Danish, Gyan, Ikram, Haidar dan Adnan sadar akan pertemuan tidak sengaja mereka di masa lalu. Yang mana membuat mereka paham bahwa; hidup tidak berotasi dan berpihak pada diri sendiri, serta adanya tendesi antar satu dan yang lainnya.
Manik mata yang tajam itu menatap intens sambil membenarkan kacamata bulatnya dan terlihat seperti menunggu jawaban dari mulut gue. Terhitung ini adalah pertanyaan yang ketiga yang ia tanyakan dan selalu sama.
"Belom, Jar. Belom siap gue."
Gue memainkan jari jemari dengan canggung dan tidak berani menatap teman gue yang satu itu. Pertanyaannya seolah mengintimidasi.
"Kapan siapnya? Ga kasian sama kakak lo dan calon suaminya?"
"Gak tau.. gue beneran belom siap banget."
Tapi emang bener, gue beneran gak punya nyali sekeras baja buat pulang dan ketemu sama orang-orang yang mungkin selama ini udah nyariin gue ke mana-mana.
Dasar lo Am nyusahin orang aja kerjaannya.
"Gue kasih tau nih, gue ga masalah lo mau selama apa disini. Cuma gue harap, lo jangan egois. Kalo udah siap, balik. Kalo ga yaudah gausah dipaksain juga."
Fajar tau banget gue bukan tipikal orang yang ragu ketika memutuskan suatu hal. Kalo gue terlihat setengah-setengah di matanya, udah pasti gue gak akan berani ambil langkah.
"Lo keberatan gue ada disini?"
Pertanyaan yang bahkan gue tau ini bodoh pun keluar juga dari mulut. Fajar cuma geleng-geleng kepala. Mungkin udah males ngeladenin gue yang gak jelas begini hidupnya.
"Pertanyaan lo kek bocah. Kalo gue ga suka lo ada disini ngapain juga gue nerima lo buat jadiin ini kosan sebagai tempat kabur. Dari awal udah gue usir kali!"
Shit! Bener juga.
Fajar kemudian bergegas ke kamar mandi karena hari ini dia harus kerja. Sementara gue? Jadi pengacara aja di kosan ini alias pengangguran banyak acara.
Tentang Fajar,
Bisa dibilang dia sohib gue semasa kelas tiga SMP. Doi pindah ke sekolah gue disaat keadaan gue masih kacau. Sempat berpisah saat SMA dan di tahun kedua kuliah gue memutuskan pindah ke kosan Alam sampe gak sengaja ketemu lagi sama dia. Yang gue rasakan saat itu? Pastinya seneng dan bangga, kapan lagi bisa ketemu sohib kental lo yang dulu suka mabal bareng ke kantin kalo ada jam kosong, tapi kalo pas balik ke kelas gurunya malah ada. Masa-masa itu jadi terlintas kembali di kepala.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mengingat cuma Fajar yang lebih paham permasalahan hidup keluarga gue, jadi gue memutuskan untuk kabur ke Kosan Alam, tepatnya ke kosan Fajar. Suasana Kosan Alam sudah sangat berubah sejak terakhir kali gue tinggal di sini. Yang dulunya lantai 1 penuh dengan beberapa kamar, sekarang yang terlihat menjadi lebih mewah seperti adanya ruang tamu, ruang santai, dapur, ruang makan dan pastinya kamar mandi berukuran besar. Pantesan Fajar betah banget tinggal di sini dan gak pindah-pindah.
Mungkin sebelumnya gue harus meminta maaf kepada Bang Danish, Gyan, Haidar dan Adnan. Karena saat itu gue kabur tanpa kabar. Gue merasa bahwa kepergian gue bukanlah suatu hal yang penting mengingat gue sepertinya hanya menjadi pemanis aja diantara mereka berempat. Miris banget emang pemikiran gue, tapi nyatanya begitu.
