"Ma, Arsa di mana?"
Setelah sekian lama diam, kalimat itulah yang keluar pertama kali dari bibir pucat Bianca. Rianti dan Thomas saling berpandangan, lalu kembali menatap Bianca.
"Arsa baik-baik aja, Nak," balas Rianti. "Kamu fokus dulu sama kese—"
"Arsa di mana, Ma?" tanya Bianca lagi. "Ica mau ketemu."
"Arsa dibawa ke Singapura sama Papanya," sahut Thomas. "Dia menjalani pengobatan di sana."
Bianca kembali diam. Setidaknya, sahabatnya itu baik-baik saja, kan?
"Ica sekarang bobok, yuk? Kamu ha—"
"NGGAK! ICA NGGAK MAU! NGGAAAKKK!!" Bianca menutup kedua telinganya rapat-rapat sembari berteriak histeris. Tubuh gadis itu gemetar hebat, air matanya kembali luruh.
"Ica, tenang, Nak," Rianti memeluk Bianca erat-erat, tak peduli gadis itu terus meronta.
"NGGAK, ICA NGGAK MAU TIDUR! NGGAK, MAA!!" teriak Bianca lagi.
"Iya, iya, Ica nggak usah tidur, Mama sama Papa temenin di sini," ucap Rianti. Mati-matian ia berusaha menahan air matanya. Bianca selalu mengalami mimpi buruk di setiap tidurnya. Gadis itu selalu meracau sambil menangis dan meminta tolong. Berkali-kali gadis itu berusaha untuk tetap terjaga hingga pagi untuk menghindari mimpi buruk.
Bianca tak mendengarkan ucapan Rianti. Gadis itu masih saja histeris, hingga akhirnya dokter datang dan membius gadis itu dengan obat penenang. Tak butuh waktu lama, hingga Bianca mulai tertidur.
***
Satu bulan berlalu, kondisi Bianca masih tetap sama. Diam seribu bahasa, dengan sesekali berteriak histeris karena ketakutan. Selama satu bulan itu juga, Bianca masih diam di rumah sakit akibat tak mau pulang dengan mobil.
Tiba-tiba, pintu kamar rawat Bianca terbuka. Rianti datang dengan senyum sumringahnya. "Ica Sayang, tebak siapa yang datang?"
Bianca diam, tak menjawab. Pandangannya kosong ke arah jendela kamar yang menampilkan taman rumah sakit. Melihat itu, Rianti tetap tersenyum, meski dalam hati ia merasa teriris.
Rianti berjalan mendekati Bianca yang terduduk di kursi roda, lalu mengusap kepala putrinya perlahan. "Ica, Ica pasti seneng kalo tau siapa yang dateng."
Bianca mendongak, menatap mamanya. "Arsa?" tanyanya lirih— hampir tak ada suara. Melihat Rianti mengangguk, jantung Bianca berdegup kencang.
Melihat ada sedikit perubahan di wajah anaknya, Rianti langsung memutar kursi roda Bianca menghadap pintu. Saat itu juga, pandangan Bianca dan Arsa bertemu.
"Ar-sa..." Bianca tak bisa membendung air matanya lagi. Gadis itu menangis tersedu-sedu. Saat ia merasakan pelukan hangat Arsa, tangis Bianca malah semakin keras.
Nyaman, namun asing. Itulah yang dirasakan Bianca. Namun gadis itu tak peduli. Melihat Arsa baik-baik saja sudah cukup membuat Bianca tenang.
Melihat putrinya yang kembali berekspresi, membuat Rianti sedikit lega. Yang dibutuhkan putrinya selama ini hanya Arsa, dan sekarang, laki-laki itu sudah kembali. Rianti memutuskan untuk keluar dari kamar, membiarkan dua sahabat itu melepas rindu.
Bianca mencengkram ujung baju Arsa erat, meremasnya hingga kusut. Arsa sama sekali tak protes, ia hanya diam sembari terus mengelus puncak kepala Bianca.
"Ssssh, im here, Ica."
***
"Arsa, bobok sini, ya? Jangan pulang."
Bianca mencengkram erat baju Arsa, menahan laki-laki itu agar tak beranjak. Tanpa berpikir lama, Arsa langsung mengangguk. Ia menarik Bianca ke dalam pelukannya, menyandarkan kepala gadis itu di dada bidangnya.
"Ica bobok, ya? Aku temenin."
Bianca mengangguk, menyamankan posisinya dalam pelukan Arsa sembari menikmati usapan di kepalanya.
Dua minggu sejak kembalinya Arsa, Bianca akhirnya mau pulang. Mati-matian Arsa berusaha untuk membujuk dan meyakinkan gadis itu, bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Setiap hari, Arsa selalu datang ke rumah Bianca untuk menemui gadis itu. Tak jarang juga ia menginap, karena Bianca tak ingin ditinggal.
Bianca tak ingin pergi fisioterapi, kalau bukan Arsa yang menemani. Gadis itu benar-benar tak ingin lepas dari Arsa. Kalau Arsa harus pulang pun, laki-laki itu pasti menemani Bianca tidur lewat video call.
Pernah sekali dua kali Arsa datang ke rumah Bianca tengah malam, karena gadis itu kembali histeris akibat mimpi buruk. Rianti dan Thomas benar-benar tak bisa menenangkan Bianca, karena gadis itu hanya bisa tenang dalam pelukan Arsa. Hanya dengan mencium aroma tubuh Arsa saja, Bianca bisa kembali tertidur, meskipun sesekali ia harus terbangun karena tersentak kecil.
Sebesar itu pengaruh Arsa bagi Bianca.
***
"Sekarang, Ica mau kemana?" tanya Arsa. Baru saja Bianca mengikuti fisioterapi agar bisa kembali berjalan.
Bianca mengetuk-ngetuk dagunya, nampak berpikir. "Ke taman rumah sakit aja, boleh?"
"Boleh," balas Arsa. Ia segera mendorong kursi roda Bianca menuju taman rumah sakit.
"Di deket air mancur, Sa," ucap Bianca. Arsa menurut, mengantarkan Bianca menuju dekat air mancur, lalu duduk berjongkok di dekat kaki gadis itu. Tatapan Arsa fokus pada senyuman Bianca yang mampu membuat dadanya bergemuruh, bahkan sejak pertama kali bertemu.
"Sa, jangan ninggalin aku lagi, ya." Bianca menatap Arsa dengan pandangan memohon. Beberapa detik kemudian, Bianca menundukkan kepala, sembari memilin jari-jarinya. Gadis itu tersentak kecil saat sebuah tangan besar mengelus pipinya lembut dan penuh sayang.
"Nggak akan," ucap Arsa yakin. "Aku nggak akan ninggalin kamu, begitu pula sebaliknya."
"Meskipun kamu memohon buat pergi pun, aku nggak akan ngelepas kamu, Ica. Nggak akan pernah."
'Arsa'-nya aku italic, karena kalian tau lah ya kenapa 🥰🥰🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN LOVE AND LIES ✓
Teen FictionArsa itu ramah. Arsa itu hangat. Arsa itu lucu. Arsa itu punya banyak teman. Tapi itu dulu. Sekarang, Arsa itu dingin. Arsa itu pemarah. Arsa itu posesif. Arsa itu jahat. Arsa.... berubah. Dan aku tak tahu mengapa. ⚠️ TERDAPAT KATA-KATA KAS...