Chapter 16 - Raline Hestia Sastrawiguna

9 0 0
                                    

Ujian kesabaran yang kedua bagi Lintang ialah pertemuan dengan saudari tiri Gwen pada keesokan harinya.

Raline benar-benar seperti salinan dari semua watak dan karakter sang mama. Mereka berdua sungguh sama angkuh, sombong dan congkaknya. Tentu saja, memang buah selalu jatuh tak jauh dari pohonnya.

Diam-diam Lintang bersyukur ia terlahir dari rahim ibu yang sabar, baik hati dan penyayang. Bukan dari wanita semacam Nyonya Novia.

Lintang bergidik ngeri membayangkan bila ia yang ada pada posisi Gwen selama ini. Harus hidup serumah dengan dua "ular" berbisa pastilah merupakan ujian hidup yang maha berat.

Apalagi kenyataan bahwa mereka lah penyebab sang papa harus membagi kasihnya. Penyebab ia harus merelakan kehidupannya yang bahagia menjadi ternoda.

"Memangnya siapa kamu, mau menanyaiku beberapa hal soal kematian Gwen? Polisi bukan, detektif juga bukan, huh, mau cari muka biar Papa terkesan sama kepedulianmu pada Gwen, gitu?" Dengan angkuh dituduhnya Lintang sedang ingin mencari perhatian kepada Tuan Hartono.

"Denger ya, gak usah sok peduli. Semua juga tahu kamu berteman dengan Gwen selama ini cuma biar bisa dapet jabatan tinggi di tim redaksi 'kan?"

"Ish, memalukan!"

Sekuat tenaga disabarkannya hati atas segala kalimat pedas dan menyakitkan yang keluar dari mulut Raline. Ia harus bertahan tetap tenang agar tidak tersulut emosi hingga lupa akan tujuannya menemui gadis kurang ajar itu.

"Udah selesai menghujatnya?" Dengan nada sesantai mungkin, Lintang menanyai lawan bicaranya.

"Kalau sudah, silakan duduk, agar aku bisa mulai dan kita segera selesai."

"Aku hanya akan menanyakan beberapa hal yang mungkin kamu ketahui sehubungan dengan kematian Gwen. Tolong sedikit kerjasamanya, agar kita bisa menyeselaikan ini lebih cepat, oke?"

"Misalnya tentang apakah kamu pernah lihat atau memergokinya menggunakan obat terlarang?"

Dengan seksama diperhatikannya perubahan air muka Raline. Ia ingin tahu apakah dalam hatinya ada terbersit kecurigaan tentang itu atau tidak.

Raline hanya menampakkan raut wajah sedikit kaget. Sepertinya perkiraan Gwen mengkonsumsi obat terlarang juga tidak ada sedikitpun dalam benaknya.

"Mana ku tahu, kami tidak seberapa akrab." Akhirnya hanya jawaban diplomatis itu yang diucapkannya.

"Kalau mengenai teori bunuh diri itu, menurut pendapat kamu pribadi, apakah mungkin Gwen bunuh diri? Mengingat hidupnya begitu sempurna, harta berlimpah, pekerjaan yang disukainya, bahkan ia juga akan dilamar kekasihnya dalam waktu dekat ...,"

Raline yang sedang meminum jus yang disuguhkan Bik Yatmi untuk mereka tadi sedikit tersedak dan membuatnya terbatuk-batuk untuk beberapa saat. Dengan sigap Lintang menarik lembaran tissue dari kotak yang tersedia di meja dan mengulurkannya pada Raline.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Lintang memastikan.
Raline tampak masih berusaha menetralkan tenggorokannya dari efek tersedak itu.

Lintang sedikit heran, sepertinya Raline seakan sedikit terganggu saat diungkitnya perihal Gwen yang segera akan dilamar Vito. Apakah mungkin memang hal itu mengganggunya? Bukankah tadi dia bilang, tidak begitu dekat dengan Gwen? Berarti seharusnya perihal itu tidak ada pengaruhnya sama sekali, bukan?

"Aku tidak tahu, sudah kubilang kami bahkan tidak pernah bertukar sapa, aku tidak tahu ada masalah apa dengannya. Sudah jangan tanya-tanya seolah kamu ini penyidik polisi saja. Mereka sudah menanyaiku waktu itu."

"Silahkan pergi dari sini. Aku lelah dan tidak ingin diganggu lagi oleh hal-hal aneh dari kepalamu sendiri itu." Raline melempar pandang kesal pada Lintang sambil berdiri dan beranjak pergi ke arah tangga menuju lantai dua tempat kamarnya berada.

Mendadak sebuah ide muncul di kepalanya, Lintang segera berpura-pura berbicara di ponselnya.

"Iya Vito, bisa tolong jemput aku di rumah Gwen sekarang, tidak?"
Sengaja sedikit dikeraskan volume suaranya agar terdengar oleh Raline, sementara ia mengawasinya dari belakang.

Tepat seperti dugaan Lintang, Raline sontak terkejut dan seketika berbalik badan menghadap kepadanya. Kini Lintang setidaknya mengetahui satu hal, Raline memiliki ketertarikan terhadap Vito. Entah itu perasaan cinta atau apa, tapi nama Vito sungguh membawa efek besar baginya.

"Gak bisa, ya? Oke, aku naik taxi aja kalau gitu, bye!" Lintang berpura-pura menyudahi pembicaraan di ponselnya.

"Baik, kalau begitu aku pamit pulang, terima kasih waktunya, selamat sore,"

Dikemasinya tas beserta notes yang sedari tadi tergeletak di meja. Kemudian beranjak pergi tanpa bersalaman lagi dengan tuan rumah yang masih menampakkan wajah terperangahnya.

Lintang menerka-nerka bahwa mungkin dalam benaknya, Raline sedang penasaran Vito yang sama dengan kekasih Gwen kah yang barusan diteleponnya. Lintang membiarkan saja ia dalam rasa penasarannya itu. Pasti setelah ini, Raline lah yang akan mencari tahu mengenai dirinya.

Seulas senyum kemenangan tampak di bibir Lintang. Sebersit ide muncul di kepalanya. Bila hal ini diperlukan dalam menguak kebenaran di balik kasus Gwen, ia rela harus berpura-pura, tentu saja dengan meminta bantuan dan kesediaan Vito.

Ia keluar ke halaman depan dan mampir untuk menyapa Mang Ujang di pos depan sebentar. Mang Ujang menggodanya mengenai mengapa kali ini tidak bersama Elang--yang disebutnya mirip bintang film Iko Uwais. Lintang hanya tersenyum menanggapinya. Dijawabnya Iko Uwais sedang sibuk syuting iklan dan mereka tertawa bersama sambil menunggu ojek online yang dipesannya datang.

* * *

To be continued ...,




Pesan Kematian GwenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang