Cerita Gyan

24 10 3
                                    


Dalam waktu hampir lima menit, gue tanpa sengaja memantapkan pandangan pada sebuah foto yang dipajang dengan bingkai kayu berwarna coklat tua mengkilat.

Seperti tersihir, atensi gue terhadap foto itu benar-benar membuat gue tidak bisa lepas acap kali gue mengambilnya dan sedikit mengelus kaca bingkai tersebut. Ada sedikit debu halus yang menandakan sudah lamanya foto ini terpajang di meja kecil samping tempat tidur.

Foto itu memperlihatkan seorang perempuan yang duduk dan memberikan senyum manis terindahnya. Dengan pakaian polos dan dilapisi dengan selendang tipis bermotif bunga tulip. Itu kesukaannya.

"Ma.. Gyan kangen."

Satu kalimat yang keluar dari mulut gue menandakan betapa rindunya dengan perempuan yang ada di foto ini. Entah sudah berapa lama Beliau meninggalkan gue sendirian dalam dunia yang penuh dengan kekejaman hidup.

Gyan kecil saat itu sudah harus terlatih untuk melihat satu peristiwa yang tidak pernah di duga-duga. Sebuah peristiwa yang sangat memilukan, dan tidak akan pernah menjadi bagian dari kenangan hidup.

"Kalo aja Mama ada di sini, Gyan mungkin gak akan sekurus ini.. heheheh." Tanpa sadar, air mata gue mulai mengembang. Menandakan bulirnya akan jatuh membasahi pipi tirus gue ini.

"Gyan tau, ini semua takdir Allah. Tapi.. tetep aja Gyan masih merasa ini semua gak nyata."

Bulir air mata yang jatuh rupanya benar-benar membasahi pipi gue sampai lepas landas ke baju. Otak gue seakan memberi kilas balik kehidupan yang selama ini gue jalani. Nyatanya tidak semulus yang diperkirakan.

Benteng pertahanan yang selama ini gue buat nyatanya runtuh berkeping-keping kala gue mulai menangis tersedu-sedu.

"Lebih baik kita berpisah saja, daripada seperti ini."

"APANYA YANG BERPISAH?!? TIDAK!"

"Untuk apa aku harus menahan semua rasa sakit ini bersama anakku, hanya karena perlakuan tidak pantasmu itu!"

"Kamu jangan pernah bicara seperti itu di depan wajahku! Selama ini aku sudah memberikan semuanya untukmu dan Gyan-"

"Tidak. Kamu hanya memberikan sebuah materi, tetapi bukan kasih sayang sesungguhnya. Kalau kamu merasa bahwa semua yang kamu lakukan adalah untuk kebaikan kami.. kenapa kamu menyiksaku?"

"Kamu bicara apa-"

"DIAM!! Aku harap ini terakhir kali nya kita bicara dengan nada tinggi seperti ini. Masa bodo anakku melihat atau tidak. Kalaupun melihat, aku yakin dia paham siapa yang salah di sini.."

'Papa.

Aku harap Papa tahu, bahwa selama ini bukan hanya Mama yang menanggung semua rasa sakit, tapi aku juga terkena imbasnya. Aku sudah paham sejak pertengkaran kalian berdua. Sisi lain memperlihatkan bukan seperti Papa sewaktu aku masih berumur tiga tahun sampai menginjak kelas enam Sekolah Dasar. Semua terlihat sia-sia untukku, Pa.'

-----

"Jadi gue temenin gak?"

"Jadi. Tolong banget inimah Am.."

"Santuy sih. Gue juga gak ngapa-ngapain hari ini."

Ikram pun tanpa sadar menepuk lengan gue dengan keras. Tanda bahwa Ia tahu gue akan baik-baik aja. Bohong.

Bahkan sesaat setelah gue menangis sendirian di kamar, ingatan gue akan Mama seperti masih terperangkap bagaikan penjerat tikus yang kuat.

Selama 25 tahun gue hidup sebagai Gyan Abraham Farizqi, Bukan tidak mungkin gue tidak rindu akan kehadiran sosok Ibu di dalam hidup gue. Ibu seperti lampu yang terang benderang dan kilaunya yang sangat cantik seperti bintang di langit.

Gak ada yang bisa menggantikan sosok Mama di hati gue.

Sebenarnya agenda hari ini bukan seperti sebelum-sebelumnya, dimana setiap tanggal 23 gue selalu datang ke makam Mama entah untuk sekedar mengganti beberapa bunga yang sudah layu, atau mungkin hanya sekedar mengelus batu nisan yang dipercantik sedemikian rupa dan merayakan ulang tahun Mama.

Hari ini juga mungkin akan menjadi sejarah untuk gue, dimana gue sudah mempersiapkan hati untuk ke tempat yang gue tuju nantinya.

Ikram sengaja meminjam mobil Danish hanya untuk mengantar gue. Tidak tanggung-tanggung, ia bahkan berhenti untuk membeli sebuah buket bunga yang agak besar dan entah berapa harganya.

"Ngapain gila lo beli segede gitu?"

"Ya beli aja. Daripada lo yang beli, gak akan mau pasti."

Buket bunga itu diletakkan di kursi tengah mobil dan diikat dengan sabuk pengaman. Sebenarnya yang niat tuh gue atau dia sih?

Sesampainya di tempat tujuan pun, gue serta-merta tidak langsung turun dari mobil. Melainkan hanya duduk diam dan memandang tepat kearah depan. Gerbang makam yang tinggi, cat yang terkelupas dan sudah berkarat seperti memperlihatkan suasana makam yang suram.

"Ayo turun. Udah siap belum lo?"

Gyan, gue yakin lo pasti bisa.

Bisikan itu memerintahkan gue untuk turun dari mobil. Wangi khas makam yang dipenuhi dengan bunga mawar, bau tanah yang tercium dengan hanya berjarak beberapa meter, menandakan bahwa ada yang baru dimakamkan di tempat pemakaman ini.

Menelusuri beberapa blok makam ini cukup membuat gue dan Ikram kewalahan. Walaupun sebelumnya gue udah bertanya ke salah satu keluarga gue, di sebelah mana makam itu ditempatkan.

Berjalan, berjalan, berjalan dan tanpa sadar..

Ketemu.

Abraham Said.

Nama itu terpampang dengan jelas di batu nisan yang sudah pudar serta bunga yang sudah sangat kering. Rupa nisan tersebut benar-benar lusuh. Sepertinya memang tidak ada yang pernah datang kesini lagi sejak hari meninggalnya Papa.

"Assalamu'alaikum, Pa.." Gue memberi salam ke makam tersebut sambil mengelus batu nisannya.

Rasa-rasanya, semua hal yang sudah terjadi di kehidupan gue, Mama ataupun Papa luruh kala melihat makam Papa tertata di sini. Tanpa sadar gue mengeluarkan air mata yang lumayan deras.

"Maaf.. Gyan baru kesini lagi,"

"Maafin Gyan ya Pa.. dulu cuma datang pas Papa sudah dimakamkan. Sudah terlanjur melihat kayu yang ditancapkan di tanah atas nama Papa."

"Gyan tahu, mungkin selama ini Papa mengharapkan Gyan untuk datang kesini. Gyan paham, tapi Gyan gatau harus berbuat apa.."

"Seakan-akan ingatan semua tentang Papa selalu menghantui Gyan. Inilah semua alasan kenapa Gyan masih belum bisa memaafkan atas segala perlakuan Papa dulu."

"Tapi Gyan sadar, kalau terus-terusan seperti ini.. rasanya hidup Gyan akan semakin gak tenang. Tidak pernah memaafkan orang yang bersalah sekalipun ia sudah gak ada di dunia ini, itu semakin memberatkan Gyan kedepannya,"

"Gyan harap, kedatangan Gyan kesini buat Papa tenang di sana. Gyan sudah memaafkan segala kesalahan Papa, apapun itu.. semuanya."

Papa,

Aku harap semua kesalahan di hidup keluarga kita, bisa menjadi pelajaran bahwa Tuhan paham akan segala dosa dan perbuatan hamba-Nya. Tuhan Maha Pemaaf, manusia pun juga. Manusia diciptakan akal dan pikiran, agar bisa merasakan dunia yang kejam ini.

Kesalahan yang dulu bukan berarti bisa terulang lagi di masa depan. Tergantung pribadi dan pilihan hidup mereka masing-masing. Tinggal bagaimana kita, manusia mengatur segalanya agar hidup bisa menjadi lebih baik kedepannya.

Spring to SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang