"Maaf, tapi saya ada proyek kerja pribadi. Saya ingin membuka penerbitan sendiri. Jadi otomatis karya-karya saya nantinya akan diterbitkan sendiri."
Penulis pertama yang ditemui Lintang dan Gwen menjelaskan sebab musabab ia memutuskan kontrak. Si penulis tampak tegas dengan keputusannya. Ia seakan menutup segala celah untuk negosiasi ulang.
Penulis kedua mengungkapkan bahwa dia ingin cuti dahulu dari kegiatan menulis dikarenakan sedang dalam program hamil anak kedua. Dokter memintanya beristirahat dari beberapa kesibukan agar tubuhnya lebih rileks, sehingga program diharapkan berjalan lancar.
Sementara itu, penulis yang ketiga hanya berkata ada alasan personal yang tidak bisa ia ceritakan. Lintang berusaha keras memancing dengan menebak beberapa kemungkinan, tetapi dia tetap bungkam. Dan hanya menambahkan bahwa masalahnya ada pada dirinya pribadi, bukan dari kesalahan atau kekurangan penerbitan Dimensi Aksara dalam kerjasama dengannya selama ini.
Walhasil, Lintang dan Gwen pulang dengan tidak membawa hasil apapun. Itu membuat Gwen uring-uringan sepanjang jalan. Ia menyetir mobil dengan kesal sampai hampir menyerempet pengendara motor saat sedang akan belok di tikungan. Beruntung ia berhasil mengendalikan laju dan membanting setir menghindar.
"Gwen!!!" Lintang berseru ketakutan. Ia terlonjak lumayan keras di joknya, padahal sudah memakai sabuk pengaman. Napasnya tersengal dengan detak jantung bertalu begitu cepat saking ngerinya membayangkan apa yang akan terjadi bila sesaat tadi tak terelakkan.
"Gwen!" Serunya marah. Dilemparkannya pandangan menegur tajam ke arah Bos yang kini telah menjadi sahabat karibnya itu.
Yang dipelototi hanya nyengir tanpa rasa bersalah. Kebiasaan jelek Gwen yang tidak disukai Lintang yaitu emosinya yang sering meledak-ledak dan tidak terkontrol. Sudah beberapa kali terjadi dalam enam bulan masa pertemanan mereka, Lintang menyaksikan dan bahkan ikut mengalami suasana mencekam dimana emosi Gwen sedang diluar kendali.
Karena itu, kali ini ia memilih ikut Gwen pulang ke rumahnya. Hal ini dilakukannya demi memastikan sahabatnya itu pulang dengan selamat. Meskipun nanti akhirnya dia harus jauh memutar naik taxi untuk pulang ke rumah kosnya sendiri yang dekat dengan kantor. Atau bila sedang beruntung supir keluarga Gwen ada di tempat, ia akan diantar supir.
Nyonya Ambar, mama Gwen--istri dari Tuan Hartono Sastrawiguna--Sang pemilik Kantor Penerbitan Dimensi Aksara--terlihat sedang duduk menghirup secangkir minuman di ruang keluarga ketika Lintang dan Gwen berjalan memasuki rumah.
Assalamualaikum, Tante Ambar," sapanya pelan. Sementara Gwen langsung menubruk mamanya dan mencium kedua pipinya, lalu duduk di sebelahnya membuka-buka ponsel dari dalam tas.
"Hai Lintang, tumben kamu mampir, Nak. Sudah jarang main ke sini , ya?" sapanya seramah biasanya. Lintang meraih tangan halus dan putih bak pualam wanita cantik nan anggun itu, lalu menciumnya takzim.
Ia sudah biasa main ke rumah Gwen, bahkan juga beberapa kali diminta menginap di sana. Karena itu, keakraban dengan mama Gwen juga sudah terjalin baik. Nyonya Ambar bahkan sering meneleponnya saat ponsel Gwen tidak bisa dihubungi.
Sementara dengan Tuan Hartono sendiri, sangat jarang bisa ditemui. Beliau tipe pebisnis super sibuk yang jarang tampak di rumah. Sehari-harinya seakan hanya berisi agenda bisnis.
"Oh, ada si Lintang ...," Sebuah sapaan yang tampak nyata bernada merendahkan itu keluar dari seorang gadis semampai yang sedang menuruni tangga menuju ke arah mereka. Dagunya diangkat tinggi menandakan betapa angkuh dan sombong sikapnya.
"Hai juga, Raline" Lintang menjaga agar tidak terpancing emosi oleh tingkah kekanak-kanakan si Raline ini. Dia adalah anak dari istri kedua Tuan Hartono Sastrawiguna. Saudara tiri Gwen.
Sikapnya yang selalu angkuh kepada Lintang sudah membuatnya hapal dan tak lagi mempermasalahkan. Dia hanya perlu bersikap acuh dan menjaga jarak agar tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Terlibat perbincangan yang berpotensi ada adegan saling jambak rambut, misalnya. Haha, ya, memang si Raline ini tipe gadis congkak yang cukup menjengkelkan.
Gwen sendiri juga kurang bisa akrab dengan saudara tirinya itu. Terlihat dari jarangnya mereka bertegur sapa ataupun tampak jalan berdua. Tentu hal ini wajar saja terjadi. Saudara tiri tetaplah tidak akan seperti saudara kandung. Meskipun Gwen juga tidak memilikinya karena terlahir sebagai anak tunggal.
Ada wanita paruh baya keluar menuruni tangga pula menyusul Raline. Wanita berpenampilan terlalu seksi bahkan saat sedang di dalam rumah seperti sekarang itu, sedikit menimbulkan kesan buruk di benak Lintang. Lintang sudah memutuskan tidak menyukainya bahkan sejak awal mereka pernah berjumpa di kantor penerbitan.
Mama Raline--istri kedua dari Tuan Hartono Sastrawiguna ini--selalu menunjukkan keangkuhannya tanpa ditutup-tutupi. Apalagi kala berbicara dengan Lintang, yang dianggapnya sekedar bawahan biasa di kantor. Seringkali ucapan-ucapannya terdengar tidak sopan.
"Wah, lihat siapa yang datang tepat di saat waktu makan malam? Karyawan kantor mau ikut makan di sini sekarang?" Kalimat bernada mencemooh itu lumayam menyakiti telinga Lintang. Ingin dibalasnya dengan hinaan tentang betapa tidak tahu malunya ia yang telah merebut suami orang dan memaksa masuk ke dalam keluarga Gwen. Namun ditahannya, demi menjaga perasaan Gwen dan Nyonya Ambar.
"Novia ... , Lintang ini sudah sering main dan menginap di sini. Mengertilah, dia sahabat Gwen, kita harus menerimanya seperti keluarga sendiri." Nyonya Ambar tampak sedang menasihati madunya itu.
Ah, entah terbuat dari apakah hati Nyonya Ambar, bisa-bisanya dia masih bisa ramah dan menjadi sosok kakak bagi wanita serupa Mama Raline itu."Mari Lintang, kita makan malam sama-sama di ruang makan," ajaknya kemudian.
Lintang menolak dengan tegas.
"Nggak, Tante, makasih, tapi ini sudah terlalu malam. Aku takut dimarahi Ibu kos kalau pulang terlambat"Gwen yang sedari tadi duduk di sebelah Nyonya Ambar dan sibuk dengan ponselnya menyela,
"Loh, kirain mau nginap?""Ish, nggak ah, sedang ada kerjaan juga yang ketinggal di rumah buat besok"
"Bentar, kusuruh Pak Tarmin anter, ya, tunggu," Gwen beranjak meminta Bik Yatmi memanggilkan Pak Tarmin untuk mengantar Lintang pulang.
"Aku bisa naik taxi, Gwen"
"Jangan, udah sana kalau mau pulang."
"Ih, ngusir. Mari tante Ambar, Lintang pamit dulu, Assalamualaikum" Ia berpamitan kepada Nyonya Ambar sambil sekali lagi meraih tangannya dan menciumnya seperti saat datang tadi."Iya, Nak. Sering-sering main ke sini, ya, tante kangen ramenya Gwen kalau lagi bareng sama kamu." Nyonya Ambar memberikan seulas senyum keibuannya.
"Mari, Tante Novia dan Raline, sampai jumpa lagi, selamat makan malam." Tak lupa ia membungkukkan badan pada dua makhluk yang tampak serupa baik wajah maupun kelakuannya. Sama-sama minusnya, pikirnya dalam hati. Kalau saja bukan karena mereka adalah bagian dari rumah ini, ia tak akan sudi bertemu muka atau pun berurusan dengan mereka sama sekali.
* * *
To be continued ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesan Kematian Gwen
Mistério / Suspense"Gwen bukan bunuh diri!" Setidaknya satu fakta itu yang diyakini Lintang untuk menyingkap misteri di balik kematian Gwen, sahabatnya. Berhasilkah ia mengidentifikasi siapa pelakunya? Sebuah cerita tentang persahabatan, cinta dan misteri yang menega...