Menimbang

10 3 0
                                    

"Udah berapa lama di sini?"

Suara itu cukup mengagetkan gue yang sedang duduk menghadap ke taman sambil memandangi bunga-bunga yang udah tumbuh dengan baik. Dirinya langsung duduk di samping gue tanpa memberi aba-aba sedikit pun.

"Orangtua lo kemana?"

"Mereka balik duluan. Nih, gue disuruh pulang sendiri." Ujarnya sambil menunjukkan sepasang kruk yang ia pegang dengan kedua tangannya.

"Yaudah, pulang sama gue aja ya nanti."

Pertanyaan itu seolah-olah dipahami olehnya, dan ia pun mengiyakan tanpa ada pertimbangan apapun.

Suasana Rumah Sakit PMI di siang hari itu gak terlalu ramai. Gue yang sebelumnya harus mengantar Om Dito untuk check up mengenai penyakitnya, sudah lebih dulu tahu agenda apa yang akan Mentari lakukan di hari yang sama. Makanya kenapa kita bisa ketemu.

"Tapi gue gak mau langsung balik ke Jakarta, mau di sini dulu." Ujarnya tiba-tiba.

"Mau kulineran? Atau mau jalan-jalan dulu?"

"Mau semuanya."

Jawaban singkat itu tanpa sadar membuat gue menarik kedua ujung bibir dan membentuk senyum tipis. Dasar lo Dar lama-lama kaya orang gila.

Selama ini gue emang terbilang diam-diam aja tentang Mentari. Bahkan di awal-awal pendekatan, gak ada satupun orang yang tau selain Dirga. Kalo gue cerita ke orang rumah, bisa-bisa mereka langsung bahas mau pake jas warna apa buat acara nikahan. Bloon emang.

Karena menurut gue, untuk hal seperti ini gak harus semua orang tau. Cuma waktu yang bisa menentukan, sisanya urusan kita sendiri. Dirga juga bukan tipikal teman yang memaksakan sebuah keadaan. Kalo gue mau curhat, Dirga dengan senang hati akan membuka pintu lebar-lebar. Sama dengan sebaliknya, dia gak akan maksa orang untuk cerita hanya demi memuaskan ke-ingin tahu-an nya.

Kalo yang dibilang Dirga gue udah mulai menunjukkan ketertarikan pada Mentari, iya itu bener. Ya emang sih, takdir yang udah Semesta buat untuk mempertemukan kita berdua punya cara yang berbeda. Tapi dari situ gue paham, gak selamanya pertemuan selalu punya kesan yang baik. Contohnya kaya gue sama Mentari.

Kecelakaan yang menimpa Mentari pada saat itu juga menjadi bentuk kesadaran gue akan hal-hal sekitar. Gue baru sadar ternyata gue titisan manusia bodoamatan dan gak peduli sama orang lain kalo mereka bukan orang terdekat.

Gak ada rasa yang membuatnya jadi spesial hanya karena dia perempuan. Bahkan pas kejadian juga, posisi gue lagi laper-lapernya dan baru aja makan beberapa suap sendok. Mana kepikiran kalo ternyata gue udah bertindak sejauh itu untuk menolongnya.

Ya kalo kata orang, ngapain juga ngurusin orang lain yang bahkan bisa aja gak butuh bantuan kita. Tapi yakali men, kalo urusan kecelakaan kita masih bisa bersikap bodoamat. Kesannya gue makhluk paling kurang ajar di mata Tuhan karena se-gak peduli itu jadi manusia.

Mungkin itu kenapa, hasrat ingin berbuat baik gue muncul. Persetan yang pada saat itu gue kelaperan dan gak jadi sholat maghrib hanya karena gue lembur gara-gara ada sisa kerjaan yang tanggung kalo gak diselesain hari itu juga. Gue gak menyesal barang satu detik pun, ketika Semesta membuat keadaan dengan gue harus menolong Mentari.

"Yaudah tapi nanti nganterin Om Dito balik dulu ya kerumahnya."

Dirinya pun mengangguk. Tak lama setelah itu, Om Dito datang bersama dengan dokter yang selama ini sudah merawatnya sampai dia bisa berjalan dengan setenang itu tanpa rasa takut.

"Eh ini siapa toh? Perasaan tadi kita cuma berdua, Mas." Refleks, tangan Mentari mengarah ke Om Dito untuk meminta salam. Om Dito pun membalas salaman tersebut.

Spring to SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang