Dua Minggu berlalu tak sehari pun Anin tak berkomunikasi dengan sang ibu dan beberapa kali ia berbicara dengan papa sambungannya itu. Kepulangan mereka tertunda karena masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan selain itu di pakai untuk berjalan-jalan. Soal pekerjaan di sini semua di kerjakan oleh suami Safira.
Saat ini Anin juga teman-teman seangkatannya sedang sibuk-sibuknya melakukan penelitian, observasi, dan sebagainya untuk keperluan tugas akhir mereka.
Beberapa kali Anin bolak balik memantau pintu utama. Ia sedang berada di ruang tamu, duduk di sofa dengan laptop di pangkuannya. Ia sedang merevisi proposal yang pernah ia ajukan tiga hari yang lalu.
Merasa ada yang memperhatikan dari jauh, Anin bergidik ngeri. Pada hal di depan ada satpam. Ia kembali masuk ke dalam. Gawai di genggamannya berdering tanda ada panggilan masuk.
Dengan ragu Anin menggeser warna hijau sebab nomor tersebut tidak ada dalam kontaknya.
"Halo"
"Halo"
(Tak ada jawaban)
Anin segera mematikan, pikirannya mungkin orang yang salah sambung.
Merasa bosan menatap laptop Anin pindah ke ruang kelurga. Ia memencet remot tv mencari acara yang menarik dan menghibur. Gawainya bergetar lagi, rupanya ada pesan masuk dari Safira.
Mbak Safira:
Dimana dik?Me:
Di rumah mbak
Mbak Safira:
Nggak ngampusMe:
Nggak, mager mbak. kuliahku tinggal satuMbak Safira:
Anggara di rumah?, Siapa aja di situ?Me:
Tadi pagi keluar, mungkin ngampus. Cuma bibi dan pak ImoMbak Safira:
"Oh, okey. Hati-hati di rumah yah.Me:
"Iya mbak. MakasihAnin meletakan gawainya lalu fokus kembali ke layar tv.
Tanpa terasa siang telah berganti malam, Anin makan malam seorang diri. Bik Sari yang merupakan asisten rumah tangga sedang berada di dapur. Sebenarnya ada tiga ART di ruang ini tapi Bik Sari ada satu-satunya yang menginap di sini sebab rumahnya jauh di kampung.
Setelah makan Anin kembali ke runag tamu dengan menenteng laptopnya. Namun telinganya menangkap suara keriwuhan di luar. Anin mengintip ke depan lalu berlari ka arah pos satpam.
"Pak Imo, kenapa tu di luar?" Tanya Anin pada satpam yang bernama Imo."Sepertinya ada tabrakan non" jawab pria paruh baya itu.
"Aku liat sebentar yah".
" Tapi non, aduh". Pak Imo menepuk jidatnya.
Anin berlalu keluar tanpa mendengarkan pak Imo."Ya ampun, ini kenapa" Anin bertanya pada orang-orang yang berkerumun.
"Ada yang kecelakaan, ditabrak" jawab salah satu orang disitu.
"Ditolongin, jangan cuma diliatin".
Salah seorang lelaki berhasil memapah korban yang sudah bersimbah darah.
"Ayo, tolongin. Kita bawa dia kerumah sakit. Temani saya beberapa orang saja".
Beberapa orang ikut dengan lelaki tadi. Anin dan beberapa orang yang berkerumun akhirnya bubar. Baru beberapa langkah saja Anin di hadang oleh tiga lelaki yang tak diketahui dari mana dan berpakaian serba hitam. Kakinya mundur perlahan lalu berlari kebelakang tapi ketiga lelaki tadi ikut mengejarnya. Anin semakin panik dan berteriak minta tolong namun ada tangan yang menariknya dari depan dan ikut lari bersama orang itu.
Anin mengamati punggung lelaki di depannya yang sedang memegang erat tangannya. Tubuh tegap di balut dengan jaket kulit. Anin mengenali lelaki ini dari postur maupun bau parfumnya. Lelaki yang telah menjadi saudara tirinya, Anggara.
Ya, dia Anggara.
Langkah Anin terseok mengikut langkah lebar Anggara yang telah menolongnya dari ketiga lelaki tadi. Keadaan sudah cukup aman, tapi Anin sangat capek karena berlari terlalu lama bukan hanya itu arah mereka berlari bukannya mengikuti jalan raya namun harus belok ke lorong-lorong yang Anin tak tahu kemana arah mereka pergi.
Masih dengan napas yang memburu Anin duduk berjongkok.
"Ini dimana sih?"
Anggara bergeming, lelaki itu masih celingak-celinguk mengawasi keadaan sekitar.
"Mereka siapa, loe punya musuh?"
"Bisa diam nggak!"
"Tapi...."
Seketika tangan besar Anggara berhasil membungkam mulut Anin. Lalu menyeretnya ke lorong yang sangat sempit diantara dua tembok. Posisi Anin berada di depan Anggara. Sekilas terlihat seperti berpelukan.
Terdengar derap langkah kaki, suara yang bersahutan serta suara benda-benda yang pecah. Beberapa orang bercakap-cakap namun tidak sampai terdengar oleh mereka.
Anin menahan napas, antara takut dan gugup. Takut jangan sampai mereka di temukan dan gugup sebab posisi mereka sangat berdekatan sampai-sampai napas Anggara terasa oleh Anin. Untung saja Anggara segera mengganti posisinya sehingga mereka saling membelakangi. Anggara ingin memastikan keberadaan orang-orang itu. Anin pun ikut menghadap punggung kokoh Anggara.
Seketika Anggara berbalik kebelakang saat orang-orang itu tiba-tiba berjalan ke arah persembunyian mereka. Karena terkejut tanpa sadar Anin memeluk badan Anggara sambil menelusup kan wajahnya di dada Anggara. Kini giliran pria itu yang menahan napas, antara gugup dan marah. Suara derap langkah yang terdengar semakin menjauh membuat keduanya lega. Keadaan makin tenang namun kedua insan itu masih dalam posisinya.
Anin melepaskan pelukannya ketika mendengar deheman, ia mendongakan kepala bersitatap dengan wajah Anggara. Gugup, mata elang Anggara menatapnya namun tidak dengan tajam seperti biasanya. Kali ini tatapan bersahabat, terukir senyum tipis dibibirnya dan kedipan mata yang seketika mengembalikan kesadaran Anin. Sangat malu tertangkap basah sedang memandangi Anggara.
Kini mereka sedang di jalan pulang, Anin mengekori langkah Anggara di belakang. Lagi-lagi ia terkesima dengan tubuh tinggi dan tegap Anggara. Anggara benar-benar definisi ganteng yang sesungguhnya dilihat dari sisi manapun. Anin menggelengkan kepalanya merutuki kekagumannya pada pria di depannya itu, ia tidak boleh melupakan sifat Anggara yang berada di bawah rata-rata.
_____________&&&&&_____________
Anggara berkali-kali mengumpat kasar setelah menerima telpon dari orang yang ia kenal. Masih terngiang beberapa menit yang lalu saat seseorang itu tertawa meremehkannya bahkan mengancamnya. Anggara begitu geram, ia tak ingin masalahnya melibatkan keluarga terlebih itu anggota baru di keluarga mereka.
Tak lama ponselnya berdering lagi, tanpa melihat siapa yang memanggilnya Anggara langsung menerimanya.
"Halo, ?"
"Anggara"
Anggara kembali melihat layar ponselnya, rupanya itu orang kepercayaan papanya.
"Ada apa, kenapa menelponku?"
"Dengarkan, tuan Jaksen dan nyonya Arimbi kecelakaan".
"Apa! Ngomong apa loe, papa masih di Singapura"
"Iya, mereka kecelakaan di sini Keadaanya sangat parah"
"Tidak, nggak mungkin". Anggara langsung mematikan sambungannya.
Ia kembali mendial nomor Jaksen namun tidak aktif. Perasaannya campur aduk, ia masih ingin memastikan kebenarannya siapa tahu yang kecelakaan bukan papanya melainkan orang lain. Namun harapannya sirna ketika masuk sebuah gambar melalui aplikasi WA, Jaksen tengah berbaring di rumah sakit dengan berbagai alat penopang hidup. Tak lama masuk lagi sebuah pesan,
"Nyonya Arimbi tidak bisa diselamatkan"
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
My Step Brother
ChickLitkehidupan Anin berubah setelah sang ibu menikah lagi dengan duda kaya raya. Anin jadi mempunyai saudara tiri dua orang. suatu takdir mengubah segalanya menjadikan Anin menikah dengan anak dari sang ayah tiri.