(81) Ayah berpesan supaya aku mengesampingkan kehidupan seksualku yang menyimpang itu. Fokus kerja, jangan malah nyari Bapak-bapak di sana. Ingat, Ayah di kampung. Itu pesan Ayah. Aku pun menangis sejadi-jadinya ketika itu. Aku pun meyakinkan Ayah akan melakukan itu semua. Aku berangkat ke kota.
(82) Aku merantau ke ibukota provinsi saja. 4 jam perjalanan dari kampung kami. Seminggu di kota aku langsung diterima kerja di tempat karaoke. Aku sangat menikmati pekerjaanku. Aku pulang semingu sekali ke kampung ketika off day. Kerinduanku ke Ayah pun bisa terus terobati.
(83) Di tempat kerjaku terasa gemerlap. Banyak pasangan homo yang datang untuk karaokean. Ada yang kumpulan brondong-brondong, ada Om-om dengan brondongnya, ada juga Om-om dengan Om-om. Di situlah aku kenal dengan Om Jufri. Pelanggan tetap kami yang tiap minggu pasti karaokean. Om Jufri sangat baik dan ramah.
(84) Suatu saat ketika Om Jufri pesan room, dia memanggil aku ke dalam. Dia tampak sangat genit saat modusin aku. Pura-pura minta diajarin mencet screen, Om Jufri pun berdiri merapat ke aku. Lalu Om Jufri menyenggol-nyenggol bagian anuku. Lalu tangannya dengan liar grepe-grepe aku. Lalu minta nomor hapeku.
(85) Setelah itu Om Jufri nelpon-nelpon aku dan ngajak ketemuan. Singkat cerita dia mengungkapkan perasaannya ke aku. Dia mau kami berteman. Sekilas terlintas wajah Ayah di ingatanku. Tapi godaan Om Jufri teramat kuat mengguncang imanku. Aku sangat terpesona melihat kegantengannya.
(86) Om Jufri terlalu ganteng menurutku. Tampak dari style-nya dia adalah Bapak-bapak berduit. Orangnya putih bersih dan terawat. Setelah kutanya apa profesinya, ternyata dia ASN. Kemudian Om Jufri mengajakku menginap di hotel, anehnya aku langsung menurut saja tanpa pikir panjang.
(87) Tak ada pembicaraan yang menjurus ke seks di antara kami. Dan aku pun tak ada pertanyaan ngapain kami ke hotel. Begitu masuk kamar hotel, pintu langsung ditutup. Aku duduk di tepi ranjang. Lalu Om Jufri langsung memelukku dan menciumiku. Aku pasrah saja tanpa perlawanan. Akhirnya kami cipokan.
(88) Setelah itu tangan kami sama-sama menjelajah. Dan kami pun saling melepas pakaian.
"Kamu suka mati lampu atau nggak?" tanya Om Jufri.
"Hidup lampu, Om," jawabku, "Aku mau melihat keindahan tubuh Om Jufri dengan jelas. Kalau gelap mana bisa kulihat," imbuhku.
Kini di hadapanku, Om Jufri sudah tak berpakaian. Bugil.
(89) Aku terbelalak melihat keindahan tubuhnya. Putih mulus dengan bulu-bulu di perutnya. Dadanya sih tak berbulu. Dan senjata milik Om Jufri sudah tegang. Aku tak tahan ingin segera mengulumnya. Ketika aku hendak berlutut, tiba-tiba Om Jufri yang duluan berlutut untuk mengulum burungku.
(90) Aku pun menikmati isapannya. Begitu piawai. Ya miriplah dengan kepiawaian Ayah. Lalu dia kembali berdiri. Tanpa aba-aba, kini aku yang langsung berlutut dan mengulum burungnya.
"Enak sekali," ucapnya berkali-kali. Lalu kami naik ke atas springbed dan kembali berciuman, setelah itu membentuk formasi 69.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayah Dan Anak Lelakinya
Short StoryDia Ayahku. Aku menyayanginya. Namun, rasa sayang ini bukan sayang yang biasa. Ada benih cinta terlarang yang menyelimutinya. Aku dan Ayah menghadapi dilema hidup yang penuh tanda tanya.