Adaptasi

14 5 0
                                    

Awalnya gue bingung.

Ketika menjajaki usia 17 tahun, pencarian jati diri seolah menjadi tanggung jawab wajib bagi anak laki-laki. Entah kenapa terbesit di dalam pikiran gue kala itu, apa jadinya kalo gue tidak mencari jati diri tersebut? Apa gue tidak akan tumbuh sebagai Adnan Sulaiman yang sekarang? Atau mungkin gue akan tumbuh menjadi pribadi yang lain?

sekelebat pikiran itu terus menghantui karena gue seperti dikejar oleh keadaan dan waktu. Padahal Adnan remaja selalu berpikir bahwa umur tuh masih panjang, dan masih banyak yang bisa gue lakuin.

Tetapi pikiran gue berubah kala Om Warda memberikan wejangan yang membuat gue menjadi paham akan suatu hal.

"Kamu tau gak, tanggung jawab lelaki itu sebesar apa?" Tanyanya.

Gue menggelengkan kepala.

"Ketika menikah nanti, lelaki punya tanggung jawab untuk menafkahi istri dan anak, ibu serta adik-adik perempuannya. Dan di mata sang Ibu, walaupun sudah menjadi milik orang lain, anak lelaki tetaplah anaknya sampai kapanpun."

"Maka dari itu, kenapa Om selalu bilang sama kamu bahwa tanggung jawab lelaki itu besar. Karena ketika kamu sudah dewasa, kamu akan sadar bahwa kedua bahu yang tertata baik dan kuat di tubuhmu akan semakin berat saat melangkah."

Tapi itu dulu, saat gue masih berumur 13 tahun. Gue bahkan belum terlalu paham dengan wejangan Om Warda pada saat itu.

Sejak Mama meninggal, keadaan berubah seperti parasut yang terjun dari ketinggian tertinggi. Dan perlahan-lahan hidup gue mulai turun ke titik bawah keterpurukan.

Gue sempat marah.

Kenapa tidak adil? Ada yang salah kah dengan keluarga gue?

Ternyata gak, Tuhan gak salah sama sekali. Begitu pun keluarga gue. Semua ini memang takdir yang tidak akan pernah bisa gue ubah lagi kapanpun gue mau.

Papa yang berprofesi sebagai Polisi, membuatnya sibuk dan terlihat hidup seperti duda tak beranak. Gue dan Lana, ditelantarkan begitu saja. Bahkan gue sampai merasa bahwa bukan hanya Mama yang sudah hilang di dunia, Papa juga.

Sampai akhirnya gue mendengar curhatan Lana yang membuat hati gue teriris.

"Bang, Lana capek."

"Eh? Kamu kenapa?"

"Gak tau. Lana capek aja hidup kayak gini terus. Mama udah gak ada, Lana cuma bisa bertumpu sama Abang aja,"

Gak bisa bayangin, Ilana yang masih SMP dan mungkin belum terlalu paham sama dunia yang sedang dia alami ini, bicara kayak gitu di hadapan gue.

"Lana mau SMA di Palembang aja boleh gak sih? Lana mau tinggal sama Tante Shira ajalah."

"Terus Abang ditinggal gitu?"

"Abang ikut Lana."

Gue paham maksudnya.

Gue juga sadar sih, kehidupan keluarga seolah ikut mati ketika Mama gak ada. Papa sebagai kepala keluarga juga tidak ada inisiatif untuk membangun kembali keterpurukan yang ada di keluarga ini.

Selama ini yang selalu membantu gue dan Ilana adalah Om Warda. Adik Papa yang punya sifat bertolak belakang dengannya ini terkadang membuat gue berpikir, bisa gak sih Om Warda jadi bapak gue aja?

Kebaikan yang udah dirinya perbuat kepada gue dan Ilana bahkan lebih besar ketimbang Papa. Walaupun Om Warda terpisah jauh dengan Tante Shira di Palembang, rasa-rasanya mereka tetap bisa memanfaatkan komunikasi seperti video call dan segala macamnya.

Spring to SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang