yang loe maksud tadi. Okey". Anin menepuk pundak Marta lalu berlalu dengan cepat. Ia memanfaatkan momen saat Sherly mematung sejenak.
"Anindya.....!!" Teriak Sherly dari kejauhan. Anin menutup kuping sambil berlari tidak menoleh kebelakang.
Rupanya keluar dari kandang ular, Anin masuk kandang buaya. Tak disangka ia harus menghadapi Roy saat ini. Benar-benar menyebalkan. Dalam hati ia berdecih.
"Huh gadis songong" gumam Roy namun terdengar di telinga Anin. Anin tidak menanggapi. Sampai lelaki itu berlalu dari hadapannya.
Anin menghela nafas panjang, entah kenapa ia sangat tidak menyukai anak-anak orang kaya itu. Mereka sangat sombong, suka membully dan berbuat semau mereka.
Jika bukan karena pintar, Anin pasti akan jadi sasaran bully seperti yang dialami beberapa mahasiswa di sini.
Perlu di ketahui kampus tempat kuliah Anin adalah kampus yang di fasilitas oleh para pengusaha elit.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Step Brother
ChickLitkehidupan Anin berubah setelah sang ibu menikah lagi dengan duda kaya raya. Anin jadi mempunyai saudara tiri dua orang. suatu takdir mengubah segalanya menjadikan Anin menikah dengan anak dari sang ayah tiri.