(11) Hari berikutnya, seperti biasa akulah yang duluan tidur dari Ayah. Tapi waktu itu aku terjaga dari tidurku. Namun tidak terduduk. Aku hanya membuka mata menatap langit-langit rumah kami. Aku menoleh ke sebelahku, kulihat Ayah sedang memainkan burungnya. Aku tak tahu Ayah lagi ngapain.
(12) Yang kulihat, Ayah menggenggam burungnya yang sedang hidup itu dan meng-guncang-guncangnya. Naik turun. Kuperhatikan terus, guncangan itu makin dipercepat. Sesekali terdengar suara ringisan dari mulut Ayah, seperti kesakitan. Akan tetapi Ayah tidak menyadari aku telah terbangun dan melihatnya.
(13) Dan kegiatan itu selalu Ayah akhiri, kalau dari burungnya sudah keluar cairan berwarna putih kental seperti susu. Aku sempat heran melihat apa itu yang keluar dari lubang kemaluan Ayah. Aku kira kencing tapi ini kental dan putih, bukan bening, dan juga sedikit. Ketika itu keluar, makin kuat rintihan Ayah.
(14) Bila itu sudah keluar, Ayah akan menghentikannya. Dan burungnya akan kembali mati. Kejadian itu sering aku saksikan tanpa tahu maksud dan tujuannya. Sampailah pada suatu saat, ketika Ayah lagi asik mengguncang-guncang burungnya, dia menyadari aku sudah terbangun dan melihatnya.
(15) Ayah tampak kaget melihat ke arahku. Lalu aku bertanya, Ayah lagi ngapain? Dia tidak menjawab. Kemudian dia menghentikan gerakan tangannya. Namun masih tetap menggenggam batangnya. "Tidurlah, kau!" katanya menyuruhku tidur. Setelah aku memejamkan mata, kembali Ayah melanjutkan gerakannya.
(16) Kadang aku memang langsung bisa tertidur lagi. Akan tetapi kadang aku kembali terjaga ketika kudengar erangan Ayah kuat-kuat. Owhhh... ahhhh..... ahhh.... katanya. Itulah yang kadang membangunkan aku. "Kenapa, Yah?" tanyaku. Lalu dia kaget lagi dan bilang tidurlah, gak usah lihat sini.
(17) Keseringan kepergok sedang begituan, lama-lama Ayah jadi terbiasa juga. Ketika aku bangun melihatnya begitu, dia tidak menghentikan lagi gerakannya. Namun melanjutkan terus dan mengacuhkan aku. Sampai keluar cairan putihnya dia tetap santai dan cuek dengan aku yang memperhatikannya.
(18) Begitulah seterusnya. Aku sering terbangun untuk pipis atau karena haus, mendapati Ayah tengah asik mengguncang-guncang burungnya.
"Aku mau pipis, Yah," kataku.
"Iya pipislah," jawabnya.
Jadi habis pipis, aku sering duduk di dekatnya ikut menyaksikan detik-detik keluarnya cairan putih itu.
(19) Bahkan aku udah hafal betul dengan kegiatan itu. Aku udah tahu kalau misalnya sudah mau keluar. Ketika Ayah menggoyang-goyangkan makin cepat, dan mengerang makin kuat, aku sering bilang, "udah mau keluar, udah mau keluar 'kan, Yah?"
Ayah sudah tidak merasa risih lagi melakukannya.
(20) Saking sudah terbiasanya, Ayah sudah mau langsung menggoyang-goyang burungnya ketika aku baru mau tidur. Dia rebahan di sampingku dan memainkan burungnya.
"Tidurlah!" katanya.
"Aku mau meliat Ayah muncrat dulu baru aku tidur," jawabku dengan polosnya. Aku menjadikannya tontonan rutin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayah Dan Anak Lelakinya
Short StoryDia Ayahku. Aku menyayanginya. Namun, rasa sayang ini bukan sayang yang biasa. Ada benih cinta terlarang yang menyelimutinya. Aku dan Ayah menghadapi dilema hidup yang penuh tanda tanya.